Ngelmu.co – Melalui Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman, Presiden Joko Widodo (Jokowi), menegaskan bahwa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, akan tetap berjalan sesuai jadwal, 9 Desember 2020.
Pihak Istana, mengatakan pengambilan keputusan tersebut, tak lain demi menjaga hak konstitusi rakyat; dipilih dan memilih.
“Presiden Joko Widodo, menegaskan penyelenggaraan Pilkada, tidak bisa menunggu pandemi berakhir,” kata Fadjroel, seperti dilansir IDN Times, Senin (21/9).
“Karena tidak (ada) satu negara (pun), tahu kapan pandemi COVID-19, akan berakhir,” sambungnya.
“Karenanya, penyelenggaraan Pilkada, harus dengan protokol kesehatan ketat, agar aman dan tetap demokratis,” lanjutnya lagi.
Keputusan yang belum berubah hingga Senin (21/9), itu disayangkan oleh banyak pihak.
Pasalnya, sederet tokoh dan lembaga, telah meminta agar Pilkada Serentak 2020, ditunda. Demi keselamatan rakyat.
Apalagi penambahan kasus positif COVID-19, sampai saat ini, masih sangat tinggi.
Jusuf Kalla
Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), menjadi salah satu tokoh yang mendesak penundaan Pilkada Serentak 2020.
“Kita bisa menyelenggarakan pada Juni 2021,” tuturnya.
JK, mengatakan demikian karena diperkirakan, saat itu, vaksin COVID-19, sudah tersedia dan dapat di-akses warga.
Menurut Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu, hal ini penting.
Pasalnya, orang yang tertular COVID-19, di Indonesia dan global, hingga saat ini masih terus naik.
“Tidak perlu gelisah akan terjadi kekosongan pemerintahan terlalu lama,” sambung JK.
“Toh, bisa mengangkat pelaksana tugas, dan selama ini mekanisme itu selalu berjalan baik,” imbuhnya.
Marzuki Alie
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Marzuki Alie, juga ikut bersuara.
Ia menyarankan, agar Jokowi, menunda Pilkada, karena pandemi belum terkendali.
“Yth Presiden @jokowi. Sudah banyak usulan agar Pilkada ditunda. Yakinlah, kekuasaan itu di tangan Allah,” cuitnya melalui akun @marzukialie_MA, Ahad (20/9).
“Allah yang akan memastikan menang dan kalah. Kita hanya berusaha yang baik,” sambungnya.
Menurut Marzuki, Jokowi, akan dikenang oleh bangsa, jika ia menunda Pilkada.
Sebab, itu artinya, Jokowi, berani melawan tekanan dari partai politik, demi melindungi jiwa rakyat.
“Dengan ditunda, Bapak (Jokowi), akan dicatat sejarah, membatalkan Pilkada demi kemanusiaan, lupakan tekanan parpol,” kata Marzuki.
PBNU
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melalui Ketua Umum-nya, Said Aqil Siroj, juga meminta penundaan Pilkada.
Hal itu ia sampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemerintah, hingga DPR RI.
Lazimnya, kata Said, perhelatan politik, menjadi momentum pesta demokrasi yang identik dengan mobilisasi massa.
Baca Juga: PKS dan NU Minta Tunda Pilkada, PDIP Ingin Lanjutkan
Meskipun ada pengetatan regulasi, sudah terbukti, dalam pendaftaran pasangan calon, terjadi perkumpulan massa.
Jelas, kegiatan itu rawan memicu terjadinya klaster penularan COVID-19.
“Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020.”
“Hingga tahap darurat kesehatan terlewati,” sambung Said, melalui keterangan tertulis, Ahad (20/9).
“Nahdlatul Ulama, berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan, sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat.”
“Namun, karena penularan COVID-19, telah mencapai tingkat darurat, maka prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah, selayaknya di-orientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan,” tegas Said.
PP Muhammadiyah
Senada dengan PBNU, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, juga meminta agar Pilkada, ditunda.
Mengingat, pandemi COVID-19 di Indonesia, masih sangat mengkawatirkan.
Terlebih pihaknya menilai, hingga saat ini, pemerintah masih belum menunjukkan hasil maksimal dalam upaya penanganan pandemi.
“Selain karena kompleksitas masalah, kerja dan kinerja pemerintah, perlu ditingkatkan dan diperbaiki,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, Senin (21/9).
“Terutama, terkait dengan koordinasi antar instansi dan komunikasi publik,” imbuhnya.
Baca Juga: Nilai Keselamatan yang Utama, PP Muhammadiyah ke KPU: Tunda Pilkada
“Lemahnya koordinasi dan komunikasi, menimbulkan kegaduhan politik yang trivial dan kontraproduktif,” lanjut Mu’ti, saat menggelar konferensi pers secara daring.
“Bahkan di tengah pandemi COVID-19, dan demi keselamatan bangsa, serta menjamin pelaksanaan yang berkualitas, KPU, hendaknya mempertimbangkan dengan seksama agar Pemilukada 2020, ditunda pelaksanaannya.”
“Sampai keadaan memungkinkan. Keselamatan masyarakat jauh lebih utama, dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilukada, yang berpotensi menjadi klaster penularan COVID-19,” tegas Mu’ti.
MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga meminta penundaan Pilkada Serentak 2020.
“Kalau dari penyelenggaraan Pilkada ini, masyarakat akan tersakiti, dan akan dibuat menangis, karena jumlah orang yang terkena COVID-19, baik yang sakit dan meninggal, meningkat dibuatnya. Maka tentu, menundanya akan jauh lebih baik dan lebih mashlahat, daripada tetap memaksakan pelaksanaannya.”
Demikian disampaikan Sekertaris Jendral Majelis MUI, Anwar Abbas, di Jakarta, Senin (21/9).
Ia, menyinggung soal kaidah yang sangat terkenal di kalangan ulama, dan perlu diperhatikan, ihwal Pilkada.
Kaidah tersebut adalah dar’ul mafasid muqoddam ala jalbil masholih.
Artinya, meninggalkan kemafsadatan, harus di-dahulukan, dari mengambil kemashlahatan.
“Sekarang, negeri ini sedang dilanda wabah COVID-19, di mana kasus pasien yang sakit dan meninggal, tampak semakin meningkat dengan tajam,” kata Anwar.
“Sehingga, dengan adanya pelaksanaan Pilkada Serentak di akhir tahun ini, hal-hal demikian, tentu jelas akan sangat mengkhawatirkan,” jelasnya.
Menurut Anwar, Pilkada dapat memberi dampak besar terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat.
Sebab, di acara tersebut, rentan terjadi kerumunan, dan bukan tak mungkin menjadi klaster penularan baru.
“Karena keadaan seperti itu, akan bisa menjadi tempat penyebaran virus Corona, secara lebih masif,” ujar Anwar.
Jika menimbulkan sejumlah masalah, maka penundaan Pilkada, jelas lebih baik.
“Bukankah tugas negara dan pemerintah itu adalah melindungi rakyatnya, dari hal-hal yang akan menganggu dan mengancam kesehatan dan jiwa mereka?” tanya Anwar.
Jika keputusannya, Pilkada tetap akan dilaksanakan, maka sistem penyelenggaraan harus benar-benar menjamin tak ada penularan.
“Kalau hal itu tidak bisa ditegakkan dan dihindarkan, maka Pilkada, tentu sebaiknya ditunda,” kata Anwar.
“Karena yang namanya kesehatan dan keselamatan jiwa dari anak-anak bangsa itu, jauh lebih penting dari Pilkada itu sendiri,” tegas Anwar.
Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), juga meminta KPU, Pemerintah, dan DPR RI, untuk menunda Pilkada, hingga pandemi berakhir, atau setidaknya mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi terpercaya.
“Seluruh proses yang telah berjalan, tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para peserta Pilkada,” kata Anggota Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM RI, Amiruddin, Jumat (11/9).
“Sedangkan pada sisi lain, kondisi penyebaran COVID-19, belum dapat dikendalikan dan mengalami tren yang terus meningkat, terutama di hampir semua wilayah penyelenggara Pilkada,” imbuhnya.
Perludem
Desakan penundaan Pilkada, juga disuarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati, mendesak KPU, DPR, dan pemerintah, agar segera menunda hajat politik tersebut.
Bahkan, ia juga meminta, kepada Satgas Penangan COVID-19, untuk memetakan daerah mana saja yang siap dan aman untuk melaksanakan Pilkada.
“Melaksanakan tahapan pelaksanaan Pilkada 2020, telah secara nyata mengancam keselamatan jiwa banyak orang,” kata Nisa.
“Oleh sebab itu, tunda pelaksanaan Pilkada, sampai adanya indikator yang terukur dan akurat COVID-19, dapat dikendalikan,” sambungnya, dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (19/9).
Penundaan Pilkada, lanjut Nisa, sangat mungkin secara hukum.
Bahkan, seluruh tahapan yang sudah dilakukan, tetap dapat dilanjutkan, jika keadaan telah membaik.
“Menunda tahapan Pilkada, bukan berarti kita gagal berdemokrasi. Melainkan, menunjukkan sikap cepat tanggap membaca situasi dan mengedepankan kesehatan publik,” jelas Nisa.
Ketua MPR
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo, juga meminta hal yang sama.
Ia mengatakan, agar pemerintah dan KPU, mempertimbangkan untuk menunda Pilkada, jika kasus positif COVID-19 masih terus meningkat.
“Langkah itu, apabila situasi pandemi masih terus mengalami peningkatan, perlu dipertimbangkan secara matang mengenai pengunduran jadwal pelaksanaan Pilkada 2020,” kata Bamsoet, seperti dilansir Antara, Jumat (11/9).
Bamsoet, meminta pemerintah pusat–dalam hal ini Kemendagri–agar terus memantau perkembangan kasus COVID-19, terutama di 45 daerah zona merah.
“Saya, mendorong pihak penyelenggara Pilkada dan Satgas Penanganan COVID-19, meminta Pemda dari 45 daerah yang berzona merah itu, memastikan seluruh pihak yang terlibat dalam Pilkada 2020, meningkatkan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan,” tuturnya.
“Guna mencegah penularan COVID-19, dan menghindari terbentuknya klaster di dalam Pilkada,” sambung Bamsoet.
Wakil Ketua MPR
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), juga meminta agar Pilkada ditunda, demi keselamatan rakyat Indonesia.
“Anggota @FPKSDPRRI, kembali usulkan Pilkada ditunda. Usulan serupa juga (disampaikan) oleh (mantan) Wapres JK (Jusuf Kalla),” cuitnya, lewat akun Twitter resmi, @hnurwahid.
“Anggota KPU, KPUD, cakada, dan publik, makin banyak jadi korban COVID-19,” sambung HNW.
“Vaksin belum ditemukan. Hukum tertinggi, keselamatan rakyat (pemilik kedaulatan) yang utama. Maka lebih baik, tunda Pilkada,” tegas HNW.
PKS
Partai politik HNW, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga sepakat menyarankan hal yang sama.
Disampaikan Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, pihaknya menilai penundaan Pilkada lebih baik, mengingat penambahan kasus COVID-19 yang masih tinggi.
Menurut PKS, keselamatan masyarakat adalah hal yang harus selalu diutamakan.
“Tunda Pilkada, jika kondisi masih seperti ini,” kata Mardani, seperti dilansir Kompas, Senin (21/9).
Ia menilai, perangkat aturan pemerintah tak cukup untuk memaksa pasangan calon dan masyarakat, displin menerapkan protokol kesehatan.
Pasalnya, keberadaan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), terkait protokol kesehatan saja tidak cukup untuk membuat masyarakat disiplin.
“Kecuali Pemerintah, bertindak tegas dan lugas, membuat aturan dengan paradigma COVID-19,” tutur Mardani.
“PKPU tidak cukup, karena UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dirujuk, masih memberi semua peluang untuk melakukan kampanye, termasuk konser musik dan lain-lain,” sambungnya.
Baca Juga: IDI Cemas, Indonesia Berpotensi Jadi Episentrum COVID-19 Dunia
Sayangnya, meski sudah banyak pihak meminta penundaan Pilkada Serentak 2020, Istana, belum menerima berbagai pendapat itu.
Istana, lewat Fadjroel, menilai Pilkada bisa dijadikan momentum tampilnya inovasi bagi masyarakat serta penyelenggara negara, untuk bangkit bersama.
Pilkada, juga bisa dijadikan ajang adu gagasan, adu berbuat, bertindak, demi meredam serta memutus rantai penyebaran COVID-19.
“Sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa Indonesia, adalah negara demokrasi konstitusional,” kata Fadjroel.
“Serta menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis, sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945,” sambungnya, mengikuti pernyataan Jokowi.
Pilkada di tengah pandemi, kata Fadjroel, bukan hal mustahil.
Sebab, negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan, juga menggelar Pemilu di masa pandemi, dengan menerapkan protokol kesehatan ketat.
“Pemerintah, mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan COVID-19, pada setiap tahapan Pilkada,” kata Fadjroel.
“Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) No 6 Tahun 2020, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah,” imbuhnya.
“Semua kementerian dan lembaga terkait, juga sudah mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi Pilkada, dengan kepatuhan pada protokol kesehatan, dan penegakan hukum,” pungkas Fadjroel.