Ngelmu.co – DW Indonesia, memanen kritik dari berbagai pihak, setelah merilis artikel berjudul, ‘Fenomena Anak-anak Berhijab di Indonesia‘, Jumat (25/9) kemarin. Artikel yang dimaksud, saat ini, sudah tidak dapat diakses lagi.
Namun, unggahan video berdurasi 3 menit 31 detik, di akun Twitter resmi, @dw_indonesia, hingga berita ini ditulis, masih dapat dilihat.
“Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?,” cuitnya, seperti dikutip Ngelmu, Sabtu (26/9).
Video tersebut, berisi pernyataan para orang tua yang membiasakan anak perempuannya, berhijab–sebagaimana diajarkan Islam, terhadap Muslimah–sejak usia dini.
Dalam video itu, juga ikut bicara Psikolog; Rahajeng Ika, dan Feminis; Nong Darol Mahmada.
Setelah dua orang ibu, yakni Andari Danthi dan Cisya Satwika, membagikan ceritanya dalam mendidik anak untuk terbiasa dekat dengan syariat.
“Dari kecil, ini sudah dibiasakan [mengenakan jilbab]. Jadi, ketika dia dewasa, dia tidak kaget, tidak menolak, insya Allah, mudah-mudahan dia tidak menolak,” kata Andari.
“Dia sudah terbiasa melihat orang tuanya, ibunya, pakai [jilbab]. Jadi, alhamdulillah [anakku], Lula, bisa melihat, ‘Oh, ibu pakai jilbab, kalau mau pergi ke luar, atau misalnya ada tamu ke rumah’,” sambungnya.
Demikian pula dengan Cisya, yang mengatakan, “Kebetulan anak-anakku itu TK-nya, pendidikan awalnya di sekolah Islam. Jadi tidak sulit bagi kami untuk mengarahkan ke sana (pakai jilbab).”
Mendengar penjelasan Andari dan Cisya, Rahajeng dan Nong, justru menyampaikan hal berbeda.
“Biasanya, anak-anak itu belum mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut,” kata Rahajeng.
“Jadi, risikonya adalah mereka menggunakan atau memakai sesuatu, tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaian itu,” imbuhnya.
“Yang dikhawatirkan, pada saat umur SMP, SMA, masa pembentukan konsep diri, dia sedang memakaikan identitas yang berhijab, dia yang pakai pakaian tertutup, dia Muslim,” sambungnya lagi.
“Permasalahannya, apabila dia kemudian hari bergaul dengan teman-teman yang agak punya pandangan yang mungkin berbeda, boleh jadi dia mengalami kebingungan. Apakah dengan dia berpakaian seperti itu, dia punya batasan tertentu untuk bergaul?” jelas Rahajeng.
Sementara Nong, menyampaikan, “Sebenarnya wajar-wajar saja si anak mengikuti keinginan atau arahan dari orang tua atau misalnya dari pihak guru atau orang dewasa.”
“Tetapi kekhawatiran saya, sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif, karena dari sejak kecil, dia ditanamkan untuk misalnya dalam tanda kutip, misalnya berbeda dengan yang lain,” sambungnya.
“Karena sebenarnya, di masa pertumbuhan anak itu, semestinya, seharusnya, anak-anak itu dibiarkan dulu menjadi siapa pun, menjadi apa pun,” imbuhnya lagi.
“Jadi, maksudnya, dia itu tidak harus berbeda dengan anak-anak yang lain. Tetapi ketika dia diberikan identitas, misalnya, jilbab sebagai Muslimah, maka dengan sendirinya akan mengeksklusifkan dirinya sendiri,” pungkasnya.
Pernyataan-pernyataan dalam video itulah yang akhirnya memicu berbagai pihak mengkritik DW Indonesia.
Mengingat sebagai Muslim, orang tua, memang berkewajiban mengajarkan anaknya agar paham syariat.
“Ribet amat. Gw dan adik-adik gw, dari kecil pake jilbab, ga punya rasa minder atau berbeda dalam pergaulan. Apalagi sejak di Australia, di tempat, cuma gw yang pake hijab, ga ada punya rasa berbeda. Santuy aja. Bule-bule aje kaga ribet,” sentil @masithah_oliver.
“Apakah setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini memiliki pilihan untuk lahir dari rahim siapa? Saran saja buat @dw_indonesia, lebih baik bahas hal-hal yang tidak memancing ‘perdebatan’, karena urusan mendidik anak, Islam, sudah sangat sempurna,” saut @SarwaniUda.
“Aku suka sekali nonton DW, tapi kenapa yang ini Nong Darol, yang jelas-jelas sekuler yang ditanya? Di tempatku, justru anak yang tidak berjilbab, justru berbeda. Semua siswi SMP Negeri yang Muslim, pada make jilbab. Nah, justru yang ga pake jilbab yang ngerasa eksklusif. Semoga Anda, jadi media netral,” kritik @bonniebulb.
“Kerudung dan jilbab adalah kewajiban dalam Islam. Menanamkan prinsip, wajib pada anak-anak, tentu dengan cara yang menyenangkan, menentramkan, tanpa paksaan, dan sejak dini, karena membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit,” jelas @cleomaharanizo.
Namun, menanggapi kritik yang muncul, DW Indonesia, tetap merasa video yang dibagikan oleh pihaknya, sudah berimbang.
“Terima kasih atas perhatian Anda, pada konten video DW Indonesia, yang menurut kami sudah berimbang, imparsial, dan akurat,” jawabnya.
“DW mendorong kebebasan berpendapat dan diskusi terbuka, selama sifatnya adil dan tidak diskriminatif atau berisi hinaan terhadap siapa pun,” beber DW.