Ngelmu.co – Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, di mata Center of Development Studies, Tenaga Ahli DPR-RI, Adhi Azfar, seperti ‘gerbang’ bagi kapitalis asing.
“Bukan lagi mengucapkan ‘Selamat Datang’, karena kapitalis asing sudah lama hadir menguasai kekayaan alam Indonesia,” tuturnya, sehari sebelum pengesahan, Ahad (4/10).
“Dengan di-sahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mereka kini sedang mempersiapkan ‘selametan’ pesta besar. Masuk ke tanah air, makin merajalela,” sambung Adhi, melalui keterangan tertulis.
Mengapa demikian?
Pasalnya, Omnibus Law Ciptaker, membuat impor barang masuk ke Indonesia, tak lagi mengenal batasan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 27 dan 32, perubahan UU tentang kawasan ekonomi khusus (KEK).
Omnibus Law Ciptaker, lanjut Adhi, memberikan fasilitas impor barang konsumsi ke KEK.
Baik fasilitas pajak dan kepabeanan, meski kegiatan usaha utamanya bukan produksi dan pengolahan.
“Ketentuan ini mencederai rasa keadilan bagi usaha rakyat kecil di sekitarnya, yang akan terdampak dan tergusur dari tanahnya sendiri, terjepit di antara hadirnya kapitalis asing,” kata Adhi.
“Pemilik modal besar, hadir merampas hak rakyat Indonesia, untuk menikmati kekayaan bangsanya sendiri,” imbuhnya.
Baca Juga: Soal UU Ciptaker, Sastrawan ke Mahfud MD: Beranikah Anda Mempertanggungjawabkan di Akhirat Nanti?
Pada Pasal 45, pun disebutkan, impor barang hanya bisa dilakukan oleh importir yang memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Lalu dalam hal impor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, importir tidak memerlukan perizinan berusaha.
Ketentuan lebih lanjut, mengenai perizinan berusaha, diatur dengan peraturan pemerintah.
Importir, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang yang diimpor.
Sementara importir yang tidak bertanggung jawab sebagaimana dimaksud, akan dikenai sanksi administratif.
Pada Pasal 47, para importir, wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.
Tetapi dalam hal tertentu, pemerintah pusat dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.
Berikut selengkapnya pernyataan Adhi Azfar, seperti dikutip Ngelmu, dari penanewinvestigasi.com, Rabu (7/10):
“Bukan lagi mengucapkan ‘Selamat Datang’, karena kapitalis asing sudah lama hadir menguasai kekayaan alam Indonesia.
Dengan di-sahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mereka kini sedang mempersiapkan ‘selametan’ pesta besar. Masuk ke tanah air, makin merajalela.
Pasal yang sangat krusial, yang membuka pintu masuk kepentingan asing, ada di Pasal 38.
Perubahan UU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), di mana RUU Cipta Kerja, ini memberikan kemudahan bagi orang asing, meski bukan pelaku usaha di KEK.
Bukan sekadar kemudahan, RUU Cipta Kerja, ini bahkan memberikan fasilitas imigrasi dan keamanan bagi pendatang asing tersebut, untuk masuk ke Indonesia, melalui KEK.
Padahal di UU eksisting (UU No. 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus), fasilitas hanya diberikan kepada pelaku usaha yang memiliki izin usaha di KEK, baik di bidang perindustrian, maupun perdagangan.
Tanpa adanya klausul itu, saat ini saja sudah berdiri pabrik smelter (pemurnian) asal Cina.
Pabrik peleburan bijih nikel di Pulau Sulawesi, ini diberikan insentif tax holiday (pembebasan pajak) selama 25 tahun.
Pekerja yang didatangkan dari luar negeri, juga tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis.
Ratusan ribu hektar area pertambangan dikuasai. Itu, Tanah Air Indonesia.
Lalu, negara dapat apa? Payroll Taxes? Ternyata tidak.
Warga asing yang bekerja di perusahaan itu ‘digaji’ dalam bentuk biaya hidup, akomodasi, dan uang saku.
Sedangkan gaji aslinya, dikirim ke keluarganya, ke negara asalnya.
Corporate Income Taxes? Belum tentu ada, karena fasilitas kemudahan investasi dan pembebasan pajak atas impor serta fasilitas fiskal lainnya, sangat mungkin lebih besar dari Corporate Tax, yang diterima negara.
Masuknya impor barang, juga tak ada lagi pembatasan. Ini dapat dilihat di Pasal 27 dan 32, perubahan UU tentang KEK.
Di mana RUU Cipta Kerja, ini bahkan memberikan fasilitas impor barang konsumsi ke KEK, baik fasilitas pajak dan kepabeanan, meski kegiatan usaha utamanya bukan produksi dan pengolahan.
Ketentuan ini, mencederai rasa keadilan bagi usaha rakyat kecil di sekitarnya, yang akan terdampak dan tergusur dari tanahnya sendiri, terjepit di antara hadirnya kapitalis asing.
Pemilik modal besar hadir merampas hak rakyat Indonesia, untuk menikmati kekayaan bangsanya sendiri.
Itu baru satu cerita dari UU KEK, yang diubah oleh RUU ‘Sapu Jagat’ Cipta Kerja ini.
Total, ada 79 UU yang diubah oleh RUU Cipta Kerja.
UU berikutnya adalah UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Omnibus Law, ini menghapus ketentuan tentang produksi senjata dan peralatan perang yang tertutup bagi penanaman modal asing.
Artinya, terbuka peluang penanaman modal asing pada Industri Pertahanan Keamanan Nasional.
Ini termaktub dalam Pasal 12, perubahan UU Penanaman Modal.
Masih di pasal tersebut, RUU Cipta Kerja, ini telah menghapus ketentuan tentang bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dengan persyaratan.
Ketentuan tersebut, selama ini, melindungi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), dari penguasaan usaha bermodal besar.
Sebab, pemilik modal asing dibatasi di usaha tanaman tebu, budidaya ikan, pengrajin kayu kecil, dan usaha kecil lainnya.
Kini persyaratan itu dihapus, hilang sudah perlindungan untuk Usaha Kecil Menengah (UMKM), akibat hilangnya bidang usaha yang khusus dicadangkan bagi UMKM.
Ketidakadilan dalam penerapan insentif juga tercermin dalam RUU Cipta Kerja, yang mengubah UU Penanaman Modal, Pasal 18 ayat 13 huruf k.
RUU Cipta Kerja, ini menyejajarkan antara UMKM, industri yang menjaga kelestarian lingkungan, dan industri yang berada di daerah terpencil, dengan bisnis pariwisata diskotik, kelab malam, dan panti pijat.
Lewat perubahan dalam RUU Cipta Kerja, ini ada pemberian insentif fiskal dan perpajakan bagi investor yang menanamkan modal untuk industri diskotik, kelab malam, dan panti pijat.
Ditambahkannya kriteria ‘pengembangan usaha pariwisata’ sebagai kriteria usaha yang mendapat fasilitas dari pemerintah, berpotensi masuknya usaha diskotik, karaoke, dan kelab malam, sebagai usaha yang mendapat fasilitas dalam penanaman modal.
Sebagaimana kategori pariwisata dalam Permen Pariwisata No. 10/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik.
Bab yang paling krusial dalam RUU Cipta Kerja, ini adalah Bab 10 tentang Investasi Pemerintah Pusat, yang melahirkan lembaga baru bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Ada potensi hilangnya hak pengelolaan negara, atas aset-aset dan kekayaan, dengan berubahnya frasa ‘aset negara’, menjadi ‘aset lembaga’, dan frasa ‘kerugian negara’ menjadi ‘kerugian lembaga’.
Sehingga ketika aset negara (termasuk di dalamnya aset BUMN dan kekayaan alam bangsa) di-pindahtangankan oleh LPI, aset tersebut tidak lagi disebut sebagai aset negara, tetapi aset lembaga.
Bila dalam melaksanakan tugasnya, LPI, tidak dapat mengelola investasinya dengan baik ataupun mengalami kejadian luar biasa yang tidak mampu diprediksi sebelumnya, negara, dapat kehilangan aset-asetnya yang berharga.
Bila kerugian tersebut hanya disebut kerugian lembaga, maka negara, telah kehilangan hak penguasaannya.
Ini berpotensi menabrak UUD NRI 1945, Pasal 33 ayat 2 dan 3, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, dikuasai oleh negara.
Potensi pelanggaran terhadap konstitusi, juga terlihat dari pasal yang memberikan kekebalan hukum kepada pengurus dan pegawai LPI, dalam Pelaksanaan tugas dan kewenangannya yang tidak bisa dituntut/digugat, baik secara pidana maupun perdata.
Ini dapat melanggar asas ‘persamaan di hadapan hukum’, atau ‘Equality Before The Law’, dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 tentang asas persamaan di hadapan hukum, dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya.
Masih di Bab 10, tentang Invetasi Pemerintah Pusat, terdapat potensi pelanggaran terhadap prinsip ketatanegaraan dengan hilangnya status ‘Penyelenggara Negara’, pada pegawai LPI, yang mengelola aset dan kekayaan negara, serta tidak di-auditnya LPI oleh BPK, sebagai Lembaga Negara yang berwenang melakukan pemeriksaan keuangan terhadap lembaga yang mengelola aset Negara.
Ini termaktub dalam Pasal 154 dan 153, yang menghilangkan status penyelenggara negara pada pegawai LPI, dan menyatakan pemeriksaan keuangan LPI, hanya dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada BPK.
Padahal, mereka adalah orang yang diberi kewenangan mengelola uang negara, dan menerima gaji dari negara.
Seharusnya, mereka termasuk penyelenggara negara. Ketentuan ini juga telah mereduksi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang menempatkan penyelenggara negara sebagai subjek tindak pidana korupsi yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Bab 10, ini juga memuat ketentuan yang mereduksi UU BUMN dan UU Keuangan Negara, yaitu Pasal 160 dan Pasal 154 ayat 3.
Mengambil alih pengaturan tentang pengelolaan keuangan negara, dengan menyebutkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara, tidak berlaku untuk LPI, yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini.
Dengan alasan, proses investasi sudah dilakukan dengan itikad baik, walaupun tidak teliti dan tidak profesional.
Pengurus dan pegawai LPI, memiliki kekebalan hukum, sehingga tidak dapat dijerat, meskipun terjadi kerugian negara.
Perubahan yang sangat menyedihkan, juga terjadi di Pasal 20 UU tentang Paten.
Omnibus Law Cipta Kerja, ini menghapus kewajiban pemegang paten, untuk menggunakan produk dalam negeri, dan melakukan transfer teknologi di Indonesia.
Hilangnya ketentuan ini, justru berpotensi membuat perusahaan milik anak bangsa, kehilangan pasar dan customer-nya.
Secara otomatis, akan menghilangkan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Padahal, tujuan dibuatnya UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja.
Ini belum cerita tentang perubahan pasal-pasal tentang Ketenagakerjaan di Cipta Kerja, yang merugikan buruh Indonesia.
Padahal, dari namanya saja, Omnibus Law, ini untuk menciptakan lapangan kerja, tapi lapangan kerja untuk siapa sebenarnya?”
Catatan: Omnibus Law RUU Ciptaker, sudah di-sahkan oleh DPR, DPD, dan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Senin (5/10) malam.
Dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hanya PKS dan PD, yang tetap tegas menolak; sekitar 16 persen dari total kursi.