Ngelmu.co – Muhammad Bobby Afif Nasution-Aulia Rachman, resmi memenangi Pilkada Medan 2020, setelah berhasil mengumpulkan 393.533 suara.
Sebagai lawan, Akhyar Nasution-Salman Alfarisi, hanya mendapat 342.480 suara. Artinya, total suara yang memilih Bobby-Aulia dan Akhyar-Salman, hanya 736.013.
Padahal, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di Medan, mencapai 1.601.001 orang.
Maka jelas, ada 864.988 orang yang tidak menggunakan hak suara mereka [golongan putih–golput], pada 9 Desember lalu.
Angka ini, lebih banyak dua kali lipat dari jumlah pemilih Bobby-Aulia.
Menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu resmi menang di pemilihan Wali Kota Medan, usai mendapat 53,5 persen suara, dari total 4.303 TPS se-Kota Medan [awalnya hanya 4.299].
Penghitungan 100 persen total suara berakhir pada Senin (14/12) malam, pukul 18.39 WIB.
Bobby-Aulia, mengalahkan pasangan Akhyar-Salman, yang hanya mendapat 46,5 persen dari total suara.
Dalam kata lain, selisih suara keduanya adalah tujuh persen.
Kembali ke angka golput, di TPS tempat Bobby mencoblos pun, suara golput lebih banyak.
Jumlah golput ini juga belum termasuk mereka yang karena beberapa perkara teknis lain menjadi tidak terdaftar.
Antara belum merekam e-KTP dan baru berumur 17 tahun, atau bahkan tidak mendaftarkan diri.
Dari total suara yang masuk, juga belum jelas ada berapa yang rusak atau tidak sah, seperti yang terjadi di daerah lain.
Meski demikian, angka golput yang tinggi, sebenarnya merupakan kelanjutan dari tren serupa, setidaknya dalam dua Pilkada terakhir.
Pada 2010, warga yang mencoblos hanya sekitar 38 persen. Begitu pun dengan tahun 2015 yang hanya 25,38 persen.
Dalam Pilkada terakhir, partisipasi warga memang meningkat, angkanya mencapai 45,97 persen.
Tetapi tetap saja, golput menjadi yang terbanyak, yakni 54 persen.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti (Puput), pun berkomentar.
Ia, mengatakan ada banyak faktor pemicu tren rendahnya partisipasi pemilih di Medan.
Salah satunya terkait kinerja penyelenggara Pemilu itu sendiri.
Seharusnya, kata Puput, penyelenggara dapat lebih masif dalam hal sosialisasi serta akurasi pendataan.
“Isu pendataan pemilih ini seharusnya bisa diatasi oleh verifikasi faktual atau disebut pencocokan dan penelitian (coklit) oleh petugas lapangan.”
“Tapi ini memang selalu ada kendalanya, dan semakin sulit dilakukan di masa pandemi.”
Demikian kata Puput, mengutip Tirto, Rabu (16/12) malam.
Kemungkinan faktor lain adalah karena calon, masih terkait dengan Pemerintahan Kota Medan periode sebelumnya.
“Bisa saja antusiasme ini dipengaruhi oleh sosok calon yang ada, oleh kepuasan kerja pemerintah kota sebelumnya, dan lainnya. Tentunya patut dicek kembali secara mendalam,” jelas Puput.
Baca Juga: Angka Golput Lebih Unggul di TPS Tempat Bobby Mencoblos
Terlepas dari itu, anggota Tim Pemenangan Bobby-Aulia, Ikrimah Hamidiy, ikut angkat bicara.
Ia, mengatakan justru patut berbangga dengan partisipasi pemilih di Pilkada Medan 2020.
Sebab, angkanya meningkat hampir dua kali lipat dari 2015 lalu.
Ia, juga mengatakan bahwa, banyak faktor penyebab sekitar 55 persen tidak menggunakan hak suaranya.
Kebanyakan, kata Ikrimah, karena perkara teknis.
“Ada dua hal yang sangat penting. Pertama faktor COVID-19. Ada beberapa warga yang enggan keluar rumah atau ikut dalam kerumunan.”
“Kedua, banyak warga yang terdata di Medan, tapi tinggalnya di luar Medan. Banyak kasus seperti itu. Otomatis terdaftar di DPT.”
Maka itu, Ikrimah, juga menepis anggapan bahwa faktor utama minimnya partisipasi pemilih di Medan, karena ada gerakan golput yang aktif [tidak memilih karena alasan politis].
“Kenapa Pilpres pada 2019 sampai 70-an persen di Medan, tapi pilkada kecil? Kenapa ada disparitas? Karena pilpres ‘kan tidak mengenal tempat. Orang bisa nyoblos di mana saja,” ujarnya.
“Golput itu bukan karena keinginan pribadi, tapi karena memang sistem yang masih kurang,” sambung Ikrimah.
“Kalau memang ada kelompok golput, jumlahnya tidak signifikan,” pungkasnya.