Ngelmu.co – Suatu malam ketika membuka ponsel Syekh Ali Jaber, sang istri tercinta, bertanya, “Kok foto sama perempuan ini?”, menanggapi hal tersebut, ulama kelahiran Madinah itu pun tidak marah. Ia juga tidak menganggap istrinya tak sopan karena telah berani memeriksa ponselnya.
Setelah mendengarkan istrinya ‘marah’, Syekh Ali baru bertanya. Dengan tenang ia berkata, “Sudah sayang?”
“Sudah,” jawab istrinya. Syekh Ali pun kembali bertanya, “Terus apa? Maunya apa?”
“Hapus foto,” jawab sang istri tegas.
“Ya, kamu hapus saja sendiri,” tuturnya lagi, tetap dengan tenang.
“Sudah hapus? Sudah tenang? Ada lagi?” tanya Syekh Ali pada istri.
“Enggak usah pakai hand phone lagi!”
“Siap… matiin saja hand phone-nya, buang saja,” jawab Syekh Ali.
Dengan yakin, ia, mengabulkan permintaan sang istri, dan memilih untuk tidak lagi memegang ponsel selama dua tahun.
Begitu kurang lebih potongan cerita Syekh Ali, mengutip podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier, September 2020 lalu.
Baca Juga: UAS Ingin Satu Majelis Bersama Syekh Ali di Surga
Lalu apa yang bisa kita ambil pelajaran dari kisah Syekh Ali, ketika istrinya marah karena ada foto jemaah wanita di ponselnya?
Syekh Ali, mengajarkan pada kita semua bahwa setiap rumah tangga, pasti ada masalah. Baik besar pun kecil.
Besar kecilnya masalah itu bukan terletak pada jenisnya, tetapi pada bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut dengan baik.
Seberapa pun besarnya masalah, jika cara penyelesaiannya tepat, maka akan terasa kecil dan cepat mendapat solusi.
Namun, sebaliknya, masalah yang kecil bisa berubah menjadi besar, karena cara penyelesaiannya keliru, tidak fokus pada mencari solusi, tapi justru ‘menambah’.
Bayangkan jika Syekh Ali, tersinggung dengan istrinya yang membuka ponsel beliau, lalu marah-marah dan melempar ponsel itu ke wajah istrinya.
Bayangkan, seandainya beliau berprinsip bahwa istri harus menghormati suaminya, tidak boleh protes, apalagi dalam kondisi pasangan baru pulang dari bepergian.
Atau bayangkan, jika Syekh Ali, merasa istrinya cemburu bukan pada tempatnya, dan menganggap sang istri posesif, sedangkan satu sisi beliau adalah pendakwah yang tidak mungkin lepas dari para ‘penggemar’ wanita.
Tentu kejadian di atas bisa menjadi masalah yang besar, jika sang suami tak seperti sosok Syekh Ali [fokus mencari solusi ketika menemukan masalah].
[Syekh Ali] Kepala rumah tangga yang sangat menyayangi istrinya, dan tidak menganggap sang istri sebagai wanita lemah yang harus selalu diam, menurut, dan tidak boleh protes sama sekali.
[Syekh Ali] Seorang imam yang lebih memilih mengalah, demi tentramnya keadaan, daripada mementingkan ego-nya sebagai pria kuat yang terkenal, yang bisa menghidupi keluarganya dengan baik, dan yang sebenarnya mungkin bisa dengan mudah mencari wanita lain untuk dijadikan istri kedua, ketiga, atau bahkan keempatnya.
Namun, beliau memilih untuk berdamai dengan keadaan, dan memahami apa yang dirasakan oleh istrinya itu tidak lain karena besarnya cinta sang istri pada beliau.
Padahal, di sisi lain, ada pula kesaksian dari Muhammad Agung Izzul Haq yang beberapa kali membersamai Syekh Ali, berdakwah pada program Damai Indonesiaku.
Ia, mengisahkan bahwa setiap kali para jemaah–khususnya jemaah wanita–teriak-teriak memanggil nama Syekh Ali Jaber, beliau dengan tenang, tetap meresponsnya.
Dengan ramah, tapi tidak pernah lupa memberi isyarat dengan tangan, agar jemaah wanita tetap menjaga jarak.
“Agar tidak menimbulkan fitnah,” kata Agung, menirukan kalimat sang Ustaz.
Belum lagi kisah lainnya, ketika seseorang yang tidak sengaja terdorong dalam kondisi berdesakan, mengumpat Syekh Ali.
Dengan santai, beliau berlagak seolah mencari-cari anjing di sekitarnya sambil bertanya, “Mana anjingnya?”
Orang yang mengumpat beliau pun tertawa melihatnya, sampai akhirnya mereka menjadi sahabat yang sangat akrab.
Kisah lain yang tak kalah kerennya adalah saat ada seseorang yang tiba-tiba memaki-maki Syekh Ali, sehingga membuat orang di sekitarnya emosi dan ingin mengambil tindakan.
Namun, Syekh Ali melarang sembari berkata, “Ia belum selesai bicara.”
Setelah orangnya selesai memaki, bukannya membalas, tetapi beliau bertanya, “Sudah selesai?”
“Sudah,” jawab orang yang puas memaki Syekh Ali.
“Terima kasih… Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum pergi meninggalkan.
Bukan hanya itu, kita juga masih ingat betul kejadian ketika Syekh Ali, ditusuk orang tak dikenal, saat berdakwah.
Namun, lagi-lagi beliau justru menahan amarah massa yang ingin menghakimi pelaku.
Syekh Ali, dengan mudah memaafkan dan bahkan mendoakan pelaku.
Di beberapa kesempatan, beliau selalu mengatakan prinsip hidupnya sangat sederhana.
“Jika ada orang salah sama saya, maka saya memohon agar Allah mengampuninya. Jika saya punya salah sama orang lain, maka saya mohon pada Allah, agar memaafkan saya.”
Sungguh tak ada habisnya jika ingin mengenang kemuliaan akhlak beliau.
Semoga Allah menyiapkan surga Firdaus untuk beliau, dan keluarga yang ditinggalkan, Allah beri kesabaran dan kesehatan. Aamiin.
Tak perlu kita menangis berlebihan atas kepergian beliau, karena insya Allah, tempat yang indah sudah menanti Syekh Ali.
Namun, kita patut menangis lebih lama lagi, karena wafatnya Syekh Ali, mengingatkan kita pada sebuah hadis.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala, tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah, mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka [orang-orang bodoh] itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan,” (HR. Bukhari).
Al-Fatihah…
Catatan: Menyadur [menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besarnya] tulisan Rinda Asmara.