Ngelmu.co – Ketika Kiai Haji Ahmad Dahlan, melelang semua harta bendanya. Kira-kira, kejadiannya sekitar tahun 1921-an. Suatu siang, ia memukul kentongan, mengundang penduduk Kauman ke rumahnya. Penduduk Kauman pun datang berduyun-duyun.
Setelah banyak orang berkumpul di sana, baru Kiai Dahlan, berpidato. Ia menginformasikan, bahwa kas Muhammadiyah, kosong.
Sementara guru-guru Muhammadiyah, belum digaji. Dalam kata lain, pihaknya perlu uang, kira-kira 500 gulden untuk menggaji para guru, karyawan, sekaligus membiayai jalannya sekolah.
Maka itu Kiai Dahlan menyatakan, melelang seluruh barang-barang yang ada di rumahnya.
Baik pakaian, lemari, meja, kursi, tempat tidur, jam dinding, jam berdiri, berbagai lampu, dan lain-lain.
Singkatnya, Kiai Dahlan, melelang semua barang-barang miliknya.
Lalu seluruh hasilnya, akan ia pakai untuk membiayai sekolah Muhammadiyah, khususnya menggaji guru dan karyawan.
Baca Juga: Ketika Rezim Sita Semua Harta Buya Hamka
Para penduduk Kauman pun terkejut usai mendengar penjelasan Kiai Dahlan.
Murid-murid Kiai Dahlan yang ikut pengajian Thaharatul Qulub, terharu melihat semangat pengorbanan yang bersangkutan.
Mereka pun saling berpandangan satu sama lain, sembari berbisik.
Singkat cerita, penduduk Kauman–khususnya para juragan yang menjadi anggota kelompok pengajian–berebut membeli barang-barang Kiai Dahlan.
Ada yang membeli jas, sarung, jam, lemari, meja, kursi, dan sebagainya.
Dalam waktu singkat, semua barang milik Kiai Dahlan pun habis terlelang, dan terkumpul uang lebih dari 4.000 gulden.
Menariknya, setelah selesai proses lelang, tidak ada seorang pun yang membawa barang-barang Kiai Dahlan. Mereka justru langsung pamit pulang.
Tentu saja Kiai Dahlan terheran, mengapa mereka tidak mau membawa barang-barang yang sudah terlelang.
Kiai Dahlan pun berseru, “Saudara-saudara, silakan barang-barang yang sudah sampean lelang itu, saudara bawa pulang, atau nanti saya antar?”
Mereka justru menjawab, “Tidak usah Kiai. Barang-barang itu biar di sini saja, semua kami kembalikan pada Kiai.”
“Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?,” tanya Kiai lagi.
Salah seorang dari mereka berkata, “Ya, untuk Muhammadiyah, ‘kan Kiai tadi mengatakan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru, karyawan, dan membiayai sekolahnya.”
“Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 gulden, ini dana yang terkumpul lebih dari 4.000 gulden. Lalu, sisanya bagaimana?”
Orang itu kembali menjawab, “Ya, biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah.”
Oleh: Sukriyanto AR [dimuat Suara Muhammadiyah, No. 13/98/1-15 Juni 2013]