Ngelmu.co – Sebenarnya, sampai di mana pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu di tangan para wakil rakyat?
Pernyataan Ketua Komisi II DPR
“Kami sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan ini [revisi UU Pemilu].”
Demikian kata Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, mengutip Antara, Rabu (10/2) lalu.
Namun, benarkah seluruh fraksi telah sepakat untuk tak lagi membahas revisi UU ini?
Dua Fraksi Masih Mendukung
Sepertinya tidak demikian. Pasalnya, masih ada dua fraksi yang berjuang agar pembahasan revisi UU Pemilu, terus berlanjut.
Keduanya adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Fraksi Partai Demokrat (PD).
“Partai Keadilan Sejahtera, tegas lanjutkan revisi UU Pemilu,” jawab politikus PKS, Mardani Ali Sera, mengutip Republika, Kamis (11/2) kemarin.
“Kita kawal untuk Indonesia yang lebih maju, dengan demokrasi yang sehat,” imbuhnya, dalam diskusi publik secara daring.
Revisi UU Pemilu sendiri, telah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk kemudian menjalani proses harmonisasi.
Seharusnya, setelah selesai di Baleg, revisi UU tersebut dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Sebelum akhirnya dibahas di panitia khusus (pansus), hingga terakhir ketok palu.
PKS Akan Terus Mengupayakan
Namun, kata Mardani, tiba-tiba keluar pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaksanakan ketentuan dalam UU yang belum dilaksanakan.
Khususnya, Pasal 201 ayat 8 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada [yang mengatur Pilkada Serentak digelar November 2024].
“Memang elegan pernyatannya, sebaiknya undang-undang yang belum dilaksanakan, dilaksanakan lebih dahulu,” kata Mardani.
“Maksudnya adalah Pasal 201 ayat 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu,” jelasnya.
Tetapi lagi-lagi Mardani mengaku, partainya akan terus mengupayakan agar UU Pemilu tetap direvisi.
Sebab, secara fundamental, pihaknya menilai demokrasi di Indonesia sedang sakit [dijalankan sekadar prosedural, bukan substansial].
Hal ini terlihat, kata Mardani, dari biaya penyelenggaraan yang cukup besar.
Begitu pun dengan merit sistem yang belum diterapkan. Biaya kandidasi mahal, dinasti politik tinggi, hingga masih hidupnya politik uang.
Di saat yang bersamaan, kualitas pemerintahan rendah–tergambar dari menurunnya PAD [pendapatan asli daerah], dibanding angka APBD, baik tingkat provinsi pun kabupaten/kota.
Berkaca dari Pemilu 2019
Perjuangan PKS ini juga berkaca dari pengalaman buruk penyelenggaraan teknis pada Pemilu 2019 lalu.
Pelaksanaan lima pemilihan sekaligus itu, mengakibatkan ratusan nyawa petugas penyelenggara Pemilu ad hoc, melayang.
Kelelahan mendominasi penyebab meninggalnya mereka. Maka itu PKS menilai, revisi UU Pemilu penting, agar pengalaman pahit ini tidak terulang kembali.
Bagaimana jika Pilkada Serentak, berlangsung bersamaan dengan Pemilu 2024? Artinya, akan ada tujuh pemilihan di tahun yang sama.
Akan ada juga tahapan-tahapan yang saling beririsan antara Pilkada dan Pemilu–bukan tak mungkin, menambah beban penyelenggara.
Belum lagi, kata Mardani, soal perdebatan dominasi hanya akan mengarah pada pemilihan presiden dan wakil presiden, seperti Pemilu 2019 lalu.
Merespons Pernyataan Ketua Komisi II DPR
Padahal, jika ini berlangsung, akan ada enam pemilihan lainnya yang juga harus masyarakat tahu.
Akan ada juga adu gagasan calon legislatif (caleg) DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, serta bupati/wali kota.
“Kemarin di 2019 saja, di Indonesia cuma sekadar Jokowi sama Prabowo,” kata Mardani.
“Tidak ada diskursus partai politik, tidak ada paparan caleg, tidak ada, DPD apalagi, tidak ada. DPRD kurang,” jelasnya.
Baca Juga: Peta Politik Terkait Pilkada DKI Jakarta 2022
Mardani juga merespons pernyataan Ketua Komisi II DPR, Doli–yang terlampir di awal artikel.
“Ini pernyataan yang prematur,” kritiknya, mengutip Kompas, Kamis (11/2).
“PKS tetap istiqamah, ingin melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu, karena banyak hal yang harus diperbaiki,” aku Mardani.
PD juga Tidak Akan Menyerah
Irwan selaku Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, menegaskan pihaknya tidak akan menyerah terhadap revisi UU Pemilu.
“Kemarin kita sudah sampaikan di Paripurna, sikap Partai Demokrat untuk terus mendorong revisi UU Pemilu,” tegasnya, mengutip Tempo, Kamis (11/2).
Baginya, ada banyak hal yang harus didiskusikan–termasuk mendukung pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023.
“Sangat menguat, kok, animo masyarakat agar Pilkada dilaksanakan,” kata Irwan.
Ia yang melihat dari berbagai sisi, juga menilai jika Pilkada Serentak 2024, akan sulit terlaksana.
Dari sisi penganggaran APBN, misalnya, butuh jumlah biaya yang jelas tidak sedikit.
Pertanyakan Fraksi yang Mendadak ‘Balik Badan’
Begitu pun dengan kondusivitas keamanan, kekosongan kepala daerah [yang perlu diisi oleh pelaksana tugas], hingga teknis penyelenggaraan Pemilu.
“Apa enggak kasihan? Memanusiakan manusianya di mana itu?,” tanya Irwan.
“[Tahun] 2019 saja sudah banyak korban. Ada 890 orang yang meninggal dunia, bahkan yang sakit ada 5.175 orang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Irwan juga heran dengan mayoritas fraksi yang semula mendorong, kini berbalik badan.
Mereka justru menarik dukungan untuk membahas revisi UU Pemilu ini.
“Ada apa, kok, tiba-tiba pada balik badan?,” tanya Irwan.
“Ini ‘kan bentuk inkonsistensi yang sangat nyata, pasca Pak Jokowi, statement menolak revisi UU Pemilu ini. Ini ‘kan anomali,” sambungnya.
Pentingnya Revisi UU Pemilu
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PD, Anwar Hafid, juga ikut bicara.
“Justru Partai Demokrat, utamanya anggota fraksi Partai Demokrat di Komisi II, masih tetap setia pada garis perjuangan,” tuturnya.
“Akan pentingnya melakukan revisi Undang-undang Pemilu, seperti sikap semula,” sambung Hafid, dalam keterangan tertulisnya, mengutip Sindo News, Kamis (11/2).
Ia juga membeberkan alasan PD, tetap mendorong revisi UU Pemilu.
“Layaknya Pemilu 2019, di mana banyak dari penyelenggara meninggal dunia dan jatuh sakit, serta persoalan kualitas demokrasi,” kata Hafid.
“Di mana pemilih akan mengalami kebingungan, dengan banyaknya jumlah kertas suara, dan calon pada semua tingkatan,” bebernya.
Konsekuensi Pemilu Serentak
Ia juga menyinggung, soal konsekuensi dari Pemilu Serentak, “Yang sudah pasti hanya menguntungkan sekelompok elite kekuasaan politik yang sedang berkuasa.”
Sebagai informasi, saat ini tujuh fraksi menolak melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu.
Fraksi PAN, dan enam lainnya adalah partai koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Mereka ‘balik badan’, dari rencana revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu [revisi UU Pemilu], yang sebelumnya telah disepakati masuk dalam Prolegnas 2021.