Ngelmu.co – Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), meluncurkan draf rumusan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 terbaru, tertanggal 11 Desember 2020.
Menjadi perhatian, karena Muhammadiyah, mendapati hilangnya kata ‘agama’ di dalam draf tersebut. Termasuk pada Visi Pendidikan Indonesia 2035.
Semakin menjadi pertanyaan, karena Muhammadiyah justru mendapati budaya, menjadi acuan nilai mendampingi Pancasila.
Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, hilangnya kata ‘agama’ adalah bentuk melawan konstitusi.
Jika merunut hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan, tidak boleh menyelisihkan peraturan di atasnya, yakni:
- Peraturan Pemerintah,
- UU Sisdiknas,
- UUD 1945, dan
- Aturan ‘puncak’, Pancasila.
“Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja?,” tutur Haedar, mengutip muhammadiyah.or.id, Jumat (5/3).
“Oke kalau Pancasila [masuk karena] itu dasar (negara], tapi kenapa budaya itu masuk?,” imbuhnya bertanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu Haedar sampaikan, dalam forum FGD Peta Jalan Pendidikan Kemendikbud.
Di mana acara tersebut diadakan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Senin (1/3) lalu.
Tujuan perumusan Peta Jalan sendiri adalah untuk memudahkan pengejawantahan salah satu tujuan nasional dalam UUD NRI 1945.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Walaupun masih dalam tahap penyusunan, masalah Peta Jalan ini justru muncul dari dua arah.
Satu soal kata ‘agama’ yang menghilang, dan kedua mengenai proses penyusunannya.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, nampak kesan ‘sembunyi-sembunyi’.
Salah satunya karena penyusunan tidak melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud, serta partisipasi publik.
Tak Sejalan dengan Pasal 31 Ayat 5 UUD 1945
“Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Bunyi dari Visi Pendidikan Indonesia 2035 di atas, menurut Haedar selaku Guru Besar bidang Sosiologi, tidak sejalan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945.
Ia memandang, hilangnya kata ‘agama’ dari acuan nilai, berdampak besar pada aplikasi serta ragam produk kebijakan di lapangan.
Sebab, pedoman wajib di atas Peta Jalan Pendidikan Nasional adalah Pasal 31 ayat 5 UUD 1945.
Di mana poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menjelaskan secara eksplisit.
Bahwa agama merupakan unsur integral di dalam pendidikan nasional.
“Kenapa Peta Jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud, kok, berani berbeda dari… atau menyalahi Pasal 31 UUD 1945?,” tanya Haedar.
“Kalau orang hukum itu mengatakan, ini pelanggaran konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah, itu kalimatnya adalah ‘tidak sejalan’ dengan Pasal 31,” kritiknya.
Baca Juga: MUI Tanyakan Maksud Pernyataan Mendikbud Nadiem ‘Sekolah Tak Boleh Buat Aturan Seragam Keagamaan’
Persoalan inilah yang kemudian menurut Haedar, terus mengundang pertanyaan.
Apakah tim perumus Peta Jalan alpa, sengaja, atau justru memang punya pikiran lain, sehingga kata ‘agama’ bisa menghilang.
“Problem ini adalah problem yang serius, menurut saya… yang perlu dijadikan masukan penting bagi pemerintah,” tegas Haedar.
“Agar kita berpikir bukan dari aspek primordial, tapi berpikir secara konstitusional,” imbuhnya.
“Karena itu sudah tertera langsung, tanpa perlu interpretasi di dalam Pasal 31,” jelas Haedar.
“Jika aman, tidak ada masalah, tapi jika ada problem, berarti kita mengawetkan sampai 20 tahun ke depan,” lanjutnya lagi.
Menyinggung SKB 3 Menteri
Haedar, setuju jika ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur:
- Pancasila,
- Agama, dan
- Budaya.
Maka itu, salah satu dari ketiga unsur yang ada, jelas tidak boleh hilang, agar tak menimbulkan kecurigaan publik.
Pasalnya, Haedar juga tidak menampik, bahwa ‘kelalaian’ dalam penyusunan draf Peta Jalan, memicu kecurigaan.
Kecurigaan yang dimaksud mengarah pada adanya keterkaitan dengan keputusan kontroversial Kemendikbud yakni SKB 3 Menteri.
Keputusan tersebut dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian keagamaan.
Itu mengapa, Haedar, menilai keputusan dalam SKB 3 Menteri, memiliki persoalan yang sama dengan Peta Jalan. Kontradiktif dan inkonsisten.
Mengapa demikian? Sebab, Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2, telah mengatur jelas bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan negara wajib membiayai.
Negara pun mewujudkan pasal tersebut melalui sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Lebih lanjut, Haedar menjelaskan, poin itulah yang menimbulkan kritik dari pihaknya.
Di mana dalam SKB 3 Menteri, sekolah yang mewajibkan pakaian khusus keagamaan, akan mendapat sanksi [dicabut BOS-nya].
“SKB 3 Menteri itu bertentangan dengan ayat 2 Pasal 31 ini. Kenapa dikait-kaitkan dengan pakaian khusus keagamaan, misalnya,” kata Haedar.
Pendekatan, Bukan Langsung SKB
Muhammadiyah pun setuju, jika sekolah tidak boleh mendiskriminasi atau memaksakan sesuatu.
“Tetapi mestinya, ‘kan bisa pendekatan yang tidak otomatis dengan pendekatan SKB,” ujar Haedar.
“Karena kalau SKB itu diberlakukan, bisa merambat pada yang lain,” sambungnya.
Haedar juga mengaku khawatir, pendekatan kekuasaan seperti SKB [tanpa mengindahkan kearifan lokal agama dan budaya tertentu] berpotensi merusak keberagaman di Indonesia.
Sementara, jika hanya dilakukan sepihak serta secara inkonsisten [untuk satu agama tertentu], maka akan timbul kecurigaan-kecurigaan lain.
Haedar pun mencontohkannya, dengan salah satu perayaan hari keagamaan yang memaksa penghentian semua kegiatan publik [pada hari tersebut], termasuk bagi pemeluk agama lain.
“Nah, kalau ada kasus seperti ini, apa tidak keluar juga SKB 3 Menteri untuk melarang seluruh Pemda yang melakukan usaha diskriminasi?,” bebernya,
“Ini dampaknya luas. Saya termasuk menyarankan, jangan ada larangan, karena itu sudah melekat dengan agama dan budaya,” jelas Haedar.
Kritik Membangun
Di akhir, Haedar menegaskan, bahwa elemen bangsa, Muhammadiyah akan terus menyampaikan kritik.
Namun, tujuannya bukan menjatuhkan, karena kritik yang disampaikan pun konstruktif.
Haedar juga memuji keterbukaan pemerintah dalam menerima kritik.
Maka itu, ia berharap, ke depannya, dalam perencanaan pendidikan, pemerintah bukan hanya mempertimbangkan aspek pragmatis; pasar dan ekonomi.
Namun, juga harus memperhatikan dimensi idealis, moral, dan fundamental, sebagaimana tercantum dalam perangkat undang-undang di atasnya.
“Harus ada konsep-konsep tandingan, harus ada narasi alternatif, ada pikiran tandingan yang lengkap, dan itu konstruktif, menurut saya,” tegas Haedar.
“Nah, kita uji nanti, kalau ada konsep yang lengkap, tapi [hasilnya] tetap, berarti ada sesuatu yang keliru,” sambungnya.
Itu mengapa, kekuatan-kekuatan moderat yang masih otentik, lanjutnya, harus bersuara.
“Tapi suaranya jangan terus gaduh dalam percikan-percikan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat politik,” pungkas Haedar.