Ngelmu.co – Lebih dari 18 tahun yang lalu, KPK, berdiri. Independen. Menggenggam amanah untuk memberantas korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Kini, meski bukan pertama kali, sebuah pertanyaan kembali terdengar. Bahkan, semakin nyaring.
“Quo vadis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia?”
Rontoknya Harapan
Harapan tentang komitmen lembaga antirasuah Indonesia, memberantas korupsi di Tanah Air, rontok.
Desember 2019 lalu, Peneliti Pukat [Pusat Kajian Antikorupsi] Fakultas Hukum UGM [Universitas Gadjah Mada] Agung Nugroho, bicara.
Tepatnya setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi), memberikan grasi kepada mantan gubernur Riau yang terjerat kasus gratifikasi, Annas Mamum.
Agung menilai, pemberian grasi terhadap koruptor, menjadi gambaran pemerintah tidak berkomitmen memberantas korupsi.
Bahkan, sejak awal 2019, begitu banyak hal yang dapat membuktikan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, akan menyuram.
Contoh pertama adalah lahirnya revisi Undang-Undang KPK, “Bagi kami adalah sangat melemahkan KPK,” tutur Agung, Senin (16/12/2019).
“Tapi [justru] didorong oleh pemerintah, atau tidak dihentikan oleh pemerintah,” imbuhnya miris, mengutip Republika.
“Pemerintah juga tidak mengeluarkan Perppu atas itu, untuk memperbaiki situasi ini,” sambungnya lagi.
Padahal, seharusnya, pemberantasan korupsi menerapkan efek jera kepada para pelaku.
Segelintir manusia yang merugikan ratusan juta jiwa penduduk Indonesia. “Apalagi, suap dalam hal infrastruktur, harusnya diberikan efek jera bagi mereka.”
“Efek jera itu fungsinya apa? Agar ia tidak mengulangi lagi, dan yang lain, secara umum,” jelas Agung.
“Efek preventifnya adalah yang lain tidak ikut-ikutan, karena efek jera yang diberikan kepada napi korupsi itu hukumannya begitu berat,” tegasnya.
Nakhoda Baru KPK
DPR dan pemerintah, mengumumkan hasil revisi UU 30/2002 tentang KPK, yakni UU 19/2019.
Mengatur pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK, sebagai lembaga internal yang mengawasi lembaga antirasuah Indonesia.
Menjadikan KPK sebagai bagian dari lembaga yang ada di bawah rumpun eksekutif.
Memperketat kasus yang dapat ditangani KPK, serta lahirnya aturan penghentian perkara (SP3).
Pada Desember 2019, KPK memang memiliki nakhoda baru. Lengkap dengan lima orang Dewas.
Status pegawai KPK juga berubah, dari independen, menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Proses penindakan kasus? Diperpanjang. Penanganan kasus korupsi? Bukan tak mungkin dihentikan.
Kritik dan Protes Mengudara
Segala perubahan berjalan ekspres. Pegiat antikorupsi juga mengkritik keras penunjukan Firli Bahuri, sebagai ketua.
Mereka menilai keputusan tersebut jauh dari kata tepat, karena meloloskan kandidat yang bermasalah pada pemberantasan korupsi.
Meski tak henti menuai protes dari pegiat antikorupsi, mahasiswa, bahkan pihak internal KPK, revisi UU KPK, tetap jadi.
Dua nyawa mahasiswa yang melayang saat untuk rasa menolak revisi UU KPK di Kendari, Sulawesi Tenggara, pun tinggal cerita.
Tak terkecuali tiga mahasiswa lainnya yang juga tewas di Jakarta. Ibu kota negara.
“Sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antara lain oleh TAP MPR XI/1998, pelemahan terhadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.”
Demikian tegas Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Jumat (13/9/2019).
Pada Selasa (17/9/2019), eks Wakil Ketua KPK Laode M Syarif [kala itu masih menjabat] juga membeberkan beberapa poin dalam UU 19/2019 yang melemahkan KPK.
“Komisioner KPK, bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.”
“Penyadapan, penggeledahan, penyitaan, harus izin Dewas.”
“Dewas periode pertama, dipilih Presiden, tanpa melalui panitia seleksi.”
“Dewas diangkat oleh Presiden. Komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK.”
“Status kepegawaian KPK, berubah drastis, dan harus melebur menjadi ASN.”
“Hal tersebut berpotensi besar untuk mengganggu independensi KPK, dalam mengusut suatu kasus,” kritik Syarif.
Mundur dan Mundur
Revisi UU KPK juga mengakibatkan mundurnya nama-nama penting dari kepengurusan.
Salah satu yang menyita perhatian publik adalah Febri Diansyah. Melalui surat resmi, 18 September 2020, ia menyatakan mundur dari KPK.
“KPK adalah contoh sekaligus harapan bagi banyak pihak, untuk dapat bekerja dengan baik, independensi merupakan keniscayaan.”
“Namun, kondisi politik dan hukum, telah berubah bagi KPK,” kata Febri.
Ia bukan satu-satunya. Pegawai senior di KPK, Nanang Farid Syam, juga mengambil langkah senada.
Ia merupakan salah satu pegawai paling awal yang bergabung dengan KPK, ‘Indonesia Memanggil Jilid I’, pada 2005 silam.
“Jadi 2019 akhir, kita juga sudah merenung sama-sama dengan teman-teman, kemudian kita berikhtiar, setahun berjalan.”
“Ternyata, saya kira, ini bukan tempat saya, karena mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi,” tutur Nanang.
“Insya Allah, 16 Desember nanti [16 Desember 2020], pas 15 tahun saya mengabdi di KPK.”
“Dulu saya dilantik tanggal 16 Desember 2005. Jadi, saya mengajukan kemarin itu untuk berhenti, 16 Desember 2020,” jelas Nanang.
Saat itu, Nanang menyampaikan surat pengunduran diri kepada Direktur PJKAKI KPK Sujanarko.
Namun, ia enggan melaporkannya ke Pimpinan KPK, “Saya kira kalau ke pimpinan, mungkin enggak, ya, karena bagi mereka ‘kan pegawai hal biasa.”
Ia juga tak memungkiri, keputusannya keluar dari KPK, karena adanya perubahan kondisi, pasca berlakunya UU 19/2019 tentang KPK.
Terlebih, UU baru tersebut mengatur pegawai untuk alih status menjadi ASN. “Pastinya ada [perubahan dari KPK].”
“Artinya, kalau dari sisi itu, publik pasti tahu-lah apa yang terjadi,” kata Nanang.
“Kita juga enggak ingin pandangan pribadi kita memengaruhi pandangan orang lain,” sambungnya.
Nanang juga menegaskan, sejak awal, ia tidak menyetujui adanya revisi UU KPK.
Maka seiring berjalannya waktu, dengan penerapan UU KPK yang baru, Nanang, lebih memilih mundur.
Sekarat dalam Denyut
Pakar hukum menilai UU 19/2019 tentang KPK, membuat lembaga antirasuah Indonesia, ‘sekarat’.
“KPK, sekarang itu hanya menunjukkan ia masih berdenyut, tapi sebenarnya sekarat.”
Demikian kata pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar.
Penilaian yang ia sampaikan dalam diskusi daring, ‘Apa Kabar Penegakan Anti-Korupsi dengan UU KPK Baru?’.
“Saya berani membangun narasi, bubarkan saja KPK yang sekarang, dan lebih baik membangun KPK yang baru,” tegas Zainal, Senin (19/4).
Sebab, ia menilai, dengan UU baru, denyut KPK tersisa, hanya karena peran satu dua orang yang masih konsisten [memberantas korupsi].
Zainal juga mencontohkan, kasus suap bekas Komisioner KPU [Komisi Pemilihan Umum] Wahyu Setiawan.
Pengungkapan perkara tersebut, menurutnya, belum tuntas, karena pemberi suap belum diadili.
Begitu juga dengan sumber uang perkara yang masih ‘abu-abu’.
“Padahal, pengakuannya banyak. Ada yang mengatakan dari salah seorang Sekjen partai,” ungkap Zainal.
“Ada yang mengatakan dari siniβ¦ tapi kemudian, sampai sekarang tidak diperiksa,” bebernya.
“Enggak ada penegakan hukumnya. Bahkan, orang yang membawa itu, Harun Masiku, kemudian ‘hilang’,” sindirnya.
“Jadi, di level satu saja enggak jelas,” tegas Zainal yang bahkan memprediksi, bahwa KPK akan benar-benar ‘tamat’.
“Saya termasuk yang mengatakan, tinggal menunggu waktu. Juni sampai sekitar Oktober, mereka akan khatam semua,” ujarnya.
Tepatnya, ketika seluruh pegawai KPK resmi menjadi ASN, sebagaimana amanat UU 19/2019 tentang KPK.
“Kalau semua sudah diratakan menjadi ASN, sederhananya, enggak ada lagi penyidik independen,” kritik Zainal.
“Adanya [hanya] PPNS [Penyidik Pegawai Negeri Sipil] yang pengawasannya dipegang Polri, Korwas. [Maka sama saja] KPK khatam,” sambungnya.
Zainal juga menilai, alih status pegawai KPK, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat menangani perkara.
Peralihan status tersebut juga akan membuka celah, tergerusnya independensi personel lembaga antirasuah.
Khususnya saat menangani perkara yang melibatkan anggota kepolisian.
Masyarakat juga harus menagih komitmen kepada para pemimpin politik di masa mendatang, kata Zainal.
Ketegasan untuk membangun KPK baru, karena, “UU KPK baru ini sudah menandakan matinya demokrasi substansi, dan menguatnya formalitas.”
Alih Status Jadi ASN
Pada Rabu (5/5) kemarin, pimpinan KPK telah mengumumkan 75 pegawainya yang tidak lolos TWK [tes wawasan kebangsaan], bagian dari seleksi ujian ASN.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, menjelaskan, hasil TWK alih status tersebut, terdiri dari dua kategori:
- Memenuhi syarat, dan
- Tidak memenuhi syarat.
“Hasil sebagai berikut, (a) pegawai yang memenuhi syarat sebanyak 1.274 orang, (b) yang tidak memenuhi syarat ada 75 orang.”
Demikian kata Ghufron, di Gedung KPK, Jakarta. Mengutip CNN, ada pula dua pegawai KPK yang tidak mengikuti TWK.
Adapun sejumlah aspek yang diukur dalam tes ini, kata Ghufron, antara lain integritas, netralitas, dan antiradikalisme.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa, “KPK tidak pernah menyatakan melakukan pemecatan terhadap 75 pegawai yang TMS [tidak memenuhi syarat].”
Baca Juga:Β Warganet Soroti Pertanyaan Tes Pegawai KPK untuk Lolos ASN, Salah Satunya soal Qunut
Pada 18 Maret- April lalu, lebih dari 1.351 pegawai KPK, menjalani TWK.
Presiden Jokowi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.
Jokowi meneken aturan tersebut pada 24 Juli 2020, dan mulai berlaku sejak diundangkan, yakni Senin, 27 Juli 2020.
“Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN.”
Demikian bunyi Pasal 1 Ayat 7 PP tersebut, sebagaimana diakses pada situs JDIH Sekretariat Negara.
Dalam PP 41/2020 ini, ruang lingkup pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, meliputi pegawai tetap dan tidak tetap.
Terdapat sejumlah syarat serta tahapan yang harus dilewati.
Mulai dari penyesuaian jabatan, hingga pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi.
Termasuk pengalaman pegawai KPK dengan jabatan ASN yang akan diduduki.
Kekhawatiran Publik Mulai Terbukti
Peneliti ICW Kurnia, menyebut kekhawatiran publik atas berbagai kebijakan Presiden Jokowi yang berkaitan dengan KPK, sedikit demi sedikit, mulai terbukti.
Sejak awal, menurutnya, terdapat upaya untuk melemahkan KPK, termasuk dengan munculnya isu pemecatan sejumlah pegawai KPK, dengan dalih tak lolos TWK.
Alih-alih memperkuat, kata Kurnia, pemerintah dan DPR justru memperlihatkan berbagai upaya mengeluarkan KPK dari gelanggang pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Akhirnya, kekhawatiran masyarakat atas kebijakan Presiden Joko Widodo dan DPR yang memilih merevisi UU KPK serta mengangkat komisioner penuh kontroversi, terbukti.”
Demikian kata Kurnia, secara tertulis, Selasa (4/5) lalu, mengutip CNN.
Ia juga menyinggung, isu yang menyebut sejumlah pegawai KPK akan dipecat, usai tak lulus TWK.
Kurnia bahkan menilai, hal ini seperti hasil rancangan untuk menghabisi KPK, “Betapa tidak, sinyal untuk tiba pada kesimpulan itu telah terlihat secara jelas dan runtut.”
“Mulai dari merusak lembaga antirasuah dengan UU KPK baru, ditambah dengan kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri,” imbuhnya.
“Dan kali ini, pegawai-pegawai yang dikenal berintegritas, disingkirkan,” ujar Kurnia.
Berbagai praktik buruk ini, sambungnya, kian melengkapi wajah suram KPK di bawah kepemimpinan Firli.
Mulai dari Harun Masiku yang juga belum terseret ke proses hukum.
Begitu juga dengan menghilangnya nama politisi dalam dakwaan korupsi bantuan sosial (bansos), hingga melindungi saksi perkara suap benur [benih lobster].
“Bahkan, membocorkan informasi penggeledahan, sampai pada akhirnya melucuti satu per satu penggawa KPK,” tutup Kurnia.
Respons Publik
Melalui akun Twitter pribadinya, @febridiansyah, eks Jubir KPK itu mengatakan, “Waktu akan mencatat. Di masa inilah kata kebangsaan dapat dijadikan alat mematikan pemberantasan korupsi.”
“Padahal, tidak ada sebuah bangsa yang bisa menjadi Bangsa yang bermartabat dan dihormati, karena slogan semata, sementara para pejabatnya korup.”
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) juga melayangkan sindiran, “Yang menjengkelkan itu, kita capek-capek ribut melawan kaum radikal demi menjaga NKRI.”
“Eh, kaum elite malah jualan isu radikalisme untuk melemahkan pemberantasan korupsi, ‘kan gak nyambung jadinya. Angel we angelll,” cuitnya.
Makin kesini aku makin yakin bahwa anak itu tidak salah tulis πππππ pic.twitter.com/XFxNbEKMlf
β Gus Ehek – Hoax Membangun (@NowowoNowiwi) May 4, 2021
MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua permohonan uji formil dan materiel UU 19/2019 tentang KPK.
Hakim konstitusi hanya mengabulkan sebagian permohonan uji materiel, terkait penyadapan serta penggeledahan harus seizin Dewas.
Total, terdapat tujuh perkara gugatan yang dilayangkan sejumlah pihak terkait revisi UU KPK, meliputi gugatan uji formil dan materiel.
Pelemahan KPK Telah Dirancang
Direktur PUSaKO [Pusat Studi Konstitusi] Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari, buka suara.
Ia menilai, sejak bergulirnya revisi UU KPK, pelemahan terhadap lembaga antirasuah Indonesia, telah dirancang sedemikian rupa.
“Sedari awal, kami menduga, memang upaya pelemahan KPK,” tutur Feri, Rabu (5/5), mengutip CNN.
“Ini sangat terstruktur, terorganisasi dengan baik,” sambungnya.
Pemerintah dan DPR, lanjutnya, adalah pihak yang harus bertanggung jawab, karena kehancuran KPK, berawal dari revisi UU KPK, 2019 lalu.
Substansi dalam UU 19/2019, menurut Feri, sangat membatasi kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Dalam hal ini, ia menyoroti keberadaan Dewas KPK yang memegang kewenangan menghentikan perkara.
Begitu juga dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN, “Upaya mematikan itu dilakukan secara menyeluruh dan bertahap.”
Feri juga menyinggung, berbagai persoalan di KPK, dalam dua tahun terakhir.
Seperti pegawai yang justru mencuri barang bukti, hingga penyidik yang menerima suap dari kepala daerah.
Belum lagi, pemberlakuan UU baru KPK, bersamaan dengan terpilihnya komisioner yang diduga memiliki rekam jejak buruk.
“Ini ‘kan ala-ala preman yang berupaya membusukkan KPK dari dalam, dari jantung KPK sendiri,” tegas Feri.
Bahkan, pemerintah dinilai telah menguasai lembaga yudikatif untuk memastikan kehancuran KPK.
Hal tersebut, kata Feri, terlihat dari keputusan MK yang menolak uji formil UU KPK.
“Di sini-lah kita bisa lihat, bagaimana paripurnanya pemerintahan atau rezim ini menghancurkan KPK,” ungkapnya.
Dugaan Demi Dugaan
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo juga menduga, pasca Pilpres 2019, hasil politik menuntut adanya berbagai negosiasi baru.
Antara pemerintah dengan DPR, pun partai politik, yang tak lain adalah membinasakan KPK.
“Di situ-lah negosiasi berujung kepada kesepakatan untuk membinasakan KPK, dengan adanya revisi,” kata Adnan, Rabu (5/5).
Salah satu kunci keberhasilan KPK selama ini, sambungnya, adalah independensi.
Lantas, bagaimana dengan perubahan UU yang mengatur KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif serta pegawai alih status menjadi ASN?
Adnan menyinyalir, hal tersebut akan menghambat berbagai kerja KPK dalam memberantas korupsi.
“Dalam situasi terbaru, ada kepentingan untuk mengonsolidasi semua kekuasaan di tangan satu pihak, dalam hal ini presiden,” tuturnya.
“Maka dalam hal ini, KPK harus diatur, dikontrol, dikendalikan. Satu-satunya cara mengendalikan KPK, ya, merevisi Undang-Undangnya,” kata Adnan.
Dengan demikian, ia mengaku pesimistis terhadap agenda pemberantasan korupsi ke depan.
Sebab, menurut Adnan, alih status pegawai KPK menjadi ASN, menandakan terbenamnya lembaga antirasuah dari independensi.
“Ini membuat reputasi Indonesia dalam pemberantasan korupsi di 2021, akan semakin terpuruk,” pungkasnya.