Ngelmu.co – Penulis zionis Ari Shavit, menerbitkan sebuah artikel di situs Haaretz [surat kabar Ibrani], pada 13 Mei lalu.
Pria yang juga menulis untuk media ‘New York Times’ itu mengatakan, “Sepertinya kita menghadapi masa yang paling sulit dalam sejarah.”
“Tidak ada solusi dengan Palestina, kecuali pengakuan hak mereka, dan diakhirinya pendudukan,” sambung Shavit.
Sebagai penulis kritis, ia memulai artikelnya dengan pemikiran, mungkin saja, semuanya hilang.
Mungkin, kata Shavit, Israel sedang melewati titik tanpa harapan.
“Mungkin, kita harus mengakhiri pendudukan, menghentikan pemukiman, dan mencapai perdamaian.”
Israel, kata Shavit, tampaknya juga tak mungkin lagi mereformasi zionisme. Tidak juga mampu menyelamatkan demokrasi.
“Hanya akan memecah belah rakyat di negeri kita sendiri.”
Jika ini benar terjadi, Duta Al-Quds Internasional Ali Farkhan Tsani, pun menilai.
Orang Israel, tidak akan senang lagi hidup di wilayah yang mereka ambil paksa dari Palestina itu.
Warganya juga harus menjalani saran dari penulis Haaretz lainnya, Rogel Alpher, dua tahun lalu. Meninggalkan Palestina.
“Jika Israel dan Yudaisme bukan merupakan faktor vital dalam identitas, jika setiap warga Israel memiliki paspor asing [tidak hanya dalam arti teknis, tetapi juga dalam arti psikologis], maka semuanya sudah berakhir,” kata Ali.
“Ucapkan selamat tinggal kepada teman-teman mereka, dan berpindahlah mereka ke San Francisco, Berlin, atau Paris,” imbuhnya.
Negara-negara ultranasionalisme seperti Jerman atau Amerika Serikat, menurut Ali, akan menjadi pihak yang dengan tenang menyaksikan Israel, mengembuskan napas terakhirnya.
Sebab, Shavit juga mengatakan bahwa Israel, harus mundur tiga langkah, “Untuk menyaksikan negara demokratis Yahudi tenggelam.”
“Masalahnya mungkin belum ditetapkan,” sambung pria Israel yang pernah menjalani wajib militer ke Lebanon itu.
Bahkan, Shavit menyebut, pihak yang akan mengakhiri Israel, bukan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Bukan juga anggota Knesset [parlemen Israel] Avigdor Lieberman, kelompok neo-Nazi, Donald Trump, Jared Kushner, Joe Biden, Barack Obama, pun Bill Clinton.
Tidak pula Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa. Bukan mereka yang akan menghentikan aktivitas pemukiman itu, kata Shavit.
Satu-satunya kekuatan di dunia yang mampu menyelamatkan Israel [dari keslaahannya pribadi] adalah dirinya sendiri.
Dengan cara menciptakan bahasa politik baru. Mengakui kenyataan bahwa yang berakar di tanah tersebut adalah Palestina.
Israel juga perlu mencari cara untuk bisa bertahan hidup di sana. Tidak mati.
Pasalnya, sebenarnya, orang Israel pun sadar, sejak datang ke Palestina, negara mereka tidak pernah ada.
Hanya hasil kebohongan gerakan zionis. Semua cuma tipu daya Yahudi, sepanjang sejarah.
Mereka mengeksploitasi, memperkuat apa Hitler sebut sebagai Holocaust.
Gerakan yang mencuci otak dunia untuk percaya bahwa Palestina merupakan ‘tanah perjanjian’.
Termasuk tuduhan adanya kuil di bawah Masjid Al-Aqsa. Konyol.
“Zionis juga telah mengubah serigala negara-negara kuat dunia, menjadi domba pembayar pajak,” kata Ali.
“Hingga menjadikan Israel, sebagai monster nuklir,” sambungnya.
Israel Feinstein [arkeolog barat dan Yahudi] dari Universitas Tel Aviv, menekankan, bahwa kuil tersebut pun hanya dongeng.
“Semua penggalian, telah terbukti, tidak ada sama sekali. Bahkan, pada ribuan tahun lalu sekalipun,” tegas Ali.
Ini secara eksplisit, dinyatakan dalam sejumlah besar referensi Yahudi itu sendiri.
Baca Juga: Ketika Media Barat Justru Memosisikan Israel Sebagai Korban
Pada 1968, misalnya. Arkeolog Inggris Dr Kathleen Cabinos saat itu menjadi direktur penggalian di Sekolah Arkeologi Inggris, di Yerusalem.
Namun, ia justru diusir dari Palestina, karena mengekspos mitos Israel, tentang keberadaan jejak Kuil Sulaiman di bawah Masjid Al-Aqsa.
“Saya memutuskan, berdasarkan penelitian, bahwa tidak akan pernah ada jejak dari Kuil Sulaiman,” tegas Cabinos.
Ia juga menekankan, bahwa kutukan berbohong itu yang malahan menganiaya orang-orang Israel.
Kian hari, kutukan tersebut menampar wajah mereka sendiri, dalam bentuk pisau di tangan orang-orang Maqdisi, Khalili, dan Nabulsi.
Begitu juga dengan lemparan batu kolektif, atau sopir bus dari Jaffa, Haifa, dan Acre.
Orang-orang Israel, sebenarnya menyadari, bahwa mereka tak punya masa depan di Palestina.
Sebab, mereka merebut paksa tanah orang. Mereka terus menciptakan kebohongan demi kebohongan.
Zionis sayap kiri yang juga penulis, Gideon Levy, bahkan mengakui, problematik bukan pada keberadaan rakyat Palestina, tetapi superioritas Israel.
Ia menyebut, warga Palestina, berbeda dengan manusia lainnya.
Ketika tanah diduduki, para pemuda dipenjara, wanita-wanitanya dinistakan, dan diminta melupakan Tanah Air, mereka, tetap tak akan pernah melakukannya.
Beberapa tahun kemudian (2000), mereka justru kembali dengan pemberontakan bersenjata–Intifadah.
Ancaman pasukan Israel–menghancurkan rumah serta memblokade pergerakan–tak sedikit pun membuat nyali warga Palestina, ciut.
Mereka malah semakin berani melawan, mendatangi pasukan Israel. Lewat bawah tanah, hingga terowongan.
Ketika zionis menyerang, mereka justru mengirim teror ke setiap rumah orang Israel.
Mereka balik menyebar ancaman sekaligus mengintimidasi. “Seperti yang terjadi ketika pemuda mereka berhasil merebut saluran media ‘Israel 2’,” kata Ali.
Levy juga mengakui, “Singkatnya, kita seperti menghadapi orang-orang yang paling sulit dalam sejarah.”
“Dan satu-satunya solusi dengan mereka adalah pengakuan atas hak-hak mereka, dan diakhirinya pendudukan,” tegasnya.
Iron Dome–sistem pertahanan tercanggih–juga tak lagi kuasa menahan gempuran roket-roket rakitan dari para pejuang Palestina di Jalur Gaza.
Serangan roket dari Suriah dan Lebanon, meski jumlahnya relatif kecil, juga semakin memusingkan Israel.
Belum lagi berbagai aksi konfrontasi, berani mati, di Tepi Barat.
Aksi menabrakkan mobil ke zionis Israel, hingga perlawanan politik dari warga Israel-Arab Muslim di Tel Aviv.
“Belum lagi demo dari warga Israel sendiri yang menuntut mundurnya Netanyahu,” tutur Ali.
Dunia, lanjutnya, hanya tinggal menunggu raungan terakhir saat leher para pemimpin Israel tercekik.
“[Para pemimpin] yang tak berperikemanusiaan,” jelas Ali.
Dunia, sambungnya, tinggal menunggu waktu sembari terus melayangkan doa-doa mustajab di penghujung malam.
Catatan: Saduran tulisan Redaktur Senior Kantor Berita Mina News Ali Farkhan Tsani