Ngelmu.co – PDI Perjuangan (PDIP) menyatakan enggan berkoalisi dengan dua parpol, yakni PKS dan Partai Demokrat. Mengapa demikian?
Enggak Koalisi dengan PKS dan Demokrat
Sebagaimana yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, dalam diskusi ‘Membaca Dinamika Partai & Solidaritas Koalisi Menuju 2024’ yang digelar secara daring pada Jumat (28/5/2021), menurutnya partainya itu memiliki ideologi dan basis massa yang berbeda dengan kedua partai tersebut.
“Koalisi bagi PDIP yaitu kerja sama politik itu basisnya harus ideologi. PDIP berbeda dengan PKS karena basis ideologinya berbeda, sehingga sangat sulit untuk melakukan koalisi dengan PKS. Itu saya tegaskan sejak awal,” kata Hasto.
Begitupun dengan Partai Demokrat. Hasto mengatakan, PDIP dan partai yang dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memiliki DNA yang berbeda.
Oleh karena itu, dengan ketidakcocokan dari dua partai tersebut, maka ia berharap tidak perlu lagi ada pihak-pihak yang berusaha membuat wacana PDIP berkolasi dengan PKS atau Partai Demokrat.
“Kami berbeda dengan Partai Demokrat. Ini tegas-tegas saja, supaya tidak ada juru nikah yang ingin mempertemukan tersebut. Karena beda karakternya, nature-nya,” ujarnya.
Cocok dengan PAN
Sementara itu, Hasto mengungkapakan, bahwa partainya merasa cocok dengan Partai Amanat Nasional (PAN), terlebih setelah mengetahui Amien Rais sudah tidak lagi di partai tersebut.
“Kami sama Partai Amanat Nasional sangat cocok untuk membangun kerja sama, terlebih setelah saya mendapat bisikan dari temen temen PAN pasca pak Amien Rais tidak tidak ada di PAN, wah itu makin mudah lagi untuk membangun kerja sama politik,” ucapnya.
Tanggapan Pengamat Politik
Sikap yang disampaikan oleh Sekjen PDIP itu, kemudian lantas menuai polemik, hingga pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Robi Nurhadi pun angkat bicara.
Menurut Robi, pilihan politik dimetris PDIP terhadap PKS dan Demokrat memberi banyak makna. Pertama, penegasan ‘barang dagangan politiknya’ yang ingin ditunjukkan kepada pemilih yang tidak suka dengan Islam ala PKS dan pemilih yang tidak suka dengan SBY.
“Kedua, menunjukkan kurang dewasanya Sekjen PDIP tersebut. Saya tidak bisa menyebutkan bahwa itu adalah sikap PDIP. Sebab, Pak Hasto bukan merupakan figur personifikasi partai berlambang moncong banteng tersebut. Pilihan diametris memang merupakan sebuah pilihan dari rasionalitas hitung-hitungan persentase pemilih berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. Namun, sesungguhnya politik diametris bertentangan dengan kelaziman parpol yang semestinya memenangkan suara pemilih semaksimal mungkin. Kekurangdewasaan juga dilihat dari penyampaian yang terlihat sarkastik,” jelas Robi sepertiyang dikutip dari SINDOnews, Sabtu (29/5/2021).
Ketiga, pernyataan politik diametric PDIP tersebut terkesan hanya retorik, karena pada kenyataannya tidak semua rancangan undang-undang yang menunjukan PDIP head to head dengan PKS ataupun Demokrat. Bahkan di DPRD, PDI dan PKS atau PDI dengan Demokrat juga pernah melakukannya dalam pengusungan calon kepala daerah di berbagai kota, kabupaten, dan provinsi.
Robi menambahkan, politik itu seringkali lebih terlihat secara praktis tentang siapa dapat apa. Situasi politik seringkali cair, dinamis, dan tidak mudah diterka. Hal itu terjadi karena antara harapan ideal tidak bertemu dengan kenyataan di lapangan.
“Karena itu, koalisi pragmatis kadang tidak terelakkan. Termasuk dalam kemungkinannya koalisi PDIP dengan PKS atau dengan Demokrat. Itulah kenapa ada ungkapan yang menyatakan bahwa tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan abadi,” ujarnya.