Ngelmu.co – Pribadi dan kekayaan Umar bin Abdul Aziz, berubah drastis, sejak ia menggenggam amanah untuk menjadi pemimpin kaum Muslimin [Khalifah kedelapan Dinasti Bani Umayah].
Sebelumnya, ia terbiasa melimpahkan harta kepada sang istri. Ia juga gemar menghabiskan waktu untuk memoles diri di depan cermin.
Harga pakaiannya pun mahal, karena terbuat dari kain halus. Umar bin Abdul Aziz memang sosok kaya raya.
Namun, semua berubah. Sesaat setelah menjadi Khalifah, ia memberikan pilihan kepada sang istri.
Wanita salihah, muslimah yang menyayanginya karena Allah Ta’ala itu dipersilakan untuk memilih.
Mengembalikan seluruh perhiasannya untuk kemudian dijadikan kas negara, atau diceraikan, jika ingin mempertahankan kekayaan tersebut.
Lantas, ke mana arah pilihan Fatimah binti ‘Abdul Malik?
Dengan mantap, ia memilih untuk mengembalikan sebagian besar harta halalnya untuk dijadikan kas negara.
Bukan tanpa pertimbangan, tetapi karena iman memang tertancap kuat di dalam sanubari istri Umar bin Abdul Aziz.
Ia bersedia mendampingi sang suami, menjalani hidup sederhana, menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala, melalui jalur pemerintahan.
Begitu juga dengan seluruh pakaian sang Khalifah.
Umar bin Abdul Aziz, mengganti pakaiannya, dari kain paling halus, menjadi bahan paling kasar.
Suatu ketika, sang Khalifah, bahkan menolak baju pemberian kaum Muslimin, karena bahannya terlalu halus.
Padahal, sebelum menjadi pemimpin kaum Muslimin, bahan jenis itu di matanya adalah yang paling kasar.
Mengutip tulisan Ustaz Hepi Andi Bastoni [dari Majalah Al-Intima’ 69], Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Mansur [Khalifah kedua Bani Abbasiyah], bertanya kepada anak Umar bin Abdul Aziz.
“Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?”
“Empat puluh ribu dinar,” jawab sang anak, Abdul Aziz, lugas.
“Lalu, berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia?”
“Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang,” tuturnya.
Abdul Aziz mengatakan, bahwa sejak hari pertama menjabat, sang ayah, terus mengingat betapa mengngerikannya hisab di akhirat.
Cinta dan taatnya kepada Allah, membuat tekad Umar bin Abdul Aziz, menyejahterakan semua pihak, bulat.
Bahkan, bukan hanya terhadap manusia, tetapi juga hewan.
Malik bin Dinar pernah bicara soal pernyataan para penggembala domba dan kambing saat Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah.
“Mereka berkata, ‘Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-domba kami’.”
Masya Allah.
Mengutip berbagai sumber, Umar bin Abdul Aziz yang lekat dengan julukan ar-Rasyid Asyajj Bani Umayyah, tak bangga dengan penunjukannya.
Begitu mengetahui ia akan menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Abdul Aziz justru langsung mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.”
Usai pelantikan, ia berpidato di hadapan rakyat, “Aku tidak menghendaki jabatan Khalifah.”
“Aku tidak pernah diajak musyawarah atas jabatan itu, juga tidak pernah memintanya. Maka cabutlah baiat itu, dan pilihlah yang kalian kehendaki.”
Massa, seketika berteriak, “Sungguh, kami memilih engkau, wahai Amirul Mukminin!”
Umar bin Abdul Aziz yang merasa tak lagi dapat menghindar, memberi penjelasan, bagaimana ia akan memimpin umat.
“Taatlah kalian kepadaku, selama aku taat kepada Allah. Apabila aku maksiat kepada Allah, maka tidak ada [kewajiban] kalian taat kepadaku.”
Setelahnya, Umar bin Abdul Aziz pulang ke rumah dengan wajah muram. Kepada istrinya, ia mengatakan, “Aku telah diuji Allah dengan jabatan ini.”
“Dan aku teringat orang-orang yang miskin, ibu-ibu janda, dan mereka yang rezekinya sedikit.”
“Aku pun teringat orang-orang tawanan dan kaum fakir miskin. Kelak, mereka akan mendakwaku di akhirat.”
Para ahli sejarah Islam, menggelari Umar bin Abdul Aziz sebagai khulafaur rasyidin kelima.
Julukan yang menandakan ketinggian akhlaknya, sebagaimana keempat pemimpin–sekaligus sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Abu Bakar ash-Shiddiq,
- Umar bin Khattab,
- Utsman bin Affan, dan
- Ali bin Abi Thalib.
Baca Juga: Kisah Fir’aun, 5 Pilar Tirani Kekuasaan yang Akan Hancurkan Suatu Negeri
Sebenarnya, Umar bin Abdul Aziz, berhak menempati istana kesultanan yang megah.
Namun, ia justru menyerahkan bangunan besar itu kepada keluarga pendahulunya, Sulaiman bin Abdul Malik.
Sementara ia, memilih tinggal di rumah kecil nan reyot.
Perangainya serupa dengan Khalifah Umar pada zaman khulafaur rasyidin silam.
Tak heran jika banyak kalangan yang menyebutnya sebagai Umar II.
Sejak hari pertama menjabat, Umar bin Abdul Aziz, sadar bahwa kekuasaan adalah amanah Allah.
Hatinya selalu takut akan pengadilan hari akhir, serta perjumpaanya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kelak.
Maka begitu menjadi amirul mukminin, ia meminta para bawahan untuk melelang seluruh harta pribadinya.
Cara hidupnya yang zuhud, bukan hanya menimbulkan respek dari sesama Muslimin, tetapi juga non-Muslim. Bahkan, rivalnya.
Cerita tentang keluhuran akhlak Umar bin Abdul Aziz, begitu masyhur.
Banyak sejarawan, menulis kisahnya sebagai pembelajaran untuk generasi saat ini pun yang akan datang.
Selain keteladanan, rasa cintanya terhadap syiar agama, ilmu pengetahuan, dan sains, juga patut dicontoh.
Itu mengapa Umar bin Abdul Aziz mengantongi julukan umara yang ulama, penguasa yang alim.
Umar bin Abdul Aziz, wafat pada 20 Rajab 101 Hijriah [5 Februari 720], di usia 37 tahun.
Selama kurang lebih tiga tahun masa pemerintahannya, kemakmuran terjadi secara merata.