Ngelmu.co – Sudah berapa banyak mural yang viral, kemudian ‘menghilang’ alias dihapus oleh aparat?
Setidaknya ada ‘Tuhan, Aku Lapar!!’, ‘404: Not Found’, ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’, hingga ‘Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan’.
Menjadi catatan, karena Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menilai penghapusan mural, berpotensi melanggar HAM.
“Berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya kebebasan berpendapat dan berekspresi.”
Demikian tegas Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Rabu (18/8) lalu, mengutip Kompas.
Penghapusan, lanjutnya, juga melanggar hak atas rasa aman masyarakat, lantaran aparat sempat mencari pembuat mural.
“Saya kira, aparat terlalu reaktif dengan ekspresi masyarakat, terkait dengan kondisi yang ada sekarang,” tutur Beka.
Menurutnya, cara masyarakat bersuara melalui mural, tidak bermasalah.
Sepanjang tak melanggar beberapa aspek yang menjadi ukuran pembatasan ekspresi seni, seperti aspek:
- Keamanan nasional;
- Keselamatan publik; dan
- Ketertiban umum.
Dari sisi konten, pembuat mural juga perlu memperhatikan beberapa hal, yakni:
Tidak menyebarkan kebohongan, tak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), hingga bukan ujaran kebencian.
“Maka aparat harus menghentikan penghapusan dan pencarian pembuat mural,” jelas Beka.
Kata Jokowi soal Mural
Mengutip Berita Satu, pada 29 November 2013 lalu, di Balai Kota DKI, Presiden Joko Widodo (Jokowi), pernah bicara soal mural.
Saat itu, ia yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menekankan, bahwa mural berbeda dengan coret-coret jembatan pun rambu.
Sebagaimana tertera pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Mural, tidak melanggar Perda tersebut.
“Tolong bedakan, ya, antara corat-coret biasa, dengan mural,” tegas Jokowi, kala itu.
“Kalau yang corat-coret yang ada selama ini, beda dengan mural,” imbuhnya.
“Makanya kalau mural, kita tidak apa-apain,” sambungnya lagi.
“Tapi yang mau kita kejar penegakan hukumnya adalah pelaku corat-coret di jembatan, rambu-rambu lalu lintas, dinding bangunan. Itu yang mau kita kejar,” jelas Jokowi.
Masih pada kesempatan yang sama, meski ia menyatakan bahwa mural diperbolehkan, bukan berarti bisa dilakukan di sembarang tempat.
Itu mengapa, Jokowi meminta, sebelum membuat mural, seniman harus mengajukan izin terlebih dahulu ke Dinas Tata Ruang setempat.
“Izinnya tidak pernah ada masalah. Asal izin saja, pasti dibolehkan melakukan mural,” tuturnya.
“Karena tidak semua tempat bisa di-mural, yang paling penting itu tidak dilakukan di sembarang tempat,” lanjut Jokowi.
Menurut Gubernur ke-14 DKI itu, jika berada di lokasi yang stategis, mural dapat menambah keindahan ibu kota.
Maka saat itu, ia tidak mengizinkan jika mural dibuat di seluruh ruang yang ada di Jakarta.
Sementara tahun ini, ketika Jokowi telah menjalani tugasnya sebagai Presiden ke-7 RI (periode kedua), ia berpesan.
“Bapak Presiden tidak berkenan bila kita responsif terhadap hal-hal seperti itu,” kata Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Kamis (19/8) lalu.
“Demikian juga Bapak Kapolri, selalu mengingatkan kita dan jajaran, terutama dalam penerapan UU ITE,” sambungnya.
Halaman selanjutnya >>>