Ngelmu.co – Berbagai pihak menyikapi pernyataan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Dudung Abdurachman, Senin (13/9) lalu.
“Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama, karena semua agama itu benar di mata Tuhan.”
Demikian salah satu pesan Dudung kepada para prajurit, saat berkunjung ke Batalyon Zipur 9 Kostrad, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat.
Menteri Agama
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, menyikapi pernyataan tersebut dengan, “Semua yang berlebihan ‘kan tidak baik,” tuturnya, Selasa (14/9).
Yaqut berkata seperti itu, karena menurutnya, fanatik adalah untuk diri sendiri, sementara kepada orang lain, harus lemah lembut.
“Bahkan kepada yang berbeda keyakinan,” pesannya.
“Jangan dibalik, fanatik, apalagi yang berlebihan, diberlakukan untuk orang lain, sementara untuk diri sendiri, malah lunak,” sambung Yaqut.
Baca Juga:
Ia juga menyepakati pernyataan Dudung, bahwa semua agama benar.
Yaqut menjelaskan, pandangan itu adalah menurut pemeluk agama masing-masing, bukan relativisme, melainkan toleransi.
“Ini yang sering disalahpahami sebagai relativisme. Toleransi adalah tidak menolak apa yang tidak sama dengan yang ia yakini,” kata Yaqut.
“Relativisme itu tidak bisa menoleransi apakah pilihan seseorang itu benar atau salah,” imbuhnya.
“Toleransi dan relativisme, berbeda,” tegas Yaqut.
Majelis Ulama Indonesia
Pada Rabu (15/9) kemarin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Cholil Nafis, juga menanggapi pernyataan Dudung.
Melalui akun Twitter pribadinya, @cholilnafis, ia menekankan, bahwa toleransi itu memaklumi, bukan menyamakan.
“Semua agama benar itu menurut Pancasila, untuk hidup bersama di Indonesia,” tuturnya di awal cuitan.
“Tapi dalam keyakinannya masing-masing pemeluk agama, tetap yang benar, hanya agama saya,” tegas Kiai Cholil.
“Nah, dalam bingkai NKRI, kita tak boleh menyalahkan agama lain, apalagi menodai. Toleransi itu memaklumi, bukan menyamakan,” imbuhnya lagi.
Lebih lanjut, Kiai Cholil menjelaskan, bahwa bagi umat Muslim, yang benar hanya agama Islam.
“Kita wajib meyakininya, agar iman menancap di hati,” ujarnya.
“Hanya, dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, kita harus punya… bertoleransi, kepada umat beragama lain,” pesan Kiai Cholil.
Baca Juga:
Ia juga menggarisbawahi posisi, baik TNI pun pemerintah, yang tentu mengayomi semua umat beragama.
Di akhir, Kiai Cholil menegaskan, “Yang sama, jangan dibeda-bedakan, apalagi dipertentangkan, dan yang memang beda, jangan disama-samakan.”
“Namun, kita tetap harus saling memaklumi dan menghargai. Begitulah makna toleransi yang saya pahami,” jelasnya.
Bicara Fatwa Haram Pluralisme
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI KH Muhyiddin Junaidi, juga buka suara.
“Pernyataan tentang semua agama adalah benar itu sesat dan menyesatkan,” ujarnya, Rabu (15/9).
“Ia harus bisa membedakan antara pluralitas agama, dan paham pluralisme,” sambung Kiai Muhyiddin.
Maka itu ia meminta, agar Dudung, membaca dengan baik Fatwa MUI Nomor 7/2005 tentang Haramnya Paham Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme.
“Fatwa MUI 2005, berlaku untuk publik, terutama umat Islam,” tutur Kiai Muhyiddin.
“Itu adalah bentuk tanggung jawab moral MUI kepada bangsa dan negara tercinta,” tegasnya.
Seharusnya, menurut Kiai Muhyiddin, para petinggi negeri, semaksimal mungkin dapat menghindari lontaran pernyataan yang bukan bidangnya.
“Ini sangat penting. Agar tak menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat,” pesannya.
Kiai Muhyiddin juga menilai, secara tak langsung, pernyataan Dudung menjadi bentuk dukungan terhadap paham relativisme.
Di mana kebenaran itu dianggap abu-abu, tidak jelas.
“Ia harus minta maaf, dan menarik pernyataan tersebut sesegera mungkin,” pinta Kiai Muhyiddin.
Sebab, mengakui kesalahan serta kekhilafan merupakan sikap ksatria yang sesuai dengan ajaran Islam.
“Sebaliknya, mempertahankan pendapat yang salah dengan berbagai alasan subjektif adalah bentuk pembodohan publik,” kata Kiai Muhyiddin.
“Bahkan bisa ditafsirkan sebagai upaya terselubung dari penistaan terhadap agama, terutama Islam,” imbuhnya.
Lebih lanjut ia mengingatkan, bukan mustahil persoalan ini bakal berubah menjadi racun yang merusak syaraf manusia.
“Khususnya para prajurit yang berada di bawah komandonya,” tutup Kiai Muhyiddin.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Berbeda dengan MUI, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo, satu suara dengan Menag.
Ia menilai, pemimpin Indonesia di berbagai level, perlu memiliki sikap inklusif seperti Dudung.
“Pemimpin Indonesia, harus seperti itu,” kata Benny, Selasa (14/9) lalu.
Ia menilai, Dudung, memiliki sikap inklusif, sementara dalam beragama, seluruh warga Indonesia, bersaudara, maka harus menghargai perbedaan.
“Dudung hanya menyatakan, bahwa beragama di Indonesia, harus inklusif,” jelas Benny.
“Meski beda keyakinan, tapi kita bisa hidup bersama,” imbuhnya.
“Ini sejalan dengan yang selalu dikatakan Menteri Agama, yakni soal moderasi beragama di Indonesia,” sambungnya lagi.
Semua agama, kata Benny, punya nilai luhur, dan tiap kepala harus menghormatinya.
Ia juga membahas prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, yang memuat nilai-nilai universal baik, bagi semua orang, bukan hanya sebagian.
Benny juga menegaskan, bahwa memahami pernyataan Dudung, harus sesuai konteks.
Dudung, sedang bicara di depan para prajurit, bukan forum lain, maka publik perlu memahami konteks tersebut.
“Pangkostrad ingin menegakkan kembali Sapta Marga, menggairahkan nilai-nilai keagamaan universal yang berpihak pada kemanusiaan,” tutur Benny.
“Tidak membeda-bedakan suku dan agama, karena kita bersaudara,” imbuhnya.
Sedikit mengulas, Sapta Marga adalah pedoman hidup prajurit TNI yang terdiri dari tujuh poin berikut:
- [Kami] Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila;
- [Kami] Patriot Indonesia, pendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah;
- [Kami] Kesatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan;
- [Kami] Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia;
- [Kami] Prajurit TNI, memegang teguh disiplin, patuh, dan taat kepada pimpinan, serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit;
- [Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia], mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa;
- [Kami] Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit.
Muhammadiyah
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad, pernyataan Dudung, perlu diperbaiki.
“Mungkin maksudnya baik itu, ya, ingin mengajarkan sikap toleransi kepada ada aparat, jajaran,” ujarnya, Rabu (15/9).
“Cuma pernyataannya beliau perlu diperbaiki,” sambung Dadang. “Mungkin [maksudnya] semua agama benar menurut kepercayaan masing-masing.”
“Penganut masing-masing… yang bagus sih [pernyataan] begitu. Kalau Tuhan ‘kan tuhannya berbeda-beda,” jelasnya lagi.
Selain ‘semua agama benar’, Dadang, juga menanggapi permintaan Dudung kepada para prajuritnya, agar tak fanatik agama.
Menurut Dadang, kefanatikan dalam agama justru perlu, walaupun harus didampingi dengan toleransi.
“Kalau fanatik sih boleh, agama ‘kan memang harus fanatik. Cuma penuh kasih sayang kepada orang lain,” tuturnya.
“Menghormati orang lain. Kalau beragama, harus fanatik,” sambung Dadang.
“Tidak merendahkan, tidak melecehkan, tidak menyebabkan orang terhina oleh kita? Ya, toleransi,” terangnya.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Sekretaris Jendral Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini, juga menyampaikan pandanganannya.
Ia menilai, pernyataan Dudung, harus dipahami dalam konteks kebangsaan serta kenegaraan.
“Pernyataan tersebut harus dipahami dalam konteks kebangsaan. Kita harus memahaminya dari sudut pandang kebangsaan dan kenegaraan.”
Demikian menurut Helmy, dalam keterangan resminya yang Ngelmu kutip, Kamis (16/9) ini.
“Semua agama sama, dalam konteks semua agama mengajarkan kebaikan. Spirit ini yang harus kita pahami bersama,” pinta Helmy.
Ia juga menyatakan, dalam konteks teologis, kebenaran tiap agama berada dalam keyakinan masing-masing pemeluknya.
“Itu prinsip akidah,” jelas Helmy.
Baca Juga:
Maka ia berpesan, dalam konteks kebangsaan, sikap merasa paling benar dalam beragama, harus dihindari.
Sebab, sikap itu dapat melahirkan fanatisme yang kemudian menganggap apa pun di luar keyakinan agamanya adalah salah.
Itu mengapa Helmy berharap, terdapat watak inklusif dalam beragama.
Mengingat agama, sambungnya, adalah sumber yang menginspirasi lahirnya apa yang disebut sebagai perbuatan baik [tercermin dalam wujud kesalehan ritual pun sosial].
“Maka implementasi ketakwaan itu, selain ibadah ritual kita semakin bagus, juga tercermin dalam relasi sosial, sedekah, dan sikap kedermawanan,” pungkasnya.
Pernyataan Dudung
Saat bicara di Batalyon Zipur 9 Kostrad, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, Senin (13/9) lalu, Pangkostrad Letjen TNI Dudung, mengingatkan agar jajarannya tak fanatik berlebih terhadap agama.
“Bijaklah dalam bermain media sosial, sesuai dengan aturan yang berlaku bagi prajurit.”
“Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama, karena semua agama itu benar di mata Tuhan.”
Lalu, Dudung juga menegaskan, agar dalam membina prajurit yang baru masuk, latihan pun tradisi dilakukan dengan profesional dan proporsional.
Mantan Pangdam Jaya itu meminta, agar pembinaan berjalan keras, sesuai aturan. Namun, bukan kasar.
Pasalnya, kata Dudung, tujuan dari tradisi dalam satuan TNI adalah membangun kebanggaan serta jiwa korsa [daya juang].
“Tanpa kekerasan maupun tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri dan satuan,” tegasnya.
Masih pada kesempatan yang sama, Dudung, juga mengimbau agar para prajurit selalu bersyukur, apa pun pangkat mereka saat ini.
Mengingat semua manusia, ujarnya, punya masalah masing-masing.
“Sebagai prajurit, kita harus bersyukur dengan kondisi keluarga saat ini,” kata jenderal yang juga pernah menjadi Gubernur Akademi Militer itu.
“Masih diberikan kesehatan. Bersyukurlah, mempunyai istri, apa pun bentuknya, karena itu semua adalah pilihan kita,” jelas Dudung.