Ngelmu.co – Mengulas kematian Perdana Menteri (PM) ke-11 Israel Ariel Sharon. Nyawanya melayang, setelah delapan tahun mengalami koma.
Pria ini menyandang julukan ‘Jagal dari Beirut’, karena ia, jelas berperan dalam beberapa konflik militer Israel.
Beirut adalah Ibu Kota Lebanon.
Sharon, mengatur invasi Israel ke Lebanon, untuk memberedel pejuang Organisasi Pembebasan Palestina.
Banyak juga warga sipil Lebanon yang turut menjadi korban, hingga tindakannya membuat dunia Arab murka.
Hanya lima tahun, Sharon aktif sebagai PM Israel, sebelum akhirnya, di puncak kekuasaan politiknya, Desember 2005, strok ringan menyerangnya.
Sejak 1980-an, Sharon memang menderita obesitas–sekaligus dugaan tekanan darah tinggi kronis–dan kolesterol akut.
Pasalnya, dengan tinggi badan 170 sentimeter, berat Sharon, mencapai 115 kilogram.
Akhirnya, pada 4 Januari 2006, ia dibawa ke Rumah Sakit Universitas Hadassah di Yerusalem.
Strok-nya, berkembang signifikan. Pada 11 Februari 2006, dokter mengangkat sekitar 20 inci usus Sharon.
Sebab, aliran darahnya berkurang, dan menyebabkan daerah tersebut menjadi jaringan mati (gangren).
Sharon pun kritis, dan koma; dalam kondisi stabil.
Tanggal 11 April 2006, Kabinet Israel, menyatakan Sharon, lumpuh permanen, dan resmi mencopot jabatannya sebagai PM.
Oktober 2011, Sharon, hanya memiliki kesadaran minimal dan cuma mampu menerima beberapa respons rangsangan eksternal.
Delapan tahun koma, Sharon, akhirnya wafat di tanggal 11 Januari 2014. Tepatnya pada usia 85 tahun.
Pemakaman kenegaraan, berjalan di peternakan keluarga Sharon, di Negev, gurun di Israel selatan.
Kejam dan Bertangan Besi
Dunia, mengenal Sharon, sebagai pria bertangan besi yang begitu kejam dengan rakyat Palestina.
Sepekan sebelum kematian, kata pejabat di rumah sakit, Shlomo Noy, kesehatan Sharon, memang memburuk tajam.
Keluarga pun mendampingi Sharon yang berada dalam ‘kondisi serius’, di samping tempat tidur yang bersangkutan.
“Ia dianggap dalam kesadaran serta komunikasi non-verbal yang minim, dengan kondisi medis naik turun,” jelas Noy, kala itu.
Sharon, bahkan harus menjalani operasi, untuk memasukkan selang makanan yang menyuplai kebutuhan tubuhnya.
Penderitaannya berawal, ketika ia, menjalani pembedahan akibat luka yang membusuk.
Para dokter melakukan operasi tersebut, demi menyambung bagian usus Sharon, yang telah terinfeksi.
Tujuan operasi itu tak lain untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
Namun, penyumbatan malah terjadi di otak Sharon, hingga menyebabkan kerusakan di sekujur tubuh.
Bahkan, Sharon sampai mengalami pembusukkan, meski ia masih dinyatakan hidup.
Selama koma itulah, organ-organ tubuh Sharon, berangsur rusak, sampai tak berfungsi sama sekali.
Secanggih apa pun peralatan yang terpasang di tubuh Sharon, selama delapan tahun, tetap tidak mampu menunda kematiannya.
Hidup dengan Kontroversi
Semasa hidup, Sharon lekat dengan kontroversi. Betapa tidak. Dunia mengenalnya karena taktik nekat.
Tak jarang, ia menolak untuk mematuhi perintah atasan.
Sebagai politikus, Sharon adalah ‘buldoser’ yang siap menghina para pengkritiknya, saat mampu menyelesaikan ‘pekerjaan’.
Sharon juga merupakan tokoh garis keras–selama beberapa dekade–hingga terpilih menjadi Perdana Menteri di tahun 2001.
Pertengahan 2005, Sharon, mengarahkan penarikan pasukan Israel dan pemukim Yahudi dari Jalur Gaza.
Namun, pada saat yang sama, ia mendorong puluhan ribu warga Israel, pindah ke permukiman Yahudi di Tepi Barat.
Lalu, Sharon meninggalkan Partai Likud garis kerasnya, untuk mendirikan Partai Kadima yang berhaluan tengah.
Ketika tengah dalam perjalanan menuju Pemilu ulang yang mudah, strok menyerang Sharon (Januari, 2006).
Sang Wakil, Ehud Olmert, pun mengambil alih kursi, sebelum terpilih sebagai PM Israel, beberapa bulan kemudian.
Baca Juga:
Daerah Timur Tengah jelas mengenal Sharon, sebagai sosok yang rasis dan kejam.
Mereka bahkan memandang Sharon, sebagai aktor di balik serangkaian pembunuhan massal.
Berbagai catatan juga banyak mengungkap pasang surut kisah hidup Sharon.
Seperti aksi sadisnya, yakni menembaki penduduk Palestina di Qibya, tahun 1953. Sebanyak 69 orang, tewas.
Dunia pun mengecam kebrutalan pemerintahan Sharon.
Namanya, tentu membekas di benak warga Palestina.
Mereka mengingat Sharon, sebagai pembunuh, penghancur, sekaligus penyebab penderitaan beberapa generasi.