Ngelmu.co – Pemerintah–pejabat negara yang mengurus penggunaan anggaran penanganan Corona–tak lagi kebal hukum. Siapa pun mereka, kini dapat digugat.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengoreksi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 alias Perppu Corona.
Adapun salah satu pertimbangannya adalah, MK menilai, tidak boleh ada impunitas hukum bagi pejabat negara.
Demikian pernyataan dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (28/10), sebagaimana Ngelmu kutip dari kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI.
MK mengabulkan lima petitum terkait Perppu Corona, di antaranya:
- Tuntutan perkara nomor 37/PUU-XVIII/2020 dari Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah yang mewakili YAPPIKA [Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia];
- Tuntutan perkara nomor 43/PUU-XVIII/2020 dari Ahmad Sabri Lubis, Munarman, Khotibul Umam, Ismail Yusanto, Hasanudin, Muhammad Faisal Silenang, Irfianda Abidin, Timsar Zubil, dan Sugianto;
- MK juga mengabulkan tuntutan perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 dari Din Syamsuddin, Sri Edi Swasono, dan Amien Rais;
- Mengabulkan tuntutan perkara nomor 45/PUU-XVIII/2020 dari Sururudin; dan
- Mengabulkan tuntutan perkara nomor 49/PUU-XVIII/2020 dari Damai Hari Lubis.
MK mengadili, bahwa dalam pengujian formil, pihaknya menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Namun, dalam pengujian materiil, MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.
Demikian jelas Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan amar putusan, Kamis (28/10) kemarin.
Adapun pasal yang dimaksud adalah 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), lampiran UU 2/2020.
Bunyi Pasal 27 Ayat (1)
[Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis, dan bukan merupakan kerugian negara.]
Pasal 27 Ayat (2)
[Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.]
Pasal 27 Ayat (3)
[Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.]
MK menilai, ayat (1), membuat pejabat tidak dapat dituntut, meski menggunakan keuangan negara untuk penanganan pandemi dengan iktikad tidak baik ataupun tak sesuai aturan.
Pasalnya, ada kata ‘bukan merupakan kerugian negara’.
Ketentuan itu, kata MK, membuat kemungkinan pelaku penyalahgunaan kewenangan terhadap keuangan negara [dalam UU a quo] tak dapat dituntut [baik secara pidana dan/atau perdata].
Sebab, ayat (1), tidak menyertai keterangan bahwa pelaksanaan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, juga berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak yang telah disebutkan secara spesifik dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum,” bunyi pertimbangan hakim.
Dengan pertimbangan itu, MK pun mengubah Pasal 27 ayat (1), menjadi:
[Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.]
Baca Juga:
Namun, MK tidak mengubah frasa di dalam ayat (2), karena sudah ada perubahan pada ayat (1), yang berimplikasi pada ayat (2).
Menurut MK, pejabat pemerintah yang disebutkan dalam ayat (2), termasuk subjek hukum yang dapat digugat.
[Tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata, tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020; bunyi pertimbangan hakim.]
Lebih lanjut untuk ayat (3), MK mengubahnya, dengan menerangkan bahwa semua tindakan–termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu–bukan merupakan objek gugatan yang dapat digugat ke PTUN.
MK merujuk ketentuan Pasal 49 UU PTUN, bahwa keadaan pandemi Covid-19, seperti yang saat ini terjadi, merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan [untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan kepada PTUN].
Namun, MK melihat Perppu ini bukan hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19, tetapi juga berbagai macam ancaman [yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan].
Maka MK menilai, harus ada pengawasan, dan hal tersebut, termasuk dalam objek gugatan PTUN.
Pasalnya, segala tindakan yang diambil, harus berdasarkan iktikad baik, serta sesuai peraturan perundang-undangan.
“Apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan, maka hal demikian, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan [abuse of power] dan ketidakpastian hukum,” bunyi pertimbangan hakim.
Pertimbangan itulah yang membuat MK, mengubah Pasal 27 ayat (3), menjadi:
[Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara, sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19, serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.]
Terlepas dari itu, ekonom Rizal Ramli, merespons putusan MK ini dengan apresiasi.
Melalui akun Twitter pribadinya, @RamliRizal, ia menulis, “Bagus. Tidak ada yang kebal hukum di negara demokrasi,” singkatnya.