Ngelmu.co – Psikolog sekaligus CEO Rumah Konseling, Muhammad Iqbal, ikut menyoroti ‘tanpa persetujuan korban’ yang terdapat dalam Permendikbud Ristek 30/2021.
Ia pun menyampaikan pandangannya melalui tulisan berjudul, ‘Bila Suka sama Suka Dibolehkan di Perguruan Tinggi’.
“Permendikbud tersebut memuat isitilah ‘persetujuan’ yang dipakai kaum liberal,” tutur Iqbal.
“Karena di dalam Pemendikbud tersebut, memuat kata-kata ‘tanpa persetujuan korban’,” imbuhnya.
“Yang dapat diartikan, bila suka-sama suka, sama-sama setuju, maka dibiarkan,” sambungnya lagi.
“[Dalam artian] Tidak termasuk kategori pelanggaran kekerasan seksual di perguruan tinggi,” lanjut Iqbal.
Ia pun menyebutkan pasal yang mencantumkan ‘tanpa persetujuan korban’.
“Pasal 5 ayat 2,” ujar Iqbal.
Dalam Permendikbud Ristek 30/2021, kekerasan seksual pada beberapa kondisi–diartikan sebagai–‘tanpa persetujuan korban’.
Berikut bunyinya:
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja, tanpa persetujuan korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
- membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
Frasa ini, kata Iqbal, tentu saja sangat ambigu dengan judul yang tertulis.
“Sebab, pada faktanya, di lingkungan perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moralitas pancasila,” imbuhnya.
“Karena suka sama suka tanpa ikatan pernikahan adalah perbuatan dosa, yang melanggar norma agama dan nilai-nilai moral Pancasila,” tegasnya lagi.
Di samping itu, lanjut Iqbal, pembiaran perilaku atas dasar suka sama suka juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
“Yang ingin membentuk akhlak mulia,” kritiknya.
Iqbal mengaku menangani berbagai kasus kekerasan seksual pada remaja di rumah konselingnya.
“Justru suka sama suka ini yang lebih berbahaya dari tindak pidana kekerasan seksual,” tegasnya.
Pasalnya, seks atas dasar suka sama suka, justru banyak menyebabkan hamil di luar nikah dan aborsi.
Begitu juga dengan berkembangnya penyakit inveksi menular seksual, HIV/Aids.
Belum lagi kekecewaan yang menyebabkan depresi, hingga korban bunuh diri.
Bahkan ada pula yang malah menjadi pelaku porstitusi, karena kekecewaan setelah ‘habis manis sepah dibuang’.
“Akhrinya menjual diri,” kata Iqbal, miris.
“Apalagi bila terjadi antara dosen dan mahasiswa yang sudah tentu melanggar normal sosial dan keagamaan,” imbaunya.
Maka itu Iqbal menekankan, bahwa pembiaran perilaku tersebut akan merusak tatanan rumah tangga.
“Karena dosen, mayoritas sudah berkeluarga. Artinya, frasa ‘persetujuan’ bisa mendorong terjadinya perselingkuhan,” tuturnya.
Baca Juga:
- 12 Poin Hasil Ijtima Ulama MUI: Kripto, Permendikbud, Hingga RUU Minol
- Permendikbud Ristek 30/2021: Mereka yang Mendukung dan Mereka yang Memprotes
Apakah perselingkuhan antara dosen yang sudah menikah dengan mahasiswa. “Ini masuk kategori perzinaan,” tegas Iqbal.
Ia juga mengingatkan bahaya pembiaran hubungan seksual suka sama suka di lingkungan perguruan [tidak masuk norma pelanggaran].
“Maka tentu saja mahasiswa menjadi korban, akibat kepolosan dan kebebasan tersebut,” jelas Iqbal.
“Karena mahasiswa [ada] pada fase krisis yang labil dan mudah dipengaruhi,” paparnya.
Lebih lanjut, menurut Iqbal, dosen juga yang punya kuasa lebih besar, bisa saja memulai aksi dengan bujuk rayu.
Lewat cara halus, bukan tidak mungkin mereka memengaruhi, hingga mahasiswa terperangkap dalam hubungan suka sama suka.
“Tanpa disadari, demikian juga hubungan antarmahasiswa yang bisa menyebabkan banyak perilaku seks bebas di perguruan tinggi, atas dasar persetujuan,” pesannya.
Maka Iqbal, menolak adanya ‘tanpa persetujuan korban’ dalam Permendikbud Ristek 30/2021.
“Tentu saja harus ditolak, karena bertentang dengan nilai-nilai agama, moral Pancasila, serta fungsi dan tujuan pendidikan nasional,” pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah–melalui Kemendikbud Ristek–mengeluarkan peraturan tentang pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Permendikbud Ristek 30/2021 ini dikeluarkan, karena maraknya kasus-kasus pelecehan serta kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
Namun, sama seperti Ketua Ikatan Dosen dan Tenaga Kependidikan (IKDT) Universitas Mercu Buana, tadi.
Berbagai pihak juga mengkritik, menolak, atau setidaknya meminta Permendikbud Ristek 30/2021 untuk direvisi, karena keberatan dengan adanya ‘tanpa persetujuan korban’ di dalamnya.