Ngelmu.co – Ekonom senior Tanah Air, Prof Emil Salim, turut menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja.
Sebagai informasi, pada Kamis (25/11/2021), MK telah memutuskan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, cacat formil.
Sebab, pembentukannya bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pertimbangan tersebut sekaligus membuat MK menyatakan, bahwa UU Cipta Kerja, inkonstitusional bersyarat.
Prof Emil Salim pun merespons. Melalui akun Twitter pribadinya, @emilsalim2010, ia mengingatkan agar sikap kritis pun korektif terhadap pemerintah tidak disalahartikan.
Keputusan MK terhadap UU Cipta Kerja ini cukup untuk menjadi contoh nyata.
“Jika Mahkamah Konstitusi membekukan UU Cipta Kerja untuk diperbaiki selama dua tahun ke depan,” kata Prof Emil, “ini membuktikan bahwa sikap kritis, korektif terhadap pemerintah, tidak perlu ditanggapi sebagai melawan atau anti-pemerintah.”
“Tetapi sebagai sikap positif, memperbaiki jalannya pemerintah,” demikian tuturnya, seperti Ngelmu kutip pada Sabtu (27/11/2021).
Putusan MK
MK memang telah memerintahkan pembentuk UU Cipta Kerja–dalam hal ini pemerintah dan DPR–memperbaiki omnibus law tersebut dalam waktu maksimal dua tahun [sejak putusan dibacakan atau tepatnya hingga 25 November 2023 mendatang].
“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja, bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun’ sejak putusan ini diucapkan.”
Demikian jelas Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis (25/11/2021) lalu.
Namun, MK menyatakan, UU Cipta Kerja masih berlaku hingga dilakukan perbaikan dengan tenggang waktu yang diberikan.
Bila dalam tenggang waktu maksimal dua tahun itu tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja, dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Lebih lanjut, undang-undang, pasal-pasal, atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah melalui UU Cipta Kerja, maka kembali berlaku.
Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis serta berdampak luas, jika berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
“Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” tegas Anwar.
Kata Pakar Hukum
Selain Prof Emil, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, juga buka suara.
Ia mengatakan, putusan MK yang mengonfirmasi buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja ini patut diapresiasi.
Pasalnya, kalau putusan ini tidak ada, maka praktik buruk tersebut tetap mendapat legitimasi.
“Sehingga mungkin akan terus berulang,” kata Bivitri, secara tertulis, Jumat (26/11/2021).
Namun, ia juga menilai putusan ini merupakan jalan tengah yang diambil oleh MK.
Hal tersebut ditandai dari adanya dissentiing opinion [pendapat berbeda] oleh empat; dari total sembilan hakim konstitusi.
Terlebih, inkonstitusional yang MK nilai, hanya prosesnya, bukan hasil. Sehingga UU Cipta Kerja, tetap berlaku.
“Dan jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan, karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional.”
“Artinya, sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku.”
“Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku,” ujar Bivitri.
Baca Juga:
- Omnibus Law: UU yang Sejak Awal Ditolak PKS, Kini MK Sebut Inkonstitusional Bersyarat
- Bertentangan dengan UUD 45, MK Perintahkan Pemerintah Perbaiki UU Cipta Kerja
Di sisi lain, putusan ini menjadi catatan sejarah, lantaran sejak MK berdiri, baru kali ini mengabulkan permohonan uji formil.
Menurut Bivitri, tidak mungkin MK dapat menolak permohonan itu, karena segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan.
Bahkan, cacat formil pada perumusan UU Cipta Kerja, dinilai terlihat cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan.
“Namun, di sisi lainnya, bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum.”
“Karena itulah, jalan keluarnya adalah conditionally unconstitutional atau putusan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun,” papar Bivitri.
Itu mengapa, menurutnya, meski UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional, tetapi ini juga tidak menjadi sebuah kemenangan bagi para pemohon.
Pasalnya, UU Cipta Kerja masih berlaku sampai dua tahun ke depan, atau hingga batas tenggang waktu yang MK beri.
“Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana [PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat] dalam dua tahun ini.”
“Tetapi ini pun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku,” kritik Bivitri.
Di akhir, ia pun mengajak kepada semua pihak, agar terus mengawasi pemerintah, supaya benar-benar menjalankan perintah konstitusi.
Menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis serta berdampak luas, dan tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.