Ngelmu.co – Bicara demo mahasiswa, setidaknya, sejarah mencatat tiga demonstrasi besar terjadi di Indonesia.
Berangkat dari aspirasi rakyat yang tidak didengar, mereka bergerak serentak.
Dua di antara aksi demo tersebut pun berakhir dengan kejatuhan rezim.
Tritura, 1966
Demonstrasi mahasiswa pertama terjadi pada awal 1966. Ribuan mahasiswa turun ke jalan.
Mereka menyerukan protes, lantaran kondisi negara makin memprihatinkan. Berhulu dari tragedi berdarah; Gerakan 30 September 1965.
Mengutip Tirto, beberapa pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), terlibat dalam tragedi itu.
Namun, Presiden Soekarno, tidak berbuat apa-apa.
Kemarahan rakyat telah merebak di mana-mana. Soekarno? Tampaknya tidak punya solusi jitu untuk mengatasi masalah itu.
Belum lagi, keadaan sosial ekonomi negara tengah terguncang, akibat konfrontasi dengan Malaysia, dan persoalan Irian Barat.
Sebagaimana kata Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum Muda (2008).
Kebijakan pemerintah yang mencekik rakyat, memperparah kekacauan politik yang dibiarkan berlarut-larut.
Pemerintah malah menaikkan harga sembako yang meroket, yakni 300 hingga 500 persen.
“Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa.”
“Harga membubung beratus-ratus persen, dalam waktu hanya sepekan. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang.”
Demikian tulis Soe Hok Gie dalam bunga rampai esai ‘Zaman Peralihan’ (2005, halaman 4).
Tidak becusnya pemerintah membuat mahasiswa makin muak, hingga akhirnya menggalang demonstrasi; sejak awal Januari 1966.
Puncak gelombang demonstrasi terjadi pada 12 Januari 1966. Ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara.
Mereka memprotes kenaikan harga, sekaligus mendesak pemerintah untuk meninjau kembali aturan baru terkait ekonomi yang berdampak buruk bagi rakyat.
Ada beberapa elemen gerakan mahasiswa yang turut serta dalam demonstrasi tersebut, antara lain:
- KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI);
- KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia;
- KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia);
- KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia);
- KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia);
- KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia);
- KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia); dan yang lainnya.
Dalam tiap aksi, para demonstran konsisten, mengajukan tritura; tiga tuntutan rakyat.
Di antaranya:
- Bubarkan PKI, beserta ormasnya;
- Rombak Kabinet Dwikora; dan
- Turunkan harga.
Namun, pemerintah bergeming, dengan dalih ‘semua itu butuh waktu’.
Pemerintah yang tidak segera memenuhi tuntutan demonstran, membuat suara berubah.
Mereka mendesak agar Bung Karno, turun takhta.
Akhirnya, pada 21 Februari 1966, Presiden Soekarno, memang merombak kabinet.
Namun, karena masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri dalam kabinetnya, mahasiswa kembali turun ke jalan.
Unjuk rasa besar-besaran–jilid kedua–meledak pada 24 Februari 1966.
Terjadi bentrokan antara demonstran melawan Resimen Cakrabiwara [pasukan pengawal presiden] di depan Istana Negara.
Dalam insiden tersebut, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Arif Rahman Hakim, tewas tertembak.
Selang sehari, presiden membubarkan paksa KAMI, sebagai konsekuensi atas kericuhan.
Namun, itu tidak membuat gelora unjuk rasa anti-PKI, memadam.
Soekarno pun makin terjepit.
Sampai akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966.
Sejarah kemudian mencatat, Supersemar itu nantinya malah dimanfaatkan Jenderal Soeharto untuk menggerogoti kekuasaan Soekarno.
Malari, 1974
Malapetaka lima belas Januari (Malari) 1974.
Kala itu, Presiden Soeharto dan beberapa menteri tengah bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka di Istana Negara, Jakarta.
Di saat yang bersamaan, ribuan orang–sebagian besar mahasiswa dan pelajar SMA–turun ke jalan.
Mereka melancarkan protes. Berteriak lantang, menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) Hariman Siregar adalah yang memimpin aksi saat itu.
Para mahasiswa melakukan aksi jalan kaki dari kampus UI di Salemba, menuju Universitas Trisakti di Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat.
Mereka mengajukan tiga tuntutan, yakni ‘Tritura Baru 1974’, di mana isinya:
- Bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri);
- Turunkan harga; dan
- Ganyang korupsi.
Modal asing yang beredar di Indonesia, bagi para demonstran, sudah berlebihan.
Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang, menurut mereka adalah bentuk imperialisme gaya baru.
Di saat yang bersamaan, di wilayah Jakarta yang lainnya, aksi massa juga tidak terkendali.
Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen.
Massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun.
Anehnya, mengutip laporan jurnalis New York Times, Richard Halloranjan, sebagian besar polisi dan tentara Indonesia [yang dikirim untuk berpatroli] hanya berdiri dan menonton.
Mereka hampir tidak melakukan tindakan apa pun untuk menghentikan aksi demonstran.
Baru di sore hari, peluru peringatan mulai ditembakkan ke udara.
Aparat keamanan bahkan mulai bertindak kasar, setelah malam tiba.
Polisi mengangkut sekitar 12 demonstran ke sebuah kantor polisi terdekat.
Richard bilang, aparat bahkan memukul bagian kepala belakang seorang demonstran.
Demonstrasi dan kerusuhan, belum berakhir.
Keesokan harinya, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, turun tangan.
Ia menemui mahasiswa ke kampus UI di Salemba.
Pada malam hari, Ali berbicara kepada para mahasiswa, sembari menekankan jika demonstrasi terus berlangsung, korban dari pihak mahasiswa akan berjatuhan.
Ali juga mengajak Hariman ke TVRI.
Melalui siaran televisi, Hariman mengumumkan, bahwa persoalan yang dihadapi mahasiswa, sudah selesai.
Imbauan Hariman itu mampu meredam aksi mahasiswa. Namun, malapetaka telanjur terjadi.
Massa telah membakar 807 mobil dan motor buatan Jepang. Sebelas orang, meninggal.
Bukan cuma itu, 300 lainnya juga mengalami luka, sementara 144 bangunan, rusak berat.
Emas dengan jumlah berat 160 kilogram juga hilang dari toko-toko perhiasan.
Setelah peristiwa itu, Soeharto pun memecat Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib.
Soeharto juga membubarkan lembaga Aspri, dan memindah-tugaskan Ali Moertopo; sebagai Wakil Kepala Bakin.
Peristiwa Malari 1974, juga berdampak buruk bagi kebebasan pers.
Pemerintah memberedel beberapa media yang mereka anggap memberitakan Malari, secara berlebihan dan memanaskan suasana. Di antaranya:
- Harian Abadi;
- Pedoman;
- Indonesia Raya;
- Harian KAMI; dan
- The Jakarta Times.
Pemerintah juga menangkap 775 aktivis, di antaranya:
- Hariman Siregar,
- Soebadio Sastrosatomo [tokoh Partai Sosialis Indonesia bentukan Sutan Sjahrir yang telah lama bubar];
- Aktivis HAM Adnan Buyung Nasution dan JC Princen; serta
- Akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Reformasi, 1998
Reformasi 1998 menjadi gerakan mahasiswa terbesar yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto.
Bermula dari krisis ekonomi 1997, dan tidak sigapnya rezim Soeharto untuk mengatasi.
Mulanya, gelombang aksi berjalan terpisah di beberapa kota, tetapi kemudian membesar, sejak Maret 1998.
Seiring dengan pernyataan Soeharto yang bersedia dipilih lagi menjadi presiden.
Desakan reformasi melalui berbagai aksi protes juga meluas di seluruh daerah di Indonesia.
Di mana aksi berjalan, tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional.
Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Tidak jarang, demonstrasi berujung bentrok.
Aksi-aksi itu juga membuat Wiranto–saat itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI–mengeluarkan pernyataan.
Ia menganjurkan, agar mahasiswa dan warga tidak melakukan tindakan anarkis, karena akan memperburuk keadaan dan citra Indonesia di mata dunia internasional.
“Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri.”
“Dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar toko, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya.”
“Ini mengingatkan kita, bahwa sudah ada kegiatan yang tidak peduli kepada hukum.”
Demikian tutur Wiranto, seperti Ngelmu kutip dari Kompas; edisi 8 Mei 1998.
Wiranto bahkan menuding, berbagai tindakan yang ia nilai ‘anarkis’ itu terjadi karena ‘mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan’.
“Jadi betul yang saya katakan, bahwa mahasiswa keluar kampus, tentu akan dimanfaatkan pihak lain.”
“Untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi mahasiswa,” tuding Wiranto.
Lalu, ia memerintahkan seluruh jajaran ABRI untuk menghentikan aksi anarkis, dengan melakukan ‘tindakan tegas dan sesuai hukum’.
Namun, bukan menurunkan tensi, mahasiswa malah makin gencar berdemonstrasi. Mereka satu suara, menuntut reformasi.
Sampai terjadi tragedi berdarah pada 12 Mei 1998.
Empat mahasiswa Trisakti, tewas tertembak saat aparat berusaha membubarkan demonstrasi di kampus tersebut.
Keesokan harinya, Jakarta dilamun kerusuhan besar.
Kompas mencatat, ratusan manusia ‘terpanggang’ di Toserba Yogya Klender dan di Ciledug Plaza.
Tercatat 499 orang tewas, sementara 4.000 bangunan hancur.
Gelombang besar mahasiswa, kemudian menduduki Gedung DPR/MPR, sejak 18 Mei 1998.
Mereka berjanji akan bertahan di sana, sampai tuntutan Sidang Istimewa segera dijalankan untuk memakzulkan Soeharto.
Kian terjepit, Soeharto pun akhirnya tidak dapat berbuat banyak.
Pada 21 Mei 1998, ia menyatakan turun dari kursi presiden.
Tolak Kenaikan BBM, 2012
Berikutnya adalah aksi demonstrasi penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Peristiwa ini terjadi secara besar-besaran pada 30 Maret 2012, di Istana Negara.
Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, berkumpul di Jakarta.
Mereka melaksanakan aksi unjuk rasa, agar pemerintah segera mengurungkan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 44 persen.
Demonstran juga mendesak pemerintah segera mengalihkan dana subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur.
Bukan hanya mahasiswa yang turun dalam aksi demo tersebut, tetapi juga ribuan buruh di Cikarang.
Pada saat itu, mereka mengepung Gedung DPR RI.
Tolak RUKHP-Revisi UU KPK, 2019
Hampir tiga tahun lalu, demonstrasi besar-besaran juga terjadi.
Tepatnya pada 23 dan 24 September 2019, di Gedung DPR/RI, Senayan, Jakarta.
Saat itu, mahasiswa lantang menolak revisi Undang-Undang (UU) KPK, karena diduga merupakan bagian dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ribuan mahasiswa–dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia–juga menolak RUU KUHP yang dianggap mengancam demokrasi serta hak asasi manusia (HAM).
April 2022
Hari ini, Senin (11/4/2022), aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), kembali bergerak.
Mereka menyampaikan rentetan tuntutan di ‘rumah rakyat’ alias Gedung DPR RI.
“Dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasi dan memberikan peringatan kepada wakil rakyat, terkait berbagai permasalahan yang ada.”
Demikian penuturan Koordinator Media BEM SI Luthfi Yufrizal kepada wartawan, Ahad (10/4/2022) kemarin.
BEM SI membawa empat tuntutan, yakni:
1. Mendesak dan menuntut wakil rakyat agar mendengarkan dan menyampaikan aspirasi rakyat, bukan aspirasi partai;
2. Mendesak dan menuntut wakil rakyat untuk menjemput aspirasi rakyat, sebagaimana aksi massa yang telah dilakukan dari berbagai daerah, dari tanggal 28 Maret hingga 11 April 2022;
3. Mendesak dan menuntut wakil rakyat untuk tidak mengkhianati konstitusi negara dengan melakukan amandemen, bersikap tegas menolak penundaan Pemilu 2024 atau masa jabatan 3 periode;
4. Mendesak dan menuntut wakil rakyat untuk menyampaikan kajian disertai 18 tuntutan mahasiswa kepada presiden, yang hingga saat ini belum terjawab.
Adapun 18 tuntutan rakyat itu adalah:
- 6 tuntutan dibawa saat aksi pada tanggal 28 Maret 2022;
- 12 tuntutan lainnya berasal dari aksi tujuh tahun pemerintahan Jokowi, 21 Oktober 2021 lalu.
Luthfi bilang:
Tuntutan tersebut, antara lain berisi mengenai tuntutan kepada presiden, untuk bersikap tegas menolak isu penundaan Pemilu 2024.
Tuntutan lainnya adalah mengenai stabilitas harga bahan-bahan pokok untuk masyarakat, dan UU Cipta Kerja.
Baca Juga:
Aliansi BEM SI bakal tetap menggelar demo, meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi), telah menekankan bahwa tidak ada penundaan Pemilu 2024.
Namun, lokasi demo yang awalnya akan berlangsung di dekat Istana Merdeka, berpindah ke depan Gedung DPR/MPR RI.
Kata Pengamat Politik
Tony Rosyid selaku pengamat politik, menilai, demo BEM SI yang berlangsung pada Senin (11/4/2022) ini, bisa menjadi peristiwa besar yang dicatat oleh sejarah.
Namun, semua bergantung pada kepentingan serta isu yang diangkat oleh para mahasiswa.
“Kalau isunya menyangkut kepentingan dan kebutuhan fundamental rakyat, demo bisa besar,” tutur Tony, Sabtu (9/4/2022) lalu.
Ia bilang, kemampuan konsolidasi koordinator demo dalam menggerakkan massa juga menjadi salah satu faktor yang menentukan.
“Tergantung pula pada kemampuan operasi pihak-pihak yang menggembosi demo,” sambung Tony.
Menurutnya, wacana besar terkait suatu aksi dapat benar-benar berbeda dengan kejadian di lapangan.
“Praktik di lapangan, demokrasi akan selalu dibatasi ekspresinya, agar semua terkendali. Ini sudah klasik,” sebut Tony.
Maka itu penentuan aksi hari ini; menjadi biasa atau peristiwa besar yang dicatat oleh sejarah, tergantung pada pelaksanaannya.
“Semua tahu, ajakan demo 11 April, luar biasa viral,” kata Tony.
“Masuk ke semua akun yang kalian punya. Faktanya? Tunggu [aksi benar-benar berlangsung],” pungkasnya.