Ngelmu.co – Peringatan HUT ke-70 Kopassus yang terselenggara di Makopassus Cijantung–dengan Inspektur Upacara Danjen Kopassus Brigjen TNI Iwan Setiawan–berlangsung lancar dan khidmat.
Setelah acara, dengan semangat, Iwan menyampaikan pesan untuk para prajurit, sesepuh, dan juga purnawirawan; di mana pun berada.
Ada dua substansi dari amanat atau pesannya.
Pertama, agar semua membantunya untuk menjaga kehormatan korps baret merah. “Jangan sampai ternodai oleh kepentingan apa pun”.
Kedua, “Saya, Kopassus, akan tegak lurus kepada pemerintah dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Substansi yang kedua itulah, yang dinilai salah dan bermasalah.
Sebenarnya, kurang tepat jika amanat atau pesan Danjen Kopassus, juga ditujukan kepada sesepuh dan purnawirawan.
Sebab, walaupun mereka adalah ‘alumni Kopassus’, tetapi sekarang, statusnya berada di luar komando.
Amanat atau pesan, menjadi tidak relevan.
Apa yang paling mencolok dan kontroversial dari ucapan Iwan?
Tentu: “Saya, Kopassus, akan tegak lurus kepada emerintah.”
Di situlah salahnya, Danjen.
Pasalnya, Kopassus, semestinya tegak lurus kepada negara, bukan pemerintah.
Mengulang pesan juga sekaligus menandakan bahwa Danjen Kopassus, itu yakin dan sadar akan keharusan ‘tegak lurus kepada pemerintah’.
Sebagai bagian dari TNI, Kopassus harus tunduk pada UU 34/2004 tentang TNI.
Undang-undang tersebut menegaskan bahwa TNI, berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan kebijakan serta keputusan politik negara (Pasal 5).
Bukan keputusan politik pemerintah.
Demikian juga dalam konsiderans butir (d), dinyatakan dengan tegas:
[Bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional, sesuai dengan kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional, yang sudah diratifikasi dengan dukungan anggaran belanja negara, yang dikelola secara transparan dan akuntabel].
Menyamakan negara dengan pemerintah, tentu fatal.
Pemerintah dapat berganti-ganti, sedangkan negara? Permanen.
Pemerintah dapat berperilaku otoriter, menindas rakyat, atau menyimpang dari tujuan yang dirumuskan oleh negara.
Bahkan, pemerintah oligarki, jelas tidak sejalan dengan negara demokrasi.
Negara terdiri dari pemerintah dan rakyat.
Baca Juga:
Maka semata mendukung pemerintah, dapat memosisikan berhadapan dengan rakyat.
Kopassus yang tegak lurus dengan pemerintah–tanpa melihat perilaku dari pemerintah–justru berbahaya bagi negara.
Kopassus adalah TNI yang seharusnya tegak lurus dengan kepentingan rakyat; yang berbasis ideologi Pancasila dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Bukan cuma itu. Kopassus juga tidak boleh tegak lurus pada pemerintah yang:
- Menjual kedaulatan negara kepada asing;
- Memperbanyak utang yang menyulitkan generasi mendatang;
- Meminggirkan kelompok agama;
- Bernafsu tanpa modal, ingin ibu kota negara baru;
- Berpihak pada pengusaha, bukan pekerja; atau
- Seenaknya menaikan harga; serta
- Hipokrit soal korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Seharusnya, tegak lurus-lah pada negara. Bela rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Melindungi hukum dari penyiasatan politik.
Kopassus adalah yang diharapkan dan dirindukan rakyat.
Jangan menjadi alat untuk menyusahkan rakyat, dan menggendutkan para pengkhianat bangsa.
Kopassus adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.
Tidak satu pun kalimat dalam undang-undang yang menyatakan bahwa TNI, adalah tentara pemerintah.
Artinya, TNI itu bukan tentara Jokowi, Luhut, Mahfud, ataupun Yaqut.
Bukan pula tentara Airlangga, Monoarfa, Lahadalia, atau Siti Nurbaya.
Pemerintah berbeda dengan negara.
Dirgahayu ke-70 Kopassus. Selamat, “Kopassus-ku, Kopassus kita, Kopassus Indonesia.”
Oleh: Pemerhati Politik dan Kebangsaan, M Rizal Fadillah