Ngelmu.co – Apa maksud pernyataan pengamat sosial politik, Saiful Mujani, ketika bicara di kanal YouTube SMRC TV?
Kemarin, Kamis, 14 Juli 2022, kanal YouTube tersebut mengunggah video berdurasi 23 menit 24 detik.
Tepatnya dalam program Bedah Politik episode ‘Ketuhanan yang Maha Esa Hanya Menurut Islam?‘.
Di sana, Saiful mengkritisi pemerintah yang makin memberi tempat bagi aturan-aturan syariat di ruang publik.
Ia bilang, dengan banyaknya aturan syariat di Indonesia, maka sila pertama Pancasila yang berbunyi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, hanya berlaku untuk agama Islam.
Saiful melihat bahwa Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, kerap dijadikan dasar bagi proses ‘syariatisasi’ tersebut.
“Ini membuat sila pertama Pancasila, kehilangan kemampuan untuk menampung keragaman agama yang ada di Indonesia,” tuturnya.
Saiful juga menjelaskan, bahwa pada dasarnya, Pancasila adalah hasil pergumulan antara dua kubu, yakni nasionalis dan Islam.
Pergumulan itu yang kemudian melahirkan kesepahaman, dan tertuang dalam konsep ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.
Di mana sila pertama Pancasila, sering dijadikan rujukan dalam perbincangan ataupun pembuatan kebijakan publik.
Menurut Saiful, dalam hal ini negara mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan sila tersebut.
Dengan demikian, ia menanyakan, “Apa yang dimaksud dengan Ketuhanan yang Maha Esa, bagi masyarakat secara umum?”
“Apakah Ketuhanan yang Maha Esa itu menjamin pluralisme keagamaan, keragaman agama, atau memperlakukan agama secara setara oleh negara?”
“Apakah di masyarakat, pemahaman mengenai kesetaraan agama dalam rangka pluralisme keagamaan itu cukup besar atau tidak?” tanya Saiful.
Baca Juga:
Ia kemudian menjelaskan, temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pada Mei 2022.
Di mana survei tersebut melacak, seberapa setuju atau tidak setujunya masyarakat dengan tiga pendapat yang muncul mengenai sila pertama Pancasila.
Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia, harus berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa.
Sebagaimana diyakini oleh pemeluk agama Islam.
Saiful mengungkapkan bahwa yang setuju atau sangat setuju dengan pandangan itu adalah 44,4 persen.
Adapun yang tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan pandangan tersebut adalah 51,7 persen.
Ada juga 3,9 persen lainnya yang tidak menjawab.
“Masih cukup besar di dalam masyarakat yang melihat ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, tidak cukup jadi dasar sebuah pluralisme dalam kehidupan beragama di Indonesia,” sebut Saiful.
Sebab, lanjutnya, mereka meyakini bahwa ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ itu sebagaimana agama yang dianutnya.
Bukan sebagai yang dianut oleh semua agama.
Apalagi ada di dalam masyarakat yang memahami ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ itu harus sesuai dengan ajaran, pemahaman, atau keyakinan yang ada dalam agama Islam.
“Kalau ada perbedaan antaragama, harusnya perbedaan itu bisa diakomodasi negara,” kata Saiful.
“Tidak boleh ada satu agama yang lebih daripada yang lain,” sebut pendiri SMRC itu.