Ngelmu.co – Psikolog forensik, Reza Indragiri, menyampaikan analisisnya terkait kasus ‘suka sama suka’ antara Perwira Paspampres Mayor Inf Bagas Firmasiaga dan anggota Divisi Infanteri 3/Kostrad berinisial Letda Caj (K) GER.
Saat berada di Solo–Kamis (8/12/2022)–Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, menyatakan bahwa keduanya melakukan hubungan berdasarkan suka sama suka.
Berikut pernyataannya:
Dari hasil pemeriksaan atau pengembangan baru yang menyatakan atau yang mengindikasikan, ini tidak dilakukan dengan paksaan.
Artinya, suka sama suka dan beberapa kali.
Memang, dugaan awal, sesuai laporan dari yang diduga korban adalah tindak pidana pemerkosaan.
Dari awal, kita memeriksa Mayor BFH ini dengan dugaan Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan.
Tetapi kedua belah pihak, yang sebelumnya dianggap sebagai korban yang melaporkan, perkembangannya berbeda.
Karena sangat besar kemungkinan tidak ada korban, jadi sangat besar kemungkinan dua-duanya adalah pelaku atau tersangka.
Sehingga pasal yang tadinya kita gunakan, 285, tentang pemerkosaan, menjadi pasal 281, tentang asusila.
Dua-duanya sudah ditahan, karena dari pemeriksaan awal itu ada celah yang membuat ini semua mungkin tidak seperti yang diberitakan awal, yaitu pemerkosaan.
Jika itu bukan pemerkosaan, berarti tersangkanya dua. Artinya, mereka berdua adalah pelaku yang kita kenakan adalah Pasal 281 KUHP Asusila.
Untuk aturan internal, karena dilakukan sesama keluarga besar TNI, konsekuensinya adalah hukuman pemecatan dari dinas.
Mendapati perkembangan kasus ini, Reza Indragiri pun menyampaikan analisisnya.
“Kalau betul-betul perkosaan, jelas, pelaku harus dihukum berat. Apalagi karena dia anggota militer, maka hukumannya bisa lebih berat lagi.”
“Pidana dan pemecatan, seperti yang sebelumnya dikatakan Panglima TNI,” tutur Reza, Jumat (9/12/2022).
“Tapi kalau bukan kejahatan seksual, lalu apa penjelasannya?”
Baca Juga:
Menurut Reza, kasus ini sama seperti analisisnya soal kasus kekerasan terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
“Sebagaimana pandangan saya pada kasus PC dan kasus Jombang, ini sepertinya merupakan false accusation.”
“Jenisnya adalah relabelling, yakni relasi seks yang sesungguhnya konsensual, diubah narasinya menjadi kejahatan seksual.”
Lebih lanjut, Reza menjelaskan beberapa alasan orang melakukan relabelling.
“Jawabannya adalah, misalnya, sebagai ekspresi dendam, menutupi aib, menyelubungi perasaan bersalah, dan menghindari amarah pasangan.”
Dalam berbagai kasus, relabelling merupakan bentuk false accusation atau tuduhan palsu, dan tidak seharusnya menciptakan sikap apriori.
“Relabelling sebagai bentuk false accusation, memunculkan keinsafan, khususnya pada diri saya, bahwa keberpihakan pada korban tetap tidak seharusnya memunculkan sikap apriori.”
“Bahwa kejadian diyakini adalah sama persis seperti yang disampaikan oleh orang yang mengaku sebagai korban, bahwa orang yang mengaku sebagai korban sama sekali tidak mungkin berbohong.”
Hal lain yang perlu diwaspadai, kata Reza, adalah bias implisit.
Di mana kita menilai seseorang berdasarkan ras, agama, kelas sosial, dan jenis kelaminnya; dalam hal ini, pria akan melakukan kekerasan seksual terhadap wanita.
“Demikian pula implicit bias yang menganggap bahwa jenis kelamin tertentu pasti pelaku, dan jenis kelamin lainnya pasti korban,” tutup Reza.