Ngelmu.co – Kasus tewasnya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Mohammad Hasya Athallah Saputra, belum usai.
Seperti diketahui, ia tertabrak dan terlindas mobil yang dikendarai oleh purnawirawan polisi–mantan Kapolsek Cilincing–AKBP Eko Setio Budi Wahono.
Kecelakaan terjadi di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada 6 Oktober 2022, sekitar pukul 01.30 WIB.
Suara BEM UI
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, menyuarakan kritik keras atas penanganan kasus Hasya.
Sebab, sebagai korban meninggal, Hasya malah ditetapkan menjadi tersangka oleh Satuan Lalu Lintas Polres Metro (Satlantas Polrestro) Jakarta Selatan.
Menurut BEM UI, penetapan Hasya sebagai tersangka kecelakaan lalu lintas adalah bentuk rekayasa kasus.
BEM UI juga merasa, tindakan kepolisian itu mirip seperti ulah Ferdy Sambo dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J).
“Bagi kami, fenomena ini seperti Sambo jilid dua. Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji,” kritik Ketua BEM UI Melki Sedek Huang, Sabtu (28/1/2023).
“Kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta, dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan,” tegasnya, dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta.
Maka Melki, mendesak agar pensiunan perwira menengah (pamen) Polri itu bisa dijerat pidana.
Ia juga memastikan jika BEM UI, siap mengawal kasus hingga tuntas. “Demi tercapainya keadilan bagi almarhum Hasya dan keluarganya.”
Alami Intimidasi
Gita Paulina selaku kuasa hukum almarhum Hasya, mengungkap adanya beberapa intimidasi–ancaman–yang didapat pihak keluarga.
“Kuasa hukum baru ditunjuk akhir November, saat itu saya dikasih tahu keluarga, mereka [pihak terduga polisi] mencoba cara intimidasi.”
Demikian tutur Gita kepada awak media, saat melakukan konferensi pers pada Jumat (27/1/2023).
Ia menjelaskan, intimidasi yang mengarah kepada pihak keluarga Hasya, tidak hanya sekali dua kali.
Jika memerinci, pada intimidasi pertama, ada beberapa pria yang memaksa mendatangi kediaman almarhum Hasya.
Tepatnya ketika sang ibu, Dwi Syafiera Putri (Ira), sedang sendirian di rumah.
“Bahwa, keluarga didatangi malam-malam, sekitar pukul 10, oleh utusan terduga pelaku, dan kondisi, ibu sendirian,” beber Gita.
Pada intimidasi kedua, beberapa orang kembali mendatangi rumah almarhum.
Kali ini, mereka merangsek ke pekarangan dan memaksa masuk ke rumah, saat adik Hasya tengah sendirian.
“Tentunya sangat ketakutan didatangi banyak laki-laki tidak jelas maunya apa,” ujar Gita.
Lebih lanjut, Gita dan Ira menyebut ancaman berasal langsung dari pihak kepolisian, saat pihaknya mendatangi Subditgakkum Pancoran; akhir tahun lalu.
Menurut Ira, dalam pertemuan dengan pihak kepolisian itu, keluarga membawa lima orang kuasa hukum dari Iluni UI.
“Tapi kami dipisahkan, dan kami hanya berdua [ayah ibu Hasya] dengan beberapa polisi,” ungkap Ira.
Bukan hanya memisahkannya dan suami dari kuasa hukum, tetapi pihak kepolisian juga mengunci pintu ruangan mereka.
Kuasa hukum keluarga Hasya, benar-benar tidak boleh masuk.
“Saya tidak bilang diintimidasi, tapi seperti disidang, saya pikir harus bawa lawyer saya. Saya bilang enggak mau ke toilet, saya mau keluar [dari ruangan],” jelas Ira.
Menolak Berdamai
Saat pertemuan dengan kepolisian beserta beberapa petinggi, Ira juga menolak untuk berdamai.
Meski Eko Setio Budi Wahono–selaku penabrak–hadir di ruang terpisah, Ira dan Gita mengaku tidak sempat dipertemukan dengan yang bersangkutan.
Adapun alasan polisi tidak membolehkan kuasa hukum untuk masuk, kata Gita, adalah karena orang tua almarhum Hasya sedang curhat dengan polisi.
“Saya juga heran, kenapa curhatnya di dalam dan dikunci? Saya yakin air matanya juga sudah banyak tumpah, tidak perlu lagi curhat,” sentil Gita.
Gita juga menegaskan, jika setelah melindas korban, Eko tidak langsung berhenti. “Makanya waktu itu kami mempertanyakan, kenapa tidak dites urine?”
View this post on Instagram
Eko juga tidak mau menolong untuk membawa Hasya ke rumah sakit terdekat, sesaat setelah menabrak dan melindas.
Eko malah membiarkan salah satu saksi di lokasi untuk mencari ambulans ke tiga rumah sakit terdekat.
“Bahwa saat setelah kejadian, pelaku dimintai tolong untuk membawa Hasya ke rumah sakit, tapi menolak dan tidak menunjukkan usaha untuk membantu.”
“Akhirnya, salah satu orang di TKP harus mencari ambulans ke tiga rumah sakit,” jelas Gita.
Itu sebabnya, pihak kuasa hukum dan keluarga merasa kecewa, dan terus mempertanyakan hal tersebut.
Gita menyebut, kepolisian sengaja tidak menggali fakta itu lebih dalam. “Kami tidak tahu pertimbangan aparat hukum…”
Pernyataan Polisi
Pada Jumat (27/1/2023), sebelum keluarga Hasya menggelar konferensi pers di sore hari, pihak Polda Metro Jaya, telah mengadakan jumpa pers.
Menurut Dirlantas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman, penetapan tersangka terhadap Hasya, sudah tepat.
“Kenapa [Hasya] dijadikan tersangka ini, dia ‘kan yang menyebabkan, karena kelalaiannya, jadi dia meninggal dunia,” ucap Latif.
Ia juga menjelaskan, alasan Eko tidak dijadikan tersangka adalah karena pensiunan polisi itu berada di jalurnya sendiri. Berbeda dengan Hasya yang kata Latif, merampas jalan orang lain.
Setelah menetapkan Hasya menjadi tersangka, pihak kepolisian mencabut sepenuhnya SP3 tersangka dengan berbagai alasan.
Di antaranya, kata Latif, tidak cukup bukti lain, dan karena Hasya sudah meninggal, maka kasus kedaluwarsa.
Sebenarnya, bagaimana kronologi tertabraknya Hasya oleh mobil yang dikendarai Eko? Baca selengkapnya di sini…