Ngelmu.co – Akhirnya, Gubernur ke-17 DKI Jakarta, Anies Baswedan, buka suara soal Rp50 miliar di Pilkada 2017 lalu.
Anies menjelaskan, bahwa saat Pilkada 2017, banyak sumbangan yang datang untuk kampanye. Ia juga mengakui adanya sumbangan Rp50 miliar tersebut.
Ia memberikan penjelasan saat wawancara dengan motivator Merry Riana, yang kemudian videonya terunggah di kanal YouTube Merry Riana pada Jumat (10/2/2023).
Judulnya, ‘Perdana! Anies Baswedan Blak-blakan tentang Perjanjian Politik Prabowo-Anies-Sandi‘.
“Jadi begini, pada masa kampanye itu, banyak sekali sumbangan, banyak sekali, ada yang kami tahu, ada yang kami tidak tahu, dan ada yang memberikan dukungan langsung, apakah relawan.”
“Nah, kemudian ada pinjaman [Rp50 miliar], sebenarnya bukan pinjaman, tapi dukungan, yang pemberi dukungan ini meminta dicatat sebagai utang. Jadi, dukungan yang minta dicatat sebagai utang,” tutur Anies.
Ia kemudian menegaskan, bahwa uang Rp50 miliar itu bukan dari Sandiaga Uno. Anies menyebut, pemberi Rp50 miliar itu adalah pihak ketiga.
Lalu, Anies membeberkan isi perjanjian dengan pemberi Rp50 miliar itu. Isinya, sumbangan Rp50 miliar dianggap selesai jika Anies-Sandi, menang pilkada.
Baca Juga:
Artinya, uang tersebut dianggap sebagai bentuk dukungan. Namun, jika kalah, Rp50 miliar itu dianggap utang, dan Anies-Sandi, siap menggantinya.
“Ini ‘kan dukungan untuk sebuah kampanye, untuk perubahan, untuk kebaikan, bila ini berhasil, maka itu dicatat sebagai dukungan, bila kita tidak berhasil dalam pilkada, maka itu menjadi utang yang harus dikembalikan.”
“Jadi, itu ‘kan dukungan tuh, siapa penjaminnya? Yang menjamin Pak Sandi, jadi uangnya bukan dari Pak Sandi, ada pihak ketiga yang mendukung, kemudian saya menyatakan, ada suratnya, surat pernyataan utang.”
“Saya yang tanda tangan, dan dalam surat itu disampaikan, apabila pilkada kalah, maka saya berjanji, saya dan Pak Sandiaga ini berjanji mengembalikan, saya dan Pak Sandi, yang tanda tangan saya.”
“Apabila kita menang pilkada, maka ini dinyatakan sebagai bukan utang, dan tidak perlu, jadinya selesailah. Jadi, itulah yang terjadi, makanya begitu pilkada selesai, menang, selesai,” jelas Anies.
Baca Juga:
Anies juga menyampaikan sistem perjanjian ‘jika kalah harus mengganti uang tersebut’.
“Yang perlu digarisbawahi, kenapa kalah bayar? Biasanya orang berpikir, menang bayar. [Karena] kalau kalah, maka saya akan berada di luar pemerintahan, maka di situ, saya cari uang untuk mengembalikan. Mungkin saya bisnis, mungkin saya usaha, apa pun, supaya mengembalikan.”
“Kalau saya menang, saya masuk pemerintahan, saya tidak cari uang di pemerintahan untuk bayar itu. Kalau tidak [menang], saya harus ngumpulin uang [untuk] bayar utang.”
“Bukankah ini yang menjebak kita selama ini? Dengan macam praktik-praktik fund rising untuk biaya pilkada,” kata Anies.
“Kemarin, sebaliknya, bila kalah, maka saya di luar pemerintahan, sah dong cari uang? Sah dong punya usaha? Tapi begitu menang, saya masuk pemerintahan, malah enggak usah [ganti uang dukungan].”
“Justru itulah dukungan Anda untuk Jakarta yang lebih baik, membawa perubahan Jakarta,” jelas Anies.
Baca Juga:
Anies menilai, sistem perjanjian itulah yang menjadi pola pikir baru. Ia juga menegaskan, isu perjanjian tersebut bukanlah berita yang menggemparkan.
“Itu mindset baru. Cuma ‘kan itu ada perjanjian, karena ada seseorang yang mengungkap, ya, sekarang kita ceritakan. Ada dokumennya. Jadi, kalau memang suatu saat itu dianggap perlu dilihat, boleh saja, wong tidak ada sesuatu yang luar biasa di situ.”
Anies menegaskan, perjanjian Rp50 miliar bukan sebuah utang yang harus dilunasi.
“Jadi, tidak ada sebuah utang yang hari ini harus dilunasi. Enggak ada, karena ketika pilkadanya selesai, ya, selesai.”
“Jadi, aneh ketika sekarang kita bicarakan soal ada utang yang belum selesai. Sudah selesai, karena perjanjiannya [begitu].”
Lebih lanjut, Anies berharap perjanjian sistem tersebut menjadi referensi ke depan.
“Saya berharap, pola seperti ini bisa menjadi bahan referensi untuk dipikirkan. Bahwa, mendukung itu untuk perubahan, bukan mendukung sebagai investasi untuk nanti dikembalikan dalam bentuk privilege-privilege,” tegas Anies.
Baca Juga:
Anies juga menjawab isu perjanjiannya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Dalam kabar yang beredar, isi perjanjiannya adalah Anies menyatakan tidak akan maju sebagai calon presiden, jika Prabowo, maju.
Anies mulanya menjelaskan, saat dirinya terpilih menjadi gubernur di Pilkada 2017, ia berkomitmen menyelesaikan tugasnya di Jakarta, selama 5 tahun.
“Sebenarnya sederhana. Saya sampaikan pada waktu mulai bekerja, bahwa saya akan fokus di Jakarta, selama 5 tahun.”
“Dan sesudah Pilkada 2017 itu ada Pilpres 2019. Jadi, saya sampaikan, saya tidak akan tengok kanan kiri, saya akan full 5 tahun di Jakarta.”
“Karena itu saya tidak akan mengikuti Pilpres [2019],” jelas Anies.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ke-27 RI itu kemudian menyinggung momen debat cagub-cawagub yang ditanya panelis, ‘apakah akan ikut dalam perhelatan pilpres’.
Maka komitmen menyelesaikan tugas 5 tahun di Jakarta, kembali ditekankan oleh Anies dalam momen debat tersebut.
“Walaupun, kalau ingat, ya, pada saat debat pertama, debat calon gubernur, lo, pertanyaan pertama dari panelis itu begini, ‘Pak Anies, apakah bapak akan maju Pilpres apa tidak?’.”
“Ini lagi debat gubernur, lo, kok ditanyaian pilpres? Saya bilang, ‘No, saya akan di Jakarta’, dan itu rekamannya ada, wong namanya juga debat,” beber Anies.
“Jadi, sesederhana itu. Tuntaskan 5 tahun, sesudah itu kita tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak tahu, apakah saya akan kembali mengajar?”
“Apakah saya akan meneruskan di pemerintahan? Kalau meneruskan di pemerintahan, apakah tetap di Jakarta? Apakah untuk tugas yang berbeda?”
“Jadi, kita komit 5 tahun, dan komitmen itu kita pegang,” tegas Anies.
Baca Juga:
Anies juga bercerita, jika dirinya diajak untuk jadi cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2019.
Namun, Anies menolak ajakan tersebut, karena ia berkomitmen 5 tahun di Jakarta.
“Jadi, ketika di tahun 2018 saya diajak untuk menjadi wakil pasangannya Pak Prabowo, saya sampaikan juga kepada beliau, ‘Pak Prabowo, terima kasih atas undangannya, ini sebuah kehormatan, tetapi saya punya komitmen untuk menyelesaikan di Jakarta selama 5 tahun’.”
“Jadi, saya rasa itu, dan memang kuncinya adalah menyelesaikan janji dengan warga Jakarta,” jawab Anies.
Anies kemudian menyebut, banyak kontrak janji terhadap warga Jakarta yang ditandatangani. Salah satunya adalah perjanjian dengan warga Kampung Akuarium.
“Karena janji saya dengan warga Jakarta, banyak tanda tangan tuh, kontrak-kontrak politik dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota, dengan Kampung akuarium.”
“Dengan masyarakat kaki lima, itu semua janji-janji yang harus saya tunaikan. Apa yang harus saya sampaikan kepada mereka, kalau setelah satu tahun saya pergi?”
“Kemudian nanti mereka tidak lagi percaya kepada proses demokrasi, karena yang bertandatangan untuk mengikuti pemilu, begitu saja meninggalkan.”
“Nah, saya enggak mau kerjakan itu, itulah yang kemudian saya laksanakan,” tutur Anies.
Baca Juga:
Ia juga menyampaikan, bahwa dirinya tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah masa jabatannya sebagai Gubernur DKI, selesai.
Namun, saat terpilih menjadi gubernur di 2017, Anies menekankan komitmen 5 tahunnya di Jakarta.
“Sesudah itu selesai, saya enggak tahu berikutnya apa ‘kan? Apalagi tahun 2017, dari mana kita tahu apa yang akan terjadi 5-7 tahun yang akan datang? Tapi itulah komitmennya, dan itulah yang dilaksanakan,” kata Anies.
Komitmen 5 tahun di Jakarta itulah, lanjutnya, yang ada dalam perjanjian dengan Prabowo, sehingga ia tidak akan mengikuti pilpres.
Menurut Anies, tidak ada batasan sampai kapan ia tidak mengikuti pilpres.
“Dan memang ketika ngobrol itu enggak menyebut tahun. Misalnya, saya berjanji [enggak ikut pilpres sampai kapan pun], enggak. Saya berjanji menyelesaikan [jabatan gubernur DKI] 5 tahun.”
“Tidak ada menyebut 5 tahun sampai 2022, kemudian tidak akan ikut 1, 2…” ucap Anies.