Ngelmu.co – “Terima kasih ada kayak gini, ya, Pak. Kalau bisa, sih, sering-sering, gitu. Soalnya kita rakyat kecil, kalau harga beras sampai Rp17.000-18.000 ‘kan berat,” kata warga Grobogan, Jawa Tengah, Sri Maryati.
Harapan sekaligus ‘jeritan’ Sri Maryati, kini seakan menjadi representasi dari suara-suara kepedihan.
Pesta pemilihan umum (pemilu) telah usai–walau masih banyak meninggalkan catatan kecurangan–kini rakyat disuguhkan dengan kesusahan yang mendalam.
Warga di beberapa daerah, kini mulai rela antre, meluangkan waktu demi mendapatkan harga beras murah.
Sejumlah warga Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah (Jateng), rela antre, berdesakan, demi dapat membeli satu kantong beras murah berisi 5 kilogram.
Operasi pasar yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Grobogan, membandrol harga beras medium tersebut senilai Rp10.200 per kilogram.
Harga yang murah, membuat warga rela berebut mendapatkan beras seharga Rp51.000 per kantong di depan pintu bak truk.
Pemkab Grobogan, menyediakan beras sebanyak tiga ton untuk operasi pasar dalam rangka membantu warga kurang mampu; akibat kenaikan harga beras.
Tidak hanya di Grobogan–masih di Jawa Tengah–di Purworejo, beras juga menjadi primadona.
Harga Beras di Kabupaten Purworejo, makin mahal. Beras premium saat ini mencapai Rp17.000 per kilogramnya.
Baca juga:
Asfari (51), salah satu penjual beras di Pasar Baledono, mengatakan, banyak warga yang beralih ke beras lebih murah.
Salah satunya adalah beras subsidi dari pemerintah.
Beras berlabel stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) itu menjadi rebutan warga.
Bahkan, pembelian beras SPHP tersebut harus antre sepekan, untuk mendapatkannya.
Karawang yang dikenal sebagai sentra penghasil beras di Jawa Barat, kini warganya juga dilanda ‘demam’ antre beras.
Warga Karawang, harus antre untuk membeli beras murah di Desa Pinayungan, Kecamatan Telukjambe Timur pada Jumat (23/2/2024).
Hanya dalam waktu satu jam, 6 ton beras–ukuran 5 kilogram–ludes dibeli warga.
Bahkan, penyelenggara harus menambah 2 ton beras lagi untuk memenuhi permintaan warga yang sudah telanjur antre.
Kantor berita asing–seperti BBC–juga mencatat pemandangan antre beras, terjadi di Sumedang, Bandung, Bekasi, hingga Probolinggo, Jawa Timur.
Menurut Sekjen Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Ngadiran, kenaikan harga beras terjadi sejak empat bulan lalu.
Semula, harga beras medium Rp9.000-Rp10.000 per kilogram.
Harga naik pelan-pelan, hingga pada Rabu (21/2/2024), menyentuh angka Rp13.000-Rp14.000 per kilogram.
Adapun beras premium, sebelumnya berada di kisaran Rp12.000-Rp14.000 per kilogram.
Namun, merangkak terus sampai di harga Rp17.000-hingga Rp18.000 per kilogram.
Bagaimana dengan harga sekarung beras medium? Kini sudah Rp700.000 di pasar induk, dan beras premium sekarungnya Rp800.000.
Sebelumnya, padahal harga sekarung beras medium berisi 50 kilogram itu Rp485.000, atau paling mahal Rp500.000.
Baca juga:
Sepanjang 40 tahun lebih, Ngadiran, berdagang di pasar induk.
Kenaikan harga beras pada tahun ini adalah yang paling tinggi dalam sejarah.
Masih menurut Ngadiran, kenaikan harga beras sekarang, paling tidak jelas dan tidak bisa diduga.
Dampaknya juga terasa, pembeli dari kalangan ibu rumah tangga berkurang, dan kalaupun membeli, pasti lebih sedikit dari sebelumnya.
Kalau dulu, kebanyakan orang bisa beli 10 liter, sekarang paling banyak cuma lima liter.
Makin langka…
Bagi mereka yang pernah mengalami peristiwa jelang jatuhnya rezim Soeharto di paruh 1997-1998, saat itu beras masih mudah didapat.
Saya hanya mengalami langkanya susu untuk anak-anak di berbagai toko swalayan di Jakarta.
Kini, tidak hanya berharga mahal, beras juga kerap ‘menghilang’ di banyak gerai swalayan.
Stok beras di ritel modern di wilayah Jakarta Selatan, mulai langka.
Di Alfamart Mampang Prapatan, beras bahkan sudah kosong sejak sebulan lalu.
Berdasarkan pantauan CNN Indonesia pada Selasa (20/2/2024), beras sudah kosong di Alfamart tersebut.
Dalam rak beras, cuma tersisa dua kantong beras merah kemasan 5 kilogram, sedangkan untuk beras putih premium, stoknya lenyap.
Salah seorang karyawan Alfamart–yang tidak mau disebutkan namanya–mengatakan, kiriman beras sudah tidak datang sejak sebulan belakangan.
Selama hampir sebulan–dari Januari hingga Februari–saya lebih banyak tinggal di Tarakan, Kalimantan Utara.
Beberapa warung makan di Tarakan, meluncurkan ‘strategi baru’, agar harga jual makanan tidak terkerek naik; gara-gara beras mahal.
Harga diupayakan tetap, tetapi porsinya makin berkurang.
Baca juga:
Beberapa waktu lalu, dengan harga Rp35.000, bisa kenyang menyantap nasi kuning Sukaria di Kawasan Karanganyar, Tarakan.
Kini dengan uang yang sama, perut terasa masih belum padat.
Ternyata, tidak hanya di Tarakan, sejumlah pelaku usaha warung makan di kota dan kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga terpaksa menyiasati kenaikan harga beras dengan membatasi porsi nasi yang mereka jual.
Sebisa mungkin, mereka tidak menaikkan harga, agar tidak kehilangan pelanggan.
Salah satu pemilik warung makan di Kelurahan Panjang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Satimin (46), menuturkan, jika sebelumnya ia membebaskan porsi nasi yang diminta pelanggan.
Namun, sejak harga beras mencapai Rp15.000 per kilogram, porsi nasi pun diperhatikan dengan lebih saksama.
Satimin yang sudah berjualan makanan selama 17 tahun, ‘mengakali’.
Jika pelanggan meminta lebih banyak dari takaran yang ditetapkannya, maka harga porsi makanan dinaikkan Rp500, dibandingkan porsi biasa.
Saya tidak bisa membayangkan di tengah kesulitan rakyat mencari penghidupan, kini masih harus pula sengsara mencari harga beras murah.
Sudah berharga mahal, langka pula.
Selama kampanye, demi memikat hati rakyat, agar memilih sesuai arahan dan kehendak rezim yang berkuasa, digelontarkan bantuan sosial berupa beras di mana-mana.
Rakyat terbuai, karena perutnya–untuk sementara waktu–dibuaikan dengan rasa kenyang.
Namun, ketika kenyang, sesaat telah usai, kini rakyat harus siap untuk bangun dari tidurnya, menghadapi realita yang ada.
Alih-alih mendapat solusi cerdas, kita dibuat kaget dengan pernyataan pembantu presiden.
Baca juga:
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas), menyebut, tidak semua jenis beras mengalami kenaikan harga.
Melainkan hanya beras premium produksi lokal, karena stok produksinya berkurang, sementara beras impor masih tersedia dengan harga terjangkau.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu bilang, yang naik dan langka hanya beras lokal atau premium.
Pemerintah telah membanjiri pasar dengan beras SPHP subsidi komersial Bulog yang mutu berasnya tidak kalah bagus.
Dengan bangganya, Zulhas menyebut pemerintah telah impor hampir 4 juta ton, on going 2 juta lebih, sementara stok Bulog 1,4 juta ton.
Zulhas malah menyarankan masyarakat, agar beralih dari beras premium petani lokal, menjadi beras Bulog dari luar negeri.
Seperti Vietnam dan Pakistan yang harganya tidak naik, karena dijamin pemerintah.
Sebagai informasi, harga SPHP di Rp10.900 per kilogram ini untuk Pulau Jawa, Bali, Sumatra.
Saat komoditi menjadi langka, maka langkah impor menjadi pembenar, dan sekali lagi, petani lokal tidak menjadi ‘tuan’ di negerinya sendiri.
Rakyat disuruh makan beras murah, maka yang berkuasa boleh makan beras berharga mahal.
Saya jadi teringat dengan gemblengan mendiang George Aditjondro saat saya sebagai aktivis pers kampus Warta Universitas Indonesia, menghadiri pertemuan di Jakarta, sekitar 1997.
Aditjondro selalu mewanti-wanti, agar kalangan muda mencermati ‘politik beras’ yang selalu digunakan rezim Orde Baru untuk membungkam suara kritis rakyatnya.
Kestabilan politik di rezim Soeharto, selalu ditopang dengan ketersedian beras yang dibutuhkan rakyatnya.
Selama beras tersedia dan terjangkau dengan daya beli rakyatnya, maka kekuasaan bisa berjalan tanpa gangguan.
Anggap saja kelangkaan beras saat ini sebagai “raison d’etre” jelang pelaksanaan program makan siang dan susu gratis yang akan dijalankan oleh rezim yang baru.
Baca juga:
Sebagian rakyat yang telah memilih presiden dan wakilnya, tentu berharap–entah apa namanya kelak–Kementerian Urusan Katering atau Kementerian Pembagian Makan Siang dan Susu Gratis, bisa mengatasi solusi rakyat yang lapar.
Rakyat yang lapar, kini butuh beras semudah saat kampanye kemarin, yang dibanjiri beras Bansos di mana-mana.
Kenapa saat kampanye beras berlimpah, dan saat yang ‘dimenangkan’ tertawa renyah, malah beras menjadi langka?
Oleh: Doktor komunikasi politik dan Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama, Ari Junaedi