Ngelmu.co – Dalam dua bulan terakhir, banjir melanda sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah, seperti di Semarang, Kudus, dan Demak.
Banjir di jalur pantura itu menyebabkan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi, bahkan tujuh orang meninggal; akibat banjir di Kudus.
Siklus bencana hidrometeorologi air itu kerap terjadi di Jawa Tengah.
Pemerintah juga dianggap belum memberikan usaha maksimal, bahkan terkesan pasif dalam menangani banjir di sana.
Menjadi sorotan masyarakat luas, karena perlu upaya serius untuk menyelesaikan akar masalah banjir di kawasan tersebut.
“Itu tidak bisa diselesaikan dalam satu kedipan mata. Itu tata ruangnya harus diurusi betul, dan diurus multisektor, dari daerah hingga pusat.”
Demikian pernyataan Pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group, Agus Pambagio, Rabu (20/3/2024).
Ia menyebut, hujan dan cuaca bukanlah faktor utama penyebab banjir di Jawa Tengah.
Semarang khususnya, kota tersebut memiliki topografi yang unik, yakni permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.
Maka itu Agus, meminta pemerintah serius memetakan masalah banjir–di Jateng dan juga daerah lain–dari akarnya, ketimbang fokus menggenjot pembangunan IKN [ibu kota negara] Nusantara di Kalimantan Timur.
“Menurut saya, daripada bikin ibu kota baru, ya, itu diberesin dulu. Ini bukan hal yang baru terjadi, tapi sudah bertahun-tahun,” kata Agus.
Pemerintah pusat dianggap diam
Terpisah, Koordinator Omah Publik Nanang Setyono juga menilai, pemerintah pusat bersikap diam soal banjir yang berlarut-larut melanda Demak, Kudus, dan Semarang ini.
Menurutnya, pemerintah pusat memang sudah bekerja melalui BNPB dengan memberikan bantuan kepada warga.
Namun, upaya itu dinilai tidak cukup.
“Perhatian pemerintah pusat kurang, dan sekali lagi, bahwa yang dirasa oleh masyarakat terdampak banjir, sangat berbeda perhatian dan perlakuannya pemerintah pusat, dalam hal ini presiden dan menteri, termasuk anggota DPR,” kata Nanang.
Ia menilai, pemerintah dan legislator hanya aktif mendatangi warga saat masa kampanye atau menjelang kontestasi politik.
Masyarakat di sekitar Jawa Tengah, mengeluhkan kurangnya bantuan.
Bahkan, tidak jarang warga memilih mengungsi ke rumah kerabatnya di luar kota.
“Sebelum pemilu, mereka aktif datang, mendekati masyarakat, aktif datangi di mana ada bencana.”
“Sekarang ini setelah pemilu selesai, ya, saya pikir hanya petugas BPBD, TNI, dan Polri saja yang aktif menengok,” kritik Nanang.
Banjir di sejumlah wilayah Jawa Tengah, lanjutnya, merupakan kumulatif dari berbagai masalah yang menahun.
Salah satunya, banyak aliran sungai yang tidak berfungsi maksimal.
Menurutnya, hujan tanpa intensitas tinggi juga bisa membuat Jawa Tengah, terendam.
Nanang juga menyebut jika di Demak, banyak ruang air atau ruang resapan air yang malah dijadikan sebagai lokasi industri.
Begitu juga banyak dataran tanah yang seharusnya menjadi tempat resapan air, malah disulap menjadi permukiman warga.
“Yang kita lihat, bahwa banjir di Semarang, Demak, dan sekitarnya itu lebih banyak disebabkan karena luapan air yang mengalir di sungai-sungai.”
“Nah, itu adalah kewenangan pusat, untuk normalisasi aliran sungai itu,” kata Nanang.
Perketat penggunaan air tanah
Dosen Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas juga bersuara.
Ia menyebut, akar masalah banjir di Jateng, terletak pada infiltrasi dan juga daya tampung air.
Selain itu, perubahan iklim dan siklon tropis, turut menambah beban penyebab banjir di Jateng.
Heri mengatakan, Jepang dan Amerika, telah menyiapkan daya tampung sebagai mitigasi peluang terjadinya hujan seribu tahunan atau hujan yang sangat ekstrem.
“Nah, di kita, khususnya di Pantura, kita tidak mempersiapkan daya tampung itu,” ujarnya.
Sejumlah negara di luar negeri juga sudah menyediakan ruang daya tampung air, selain bentang alami seperti sungai.
Baca juga:
Heri mengatakan, saat ini, penurunan dataran tanah yang memperparah banjir di Jateng.
Ia menyebut angka kenaikan permukaan air laut itu tidak sebanding dengan penurunan muka tanah, termasuk di Jakarta.
Berdasarkan pengukuran via global positioning system (GPS), penurunan rata-rata di DKI, mencapai sentimeter per tahun.
“Penurunan tanah menyebabkan cekungan-cekungan banjir, dan menyebabkan tanah menjadi lebih rendah dari laut.”
“Itu yang terjadi di Semarang dan Demak, banyak areanya itu sudah lebih rendah dari laut, dan membentuk cekungan-cekungan.”
Cekungan itulah yang kemudian sulit menyerap air, sehingga menyebabkan banjir tidak mudah surut.
Heri mengakui, kondisi tersebut disebabkan banyaknya warga yang menyedot air tanah.
Namun, menurutnya, pemerintahperlu memantau ketat dan mengeluarkan larangan.
Pemerintah juga harus menyediakan akses air kepada warga, melalui cara lain.
“Berdasarkan perundang-undangan, institusi yang berkewajiban memberikan air terhadap masyarakat. Sebab, masyarakat itu mempunyai hak atas air.”
“Kalau tidak boleh menguasai air, berarti kalau misalnya melarang, tapi tidak menyediakan, itu salah di pemerintah,” kata Heri.
Giant sea wall juga belum menjadi solusi jangka panjang banjir rob.
Paslanya, jika permukaan air laut makin tinggi, maka tanggul raksasa itu juga bisa rusak, bahkan dikhawatirkan jebol.
“Jadi yang paling efektif itu sebenarnya mengontrol, bahkan menghentikan penurunan tanah.”
“Dengan cara itu tadi, melarang penggunaan air tanah berlebihan, tapi melarang saja tidak cukup, pemerintah harus menyediakan.”
Potensi Selat Muria
Lebih lanjut, Heri juga mengomentari soal potensi terjadinya Selat Muria, imbas air bah yang terus-menerus terjadi di Kudus dan Demak.
Menurutnya, secara realistis, potensi itu akan tetap terjadi, mengingat selat terbentuk karena lautan yang makin tinggi; menutupi muka tanah yang terus menurun.
Namun, Heri meyakini, pemerintah tidak akan membiarkan kejadian tersebut.
Oleh sebab itu, berbagai mitigasi perlu dilakukan dari sekarang, demi mencegah bencana buruk tersebut.
“Jadi, teorinya, bisa kembali lagi Selat Muria, tetapi kemungkinan besar itu tidak akan terjadi,” tutup Heri.