Ngelmu.co – Hanya dalam waktu 10 bulan, pasukan penjajah Israel, telah membunuh 40 ribu jiwa di Jalur Gaza; mayoritas anak-anak dan perempuan.
PBB, menghitung selama genosida brutal belakangan, rerata, 130 warga Gaza, syahid tiap harinya.
Bagaimana angka yang memalukan bagi umat manusia itu tercapai?
Angka-angka yang terus bertambah, menimbulkan keputusasaan warga Gaza di tengah negara-negara dunia yang tidak berbuat banyak, sementara warga Gaza, terus dibantai.
“Kami hanyalah angka-angka yang dikantongi dalam kantong plastik putih. Saya ingin tahu, berapa nomor saya? Berapa nomor saya untuk jumlah korban jiwa? Tanggal berapa peti mati saya akan dibawa, dan berapakah nomor saya di antara keluarga saya nantinya?” tulis Abeer Z Barakat, seorang pengungsi dari Kota Gaza, mengutip Republika, Jumat (16/8/2024).
“Kami berusaha sekuat tenaga untuk mengatakan kepada dunia, bahwa kami bukanlah angka. Masing-masing kami punya cerita dan kehidupan, tapi tampaknya kami telah berusaha keras untuk membuktikan sesuatu yang terus-menerus diabaikan dunia. Ini martabat kami, hidup atau mati.”
“Jadi, bagi saya, saya ingin menghentikan perjuangan ini, menyerah pada kenyataan ini. Saya menantikan nomor saya sekarang!”
Baca juga:
Pada 7 Oktober 2023, para pejuang Palestina, melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Israel.
Selain terkait puluhan tahun blokade mematikan terhadap Jalur Gaza, penerobosan terus-menerus Masjid al-Aqsa, pembunuhan-pembunuhan terhadap warga Palestina di Tepi Barat, perluasan pemukiman ilegal Yahudi, serta kondisi ribuan tahanan di penjara-penjara Israel, jadi alasannya.
Ribuan dari Gaza, termasuk warga sipil, merangsek pos-pos militer, kibbutzim, serta satu pesta besar di Israel.
Tujuannya, menculik sebanyak-banyaknya pasukan penjajah Israel untuk dijadikan sandera, dan daya tawar pembebasan tahanan.
Pasukan penjajah Israel yang terkejut dengan serangan itu gelagapan menanggapi, sementara saling tembak mulai memakan korban.
Investigasi Haaretz, menyimpulkan, pasukan penjajah Israel, akhirnya menerapkan protokol Hannibal, yang membunuh banyak warga Israel sendiri; untuk mencegah mereka dibawa ke Gaza.
Akibat kekacauan tersebut, sekitar 1.100 warga Israel, tewas. Hampir setengahnya pasukan penjajah Israel, dan anggota kepolisian, serta pengamanan sukarela.
Sekitar 250 sandera dibawa ke Gaza, termasuk warga sipil.
Pada hari yang sama, pasukan penjajah Israel, langsung membombardir Gaza.
Baca juga:
The Times of Israel, mengutip seorang perwakilan sandera yang mengungkapkan bahwa pada mulanya, sudah ada tawaran dari Hamas untuk membebaskan semua sandera warga sipil yang terbawa ke Gaza.
Namun, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu yang menolak tawaran tersebut, dan malah memilih melakukan serangan besar-besaran ke Gaza.
Media-media Israel dan Barat, juga pemerintah Amerika Serikat (AS), memanas-manasi dengan menyampaikan bahwa ada pembunuhan bayi-bayi secara kejam, serta pemerkosaan massal dalam serangan 7 Oktober.
Namun, belakangan, terbukti melalui investigasi independen, semuanya adalah bohong.
AS dan negara-negara sekutu Israel di Eropa, kemudian memberikan lampu hijau serangan ke Gaza dengan dalih Israel, berhak membela diri.
Dengan kondisi Gaza yang merupakan wilayah terkepung dengan populasi padat, serangan kala itu dipastikan akan merenggut nyawa warga sipil.
Namun, dukungan pada Israel, tetap diberikan.
Israel juga memutus akses bantuan makanan, obat-obatan, air bersih, dan listrik ke Gaza.
Baca juga:
Pada 17 Oktober 2023, di tengah serangan Israel, Rumah Sakit (RS) Baptis Al-Ahli, dibom.
Akibatnya, sekitar 300 orang, syahid. Ini salah satu dampak paling fatal dari agresi Israel ke Gaza saat itu.
Israel, menuding ledakan itu merupakan akibat roket kelompok Jihad Islam Palestina yang gagal sampai ke Israel.
Namun, banyak investigasi yang menyimpulkan bahwa ledakan tersebut, akibat rudal yang datang dari arah Israel.
Serangan itu memicu Dewan Keamanan (DK) PBB, melakukan rapat darurat pada 19 Oktober 2023.
Namun, AS, memveto resolusi DK PBB yang menyerukan jeda kemanusiaan dalam konflik antara Israel dan militan Hamas Palestina untuk memungkinkan akses bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Dua belas anggota, memberikan suara, mendukung rancangan teks tersebut, sementara Rusia dan Inggris, abstain.
Pada 27 Oktober 2023, Israel, memulai serangan darat dengan pengerahan ribuan kendaraan tempur ke Gaza; disertai sekitar 100 ribu pasukan.
RS Al-Quds, RS Al-Shifa, dan RS Indonesia di sana, jadi sasaran serangan darat tersebut.
Saat itu jumlah syuhada di Gaza, sudah mencapai ribuan orang.
Baca juga:
Pada 22 November 2023, Israel dan Hamas, mencapai kesepakatan gencatan senjata sementara, dengan memberikan jeda selama empat hari, untuk memungkinkan pembebasan 50 sandera yang ditahan di Gaza.
Kesepakatan itu juga mengatur pembebasan sekitar 150 perempuan dan anak-anak Palestina yang ditahan oleh Israel.
Gencatan senjata berakhir pada 1 Desember. Gencatan berakhir selepas Israel dilaporkan menembaki petani di Gaza.
Pada 10 Desember 2023, DK PBB, menggelar rapat perdana untuk mencapai resolusi gencatan senjata.
Saat itu, sudah lebih dari 15 ribu warga Gaza, syahid; dengan rerata 250 kematian per hari.
AS, sebagai sekutu terbesar Israel, memveto proposal DK PBB untuk menghentikan serangan Israel, kala itu.
Wakil Duta Besar AS untuk PBB, mengatakan, penghentian segera agresi hanya akan menanam benih bagi perang berikutnya, dan menuduh Hamas, menolak menerima solusi dua negara.
Faktanya, Hamas, telah menerima solusi dua negara selama hampir 20 tahun.
Pada 2017, piagam barunya secara resmi menyatakan hal tersebut.
Lagi-lagi, untuk ketiga kalinya, AS, memveto resolusi DK PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza pada 20 Februari 2024.
Kala itu, korban jiwa di Gaza, sudah hampir mencapai 30 ribu jiwa.
Duta Besar AS untuk PBB, mengatakan, veto itu dilakukan karena kekhawatiran, bahwa resolusi tersebut akan membahayakan perundingan antara AS, Mesir, Israel, dan Qatar.
Netanyahu, tentu menyambut baik veto AS.
Baca juga:
Pada 26 Maret 2024, AS, akhirnya memilih abstain, dan tidak memveto proposal gencatan senjata yang disetujui oleh 14 dari 15 anggota DK PBB.
Namun, AS, kemudian mengatakan resolusi tersebut tidak mengikat, meremehkan aturan sistem PBB, dan menunjukkan komitmen AS untuk terus mendukung perang Israel di Gaza.
Saat itu, korban jiwa di Gaza, telah mencapai 32 ribu jiwa.
Pada 7 Mei 2024, Hamas, menyatakan, menerima gencatan senjata yang diusulkan oleh Qatar dan Mesir yang mengikuti kerangka tiga fase.
Perjanjian tersebut menetapkan bahwa semua tawanan Israel–warga sipil dan pasukan penjajah–akan dibebaskan dengan imbalan tahanan Palestina dalam jumlah yang tidak ditentukan.
Resolusi tersebut menyerukan Israel untuk meningkatkan bantuan, secara bertahap menarik diri dari Gaza, dan mengizinkan rekonstruksi, serta mencabut pengepungan yang diberlakukan terhadap wilayah tersebut sejak tahun 2007.
Namun, Israel, tidak akan menyetujui persyaratan itu, karena tidak menginginkan gencatan senjata yang langgeng.
Dua hari kemudian, Israel, mengabaikan seruan gencatan senjata, dan kembali melancarkan serangan ke Rafah, kota paling selatan Gaza, tempat di mana 1,4 juta pengungsi Palestina, mencari perlindungan.
Jumlah korban jiwa di Gaza, kala itu sudah mencapai 38 ribu jiwa.
Baca juga:
Pada Juli 2024, Kepala Biro Hamas Ismail Haniyeh, dibunuh di Teheran, Iran; saat menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian.
Para pejabat Iran dan AS, yakin, Israel, bertanggung jawab.
Namun, seperti yang sudah-sudah, Israel, tidak membenarkan ataupun menyangkal hal tersebut secara resmi.
Kekhawatiran meningkat, bahwa negosiasi gencatan senjata akan terhenti, setelah pembunuhan tersebut.
Salah satunya karena Haniyeh adalah juru bicara utama Hamas.
Sampai 15 Agustus 2024, saat korban jiwa di Gaza, akhirnya mencapai lebih dari 40 ribu jiwa, Netanyahu, masih menghalangi kesepakatan.
Netanyahu, dilaporkan memperkuat posisi tim perundingan, bersikeras bahwa pasukan Israel, harus tetap mengendalikan perbatasan selatan Gaza.
Sebuah ketentuan yang sebelumnya tidak disertakan.
Netanyahu juga mengatakan, pos pemeriksaan keamanan akan didirikan untuk mencari warga Palestina yang ingin kembali ke rumah mereka di Gaza utara.
Ketentuan yang dikhawatirkan oleh tim perunding akan menggagalkan gencatan senjata saat putaran baru perundingan tengah berlangsung.
Oleh: Fitriyan Zamzami