Ngelmu.co – Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Emil), membagikan sebuah tulisan untuk mendiang putra sulungnya, Emmeril Kahn Mumtadz (Eril).
Ia mengakhiri tulisan yang dibagikan melalui media sosial pada Ahad (5/6/2022) malam itu, dengan perasaan bangga.
Duka itu jelas ada, tetapi Emil dan keluarga berupaya menggapai tali keimanan serta keikhlasan untuk menghadapi takdir Allah.
“Bismillah dan mohon maaf. Izinkan saya, selaku ayahanda Eril, untuk memberi kesaksian atas kiprah dan semangat hidupnya selama ini.”
Demikian tutur Emil pada awal takarir unggahannya tersebut, seperti Ngelmu kutip pada Senin (6/6/2022) ini.
“Saya tahu betul, Eril, jika masih ada, pasti tidak terlalu senang jika amal atau kebaikannya diceritakan,” sambungnya.
“Namun, sesuai saran ulama, ini adalah kewajiban saya selaku ayah,” imbuhnya lagi.
“Dan ini adalah hak dari Eril, yang sudah berpulang, yang wajib ditunaikan,” jelas Emil.
“Inilah berjuta alasan juga, kenapa kami sudah sangat mengikhlaskan kepergiannya,” ujarnya.
“Semoga berkenan, dan semoga semua bisa memetik hikmahnya. Jazakallah. Hatur nuhun,” tutupnya, mengakhiri takarir.
Berikut kesaksian Emil, atas semangat hidup Eril, selengkapnya:
Kapan Kita Pulang?
Kisah tentang Eril, anak lelaki kesayangan kami, hakikatnya adalah cerita tentang kita semua.
Hakikat bahwa semua dari kita, pasti akan pulang. Dengan waktu, tempat, dan cara yang kita tidak akan pernah selalu tahu.
Hidup di dunia ini sesungguhnya adalah tentang perjalanan, bukan tujuan.
Dan seperti cerita setiap perjalanan, kisah selalu dimulai dari sebuah titik awal, dan kisah akan selesai di sebuah titik akhir.
Dan untuk setiap yang datang, pasti akan ada saatnya untuk kembali pulang.
Agar perjalanan selamat, maka petunjuk jalan dan bekalnya, harus kita siapkan.
Petunjuk jalan adalah keimanan. Bekal perjalanan adalah anfauhum linnas, yaitu tas berisi pahala amal-amal kebaikan kita.
Itulah hakikat cerita ananda Eril.
Kami sekeluarga sudah mengikhlaskan, bahwa sesungguhnya ia sudah selesai dengan perjalanannya.
Paripurna hidupnya dengan segala amalannya. Ia berpulang kepada pemilik sesungguhnya, sesuai jadwalnya.
Jadwal yang sudah tertulis di kitab takdir Allah, yaitu di Lauhulmahfuz.
Seandainya kami bisa bertukar tempat. Seandainya. Pastilah itu yang setiap orang tua akan lakukan.
Namun, logika manusia tidak sama dengan ketetapan takdir.
Dan jika terdengar cucuran tangis ibunya setiap malam, dan raungan tak bersuara ayahnya, itu semata karena hati kami hancur berkeping-keping.
Saat ini, kami sedang menggapai tali keimanan dan keikhlasan, agar bisa memandu kami beradaptasi terhadap takdir ini.
Kami meyakini, sesungguhnya ada dua cara menilai panjang pendeknya umur manusia.
Yang pertama, menilai dengan panjangnya umur biologis yang dihitung dengan bulan atau tahun. Itu kebiasaan kita.
Namun, ada cara kedua, yaitu menghitung berapa panjangnya, lamanya, dan besarnya amal kebaikannya, saat ia hidup di dunia fana ini.
Ananda Emmeril Kahn Mumtadz, mungkin umur biologisnya hanya 23 tahun.
Namun, dengan luasnya amal kebaikannya, insya Allah, sungguh ia pergi dalam panjang umur.
Ia lahir 25 Juni 1999 di New York, dan berpulang di Bern, 24 Mei 2022; saat ia dalam misi berikhtiar mencari sekolah S2.
Tidaklah penting kita lahir dan pulang di mana, karena sesungguhnya, semua tempat di dunia ini adalah bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Eril, kamu pergi mencari ilmu dan pelajaran, malah akhirnya, kamulah yang memberikan ilmu dan pelajaran kepada kami semua.
Dear Eril…
Ayahmu ini baru tahu, bukan hanya ratusan atau ribuan, tapi jutaan yang mendoakanmu, Ril.
Dari anak-anak yatim di desa-desa, tukang ojek dan becak di belokan jalan kota, sampai ulama-ulama di Palestina.
Dari mereka yang dekat dengan hatimu, sampai mereka yang sama sekali tidak mengenalmu.
Mungkinkah ini karena kebaikanmu membelikan baju Lebaran kepada anak-anak yatim itu?
Atau karena kebaikanmu mengasih THR dari uangmu sendiri ke satpam-satpam itu, Ril?
Mungkinkah ini pahala kesabaranmu, saat tidak semua maumu kami berikan–walau kami mampu–sehingga kamu harus bekerja sambilan sambil kuliah, Ril?
[Mungkinkah] ini balasan dari doa-doa malammu, dan akhlak muliamu yang selalu menebar senyum penuh radiasi bahagia itu, Ril?
Mungkinkah ini buah dari saat kamu hujan-hujan memimpin anak-anak muda membagikan sedekah kepada panti asuhan dan duafa-duafa tua itu, Ril?
Mungkinkah ini berkah dari kebaikanmu, selalu melindungi sesama manusia di sekelilingmu, Ril?
Bahkan di saat kejadian itu, kamu menyelamatkan ibumu dengan melarangnya masuk ke sungai, dan kamu merelakan pelampung itu untuk adikmu.
Kamu sejatinya adalah pahlawan.
Sungguh, kamu diam-diam, ternyata sudah menyiapkan bekal untuk perjalanan pulang itu, Ril.
Masya Allah.
Dan tenanglah di mana pun kamu berada, Ril.
Sesungguhnya ridhallahi fi ridhal walidain.
Rida Allah, akan menyertaimu sekarang, karena kami kedua orang tuamu, sudah ikhlas dan rida; melepas kepulanganmu.
Walau suatu saat nanti kami ingin berseru, ‘Alahu Akbar!’, jika suatu hari Allah, mengizinkan pertemukan kami dengan jasadmu.
Jika ada dosa dari kami selama ini, kami memohon maaf kepadamu, atas segala kekurangan kami. Demikian sebaliknya.
Apa pun itu.
Agar kamu tenang bersama-Nya.
Teriring doa kami di setiap helaan napas dan tetes air mata ini untukmu, anakku.
Sungai Aare, akan terang benderang, karena jutaan doa-doa ini akan menjadi cahaya yang menerangi ketenangan tempatmu sekarang, Ril.
Sampai kita berjumpa lagi, saat kamu membukakan pintu gerbang itu.
Jadi, kapan kita pulang?
Kita tidak akan pernah tahu. Namun, jika panggilan pulang itu datang, pastikan bekal itu cukup.
Bern, Swiss
2 Juni 2022
Ridwan Kamil
A proud father of Emmeril Kahn Mumtadz.
Baca Juga: