Ngelmu.co – Nama Luhut Binsar Pandjaitan disebut dalam persidangan kasus suap pejabat pajak di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada hari Senin (13/3/2017) lalu. Pada sidang kasus suap tersebut, nama Luhut disebut pernah meminta agar Direktorat Jenderal Pajak membatalkan surat pencabutan pengusaha kena pajak (PKP) terhadap sejumlah perusahaan Jepang.
Dilansir dari Kompas, Nama Luhut diungkap oleh Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, Muhammad Haniv, saat bersaksi bagi terdakwa Country Director PT Eka Prima Ekspor Indonesia R Rajamohanan Nair.
Haniv menuturkan bahwa saat ia dipanggil oleh Luhut, Luhut masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
“Saya dipanggil Pak Luhut. Jadi waktu itu dipanggil Pak dirjen, tapi saya yang dipanggil,” kata Haniv kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Haniv, saat ia datang memenuhi panggilan Luhut, di kantor Luhut ada Duta Besar Jepang dan beberapa wajib pajak perusahaan Jepang. Kemudian, Luhut meminta agar masalah pencabutan PKP sejumlah perusahaan Jepang dapat diatasi dengan segera. Haniv kemudian menyanggupi permintaan Luhut tersebut.
Haniv menuturkan bahwa sebelumnya ia juga mendapat banyak keluhan dari pengusaha asal Jepang dan Korea, termasuk PT EKP soal pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Adapun pencabutan PKP itu dilakukan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Enam Kalibata.
“Pak Luhut bilang, ‘Ini Dubes Jepang sudah ke Presiden, Kau harus selesaikan ini. Sore ini bisa kau selesaikan?'” Kata Haniv.
Setelah pertemuan itu, selanjutnya Haniv menghubungi Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi. Tidak lama kemudian, pencabutan PKP sejumlah perusahaan Jepang pun dilaksanakan.
“Saat itu, semua pengusaha Jepang datang ke saya, bilang terima kasih,” kata Haniv.
Dalam kasus ini, Haniv diduga berkepentingan dan bertanggungjawab dalam pembatalan tagihan pajak PT Eka Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp 78 miliar. Haniv juga diduga memerintahkan Kepala KPP PMA Enam Johny Sirait untuk membatalkan pencabutan PKP PT Eka Prima Ekspor Indonesia.
Namun, saat menjadi saksi dalam persidangan, Haniv mengungkapkan bahwa surat tagihan pajak (STP) sebesar Rp 78 miliar dan pencabutan PKP terhadap PT Eka Prima, dikeluarkan tanpa mengikuti prosedur yang sesuai sebagaimana seharusnya.