Ngelmu.co – Baru kemarin ada kabar rencana pembangunan terowongan bawah tanah antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Gimmick? Memang kental terasa begitu. Lalu tak berapa lama kemudian ada pernyataan dari Ketua BPIP bahwa “Agama adalah musuh Pancasila”.
Jadi, di satu sisi negara ini senang sekali membuat gimmick tentang agama, di sisi lain menjadikannya kambing hitam dari tuduhan radikal sampai pernyataan Yudian Wahyudi di atas.
Ketika umat Islam peserta aksi 411 (4 November 2016) “Ikut mengarak” pasangan Wiwi Margaretta dan Andreas Gunawan ke Katedral, tak perlu lewat terowongan toleransi bawah tanah. Dua sejoli itu dengan rasa aman membelah kerumunan.
Juga ketika aksi 112 (11 Februari 2017), pasangan Asido dan Felicia mendapat pengalaman sangat berkesan pada pernikahannya karena umat muslim beramai-ramai ikut mengiringi ke gereja.
Toleransi antar agama yang sejati itu berjalan tanpa gimmick apa pun. Sudah sesuai sekali dengan semangat Pancasila. Sayang, peristiwa tersebut tak membekas bagi pengelola negara. Tetap saja bermacam tuduhan terlontar dari mulut mereka.
Gaji ratusan juta dari uang pajak rakyat telah menghasilkan penistaan pada agama. Tuduhan yang ceroboh didasari sentimen polarisasi politik masyarakat Indonesia.
Terungkap dari wawancara di detiknews, latar belakang Yudian Wahyudi mengeluarkan statement menghebohkan tersebut adalah adanya ijtima ulama yang menghasilkan rekomendasi politis.
Padahal undang-undang membolehkan ijtihad para tokoh Islam itu, dengan payung UUD 45 pasal 28E ayat 3, tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Berlaku untuk selurubh rakyat Indonesia baik mayoritas maupun minoritas.
Namun karena hasil rekomendasinya tidak sesuai dengan kemauan rezim, maka muncullah tuduhan mereka telah memusuhi Pancasila. Kalau seperti yang dilakukan ulama dan kiai Madura yang tergabung dalam Himpunan Lora Madura (Hilma), tentu tak akan disinggung. Karena yang didukung adalah Jokowi.
Maka Yudian Wahyudi harusnya blak-blakan saja. Apakah ia mengidentikkan Jokowi sebagai Pancasila, sehingga siapa yang tidak mendukung mantan walikota Solo itu sebagai musuh Pancasila? Hanya saja ia harus siap dengan konsekuensinya. Karena sama juga ia berkata agama adalah “musuh” Jokowi.
Tokoh Islam yang berkumpul di ijtima ulama kemarin tak pernah mengaku-aku ijtihad mereka sebagai pembeda status keagamaan seseorang. Rekomendasi mereka hanyalah ijtihad yang bisa benar bisa salah. Tapi Yudian yang terlalu berlebihan mengartikan itu.
Kesimpulannya, “Agama adalah musuh Pancasila” adalah jump to conclusion ngawur dari guru besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Pertama ia mengidentikkan ijtima ulama sebagai “Agama”. Kedua mengidentikkan Jokowi sebagai pancasila.
Ada yang meluruskan, bahwa musuh Pancasila adalah korupsi. Sepakat soal itu. Tapi lihatlah realita. Menjelang pengesahan revisi UU KPK yang baru, ada narasi yang dihembuskan buzzer penguasa bahwa KPK telah disusupi radikalisme dengan bukti celana ngatung dan jenggot pegawainya sebagai ekspresi beragama. Di rezim ini pencegahan korupsi pun tak lepas dari isu itu-itu lagi.
Begitulah, agama di antara dua perlakuan: gimmick dan cap radikal. Meski kita paham, yang lebih bermanfaat adalah membangun terowongan toleransi antara pemakan bubur diaduk dan tidak diaduk yang sudah begitu parah pertikaiannya.
Baca Juga: 3 Kesalahan Fatal Kepala BPIP soal Agama Musuh Pancasila di Mata PKS
Harusnya menteri agama tersinggung dengan tuduhan professor Yulian, karena sama saja menyebut Fachrul Razi sebagai “Menteri Musuh Pancasila.” Tapi sejak awal justru beliau sendiri yang sibuk ribut soal radikalisme pada ranah yang diamanatkan negara padanya.
Oleh: Zico Alviandri