Ngelmu.co – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), masih terus mengupayakan agar pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup (coblos partai).
Ahli kepemiluan sekaligus dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Daud Liando pun buka suara.
Ia mengkritik strategi politik tersebut.
Sebab, menurut Ferry, PDIP telah menyeret Mahkamah Konstitusi (MK), dalam penentuan sistem pemilu yang seharusnya dilakukan di parlemen.
Ia kemudian menjelaskan, sistem proporsional terbuka yang kini berlaku–sebagaimana tertera dalam UU Pemilu–merupakan pilihan sistem yang dibuat DPR bersama pemerintah.
Di mana dalam pembahasannya, PDIP ngotot agar pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.
Namun, keinginan partai berlogo banteng moncong putih itu tidak mendapat persetujuan dari partai atau fraksi lain.
“Kalah berdiplomasi, kalah berkompromi dan segala macam, tapi kok, setelah kalah di DPR, datangnya ke MK?”
Demikian sentilan Ferry–dalam diskusi daring yang digelar oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri–yang Ngelmu kutip pada Kamis (8/6/2023).
Sebagai informasi, gugatan uji materi sistem proporsional terbuka yang tengah berproses di MK, diajukan oleh enam warga negara perseorangan.
Salah satunya merupakan kader PDIP.
Mereka meminta MK, memutuskan sistem proporsional tertutup yang konstitusional, sehingga bisa diterapkan dalam Pemilu 2024.
Menurut Ferry, seharusnya PDIP, tidak membawa persoalan penentuan sistem pemilu ke MK.
Seharusnya, PDIP tetap berjuang di DPR dengan mengupayakan revisi UU Pemilu.
“Jangan sampai MK itu jadi lembaga cuci piring untuk membersihkan masalah-masalah [perbedaan pandangan politik] di luar,” tutur Ferry.
Baca juga:
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar juga bicara.
Ia menyatakan bahwa menentukan sistem pemilihan legislatif yang akan digunakan, bukan merupakan ranah MK.
Sebab, pilihan sistem legislatif bukanlah isu konstitusional. Tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang mengatur sistem apa yang harus digunakan.
Zainal bilang, karena pilihan sistem pemilu bukanlah isu konstitusional, maka MK, seharusnya menyatakan bahwa pilihan sistem adalah open legal policy [kebijakan hukum terbuka].
Artinya, penentuan sistem pemilu merupakan domain lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan presiden.
Maka jelas, pilihan sistem menjadi bagian dari kesepakatan politik yang mempertimbangkan untung rugi kebijakan itu sendiri.
JIka MK, tetap memutuskan sistem pemilu yang harus digunakan, berarti hakim konstitusi masuk ke ranah kuasa lembaga demokrasi.
“Ini bisa menggeser sistem demokrasi menjadi yuristokrasi,” kata Zainal dalam diskusi daring yang sama.
“[Yuristokrasi adalah saat di mana] keputusan politik, ditentukan oleh para hakim, yang jelas adalah orang yang tidak dipilih secara demokratis,” tegasnya.
Menurut Zainal, menguatnya yuristokrasi, akan membahayakan kepentingan publik.
Sebab, masyarakat cenderung tidak bisa menyalurkan aspirasi politiknya kepada para hakim.
Lain halnya dengan proses legislasi di parlemen. Masyarakat bisa menyampaikan aspirasinya kepada para wakil rakyat maupun presiden.
Sampai saat ini, MK belum membuat putusan atas gugatan uji materi sistem proporsional terbuka tersebut.
Adapun Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pada Senin (29/5/2023), mengakui jika partainya mendukung penerapan sistem proporsional tertutup.
Namun, menurutnya, PDIP akan patuh jika MK, memutuskan Pemilu 2024, tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
“Kami juga siap, apa pun yang diputuskan oleh MK,” janji Hasto.