Tahniah saudaraku serumpun di Tanah Jiran. Pesta demokrasi yang kalian gelar kemarin telah menghasilkan pergantian kepemimpinan. Ada harapan baru. Meski ia adalah orang lama, yang pena sejarah Malaysia pernah menuliskan sepak terjangnya, tapi asa baru kembali dibawa oleh Dr Mahathir Mohamad yang telah berusia 92 tahun itu. Sekali lagi, selamat.
Negeri kami sedang menanti-nantikan hadirnya angin perubahan. Kiranya ia lebih dulu hinggap di negeri kalian. Kami harus menunggu satu tahun lagi. Sulit rasanya untuk bersabar. Asa sudah menjunjung ke langit. Semoga angin perubahan itu jadi datang ke sini.
*****
Sebagai saudara satu suku, ada kemiripan karakter antara Indonesia dan Malaysia. “Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Begitu pepatah Melayu berbunyi.
Maka menggugat pemimpin yang dinilai menyimpang bukanlah budaya tabu bagi bangsa Melayu. Bahkan bila harus mengupayakan terjadinya suksesi kepemimpinan. Meski yang berkuasa akan melakukan segala cara untuk mempertahankan kursinya.
Tergulingnya Najib Razak yang sudah memerintah sejak 2009 membawa riak harapan yang memperkuat tekad sebagian masyarakat Indonesia untuk mengganti presiden pada pemilihan presiden 2019 besok. Kekalahan Barisan Nasional di pemilu Malaysia yang digelar Rabu, 9 Mei 2018 kemarin bukan tanpa alasan. Masyarakat tidak puas. Dan uniknya, kekecewaan mereka mirip dengan apa yang dialami rakyat Indonesia. Sehingga makin bergeloralah gerakan #2019GantiPresiden.
Senasib sepenanggungan. Bila rakyat Malaysia merasakan kenaikan harga-harga barang akibat adanya kebijakan Good and Services Tax (diakui sendiri oleh Najib bahwa itu adalah kebijakan terberat yang ia putuskan sehingga menyebabkan kenaikan harga-harga https://www.thestar.com.my/news/nation/2018/05/08/najib-gst-hardest-decision-i-ever-made-as-pm/ ), maka di Indonesia rakyat terjepit oleh kenaikan harga BBM 2014 lalu – yang imbasnya terasa sampai kini dan kenaikan beruntun harga TDL. Pemerintah pun gagal menstabilkan harga kebutuhan pokok seperti daging, telur, cabai, dsb.
Serbuan tenaga asing dari China pun rupanya dirasakan juga oleh negera tetangga. “Kami tak mendapatkan apapun dari investasi. Kami tak menyukai itu,” kata Mahathir soal investasi China. Makanya ia menggalang kekuatan oposisi untuk mengentaskan isu tersebut.
Bersamaan dengan itu, rakyat Malaysia menolak proyek-proyek megah yang digarap investor dan tenaga asing dari Tiongkok yang tak membawa manfaat buat masyarakat. Salah satunya Country Garden Holdings Co. Dan itu mengingatkan kita pada proyek-proyek besar yang tak menyentuh hajat masyarakat seperti pulau reklamasi Jakarta, Meikarta, atau kereta cepat Jakarta-Bandung.
Korupsi menjadi isu yang paling besar yang mengguncang pemerintahan tetangga. Sudah banyak yang tahu skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Ada 681 juta dollar AS – sebagaimana dilansir The Wall Street Journal – mengalir ke rekening pribadi Najib Razak. Gemparlah semenanjung tenggara Asia.
Yang dirasakan rakyat Indonesia, pengentasan korupsi tidak serius di masa sekarang. Belum apa-apa, di awal periode rezim kali ini, KPK menghadapi tribulasi yang berat di mana para pimpinannya dikriminalisasi. Belum lagi kasus penganiayaan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, tidak kunjung ditemukan pelakunya.
Di sisi lain, publik juga bertanya-tanya mengenai kinerja KPK dengan komisioner barunya. Misal, pengakuan Setya Novanto tentang nama-nama yang terlibat korupsi e-KTP, tidak terlihat tindak lanjutnya. Nama-nama yang disinyalir itu memang berada di lingkaran rezim. Semacam ada tebang pilih. Intinya, rakyat tidak puas dengan pemberantasan korupsi sekarang.
Satu kemiripan lagi: rakyat Malaysia merindukan kembalinya kejayaan mereka di masa kepemimpinan Mahathir. Lalu dengan gunjang-ganjing urusan ekonomi yang dirasakan kini, apakah rakyat Indonesia jadi ingin bernostalgia dengan pembangunan Orde Baru.?
Seorang teman di beranda facebooknya menertawakan Prabowo yang dianggap ke-geer-an dengan kemenangan Mahathir. Dr M memang punya prestasi yang dirasakan oleh warga Malaysia. Tapi apa yang dirasakan rakyat Indonesia dari Prabowo? Begitu tanyanya.
Memang tak mirip benar. Tapi kalau Prabowo mau, ia bisa mengeksploitasi kemenangan Dr M ini dengan cara mengingatkan masyarakat bagaimana stabilnya ekonomi di masa Orde Baru. Tentu upaya tersebut tidak akan menyasar ke segmen pemilih muda, tapi minimal anak 80-an yang pernah menghafal nama-nama kabinet pembangunan jadi ingat dengan acara-acara semisal Klompencapir di TVRI. Meme Suharto dengan captionnya “Piye kabare?” bisa dijual. Disandingkan dengan foto Prabowo yang merupakan bagian dari Orde Baru.
Risikonya, luka sebagian aktifis Islam akan berdarah kembali melalui kenangan peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, dlsb. Padahal Prabowo sedang dekat-dekatnya dengan aktifis Islam. Atau lawan politiknya akan menggoreng isu pengekangan kebebasan berekspresi sebagaimana yang terjadi di zaman Orde Baru.
Namun dalam skala prioritas kebutuhan, urusan perut lebih utama dibanding menyuarakan aspirasi. Kenyataannya di rezim sekarang masyarakat tak mendapatkan stabilitas kepulan asap dapur. Dan kalau isu kebebasan berekspresi digoreng juga, orang-orang bisa saja menjawab begini: “Sama aja lah… zaman sekarang juga banyak yang ditangkepin gara-gara mengkritik pemerintah. Ramalan Wanda Hamidah udah jadi kenyataan kok.”
Begitulah. Dengan segala kemiripannya, Indonesia bisa menjadikan Pemilihan Raya Umum ke-14 (PRU14) di Malaysia kemarin sebagai inspirasi perubahan kepemimpinan nasional di tahun 2019 nanti.
#2019GantiPresiden
Zico Alviandri