Ngelmu.co – Ketika angka impor produk baja ke negara-negara Asia Tenggara menurun, impor baja ke Indonesia justru meningkat tajam sepanjang 2018. Baja-baja impor yang mayoritas datang dari China, berhasil membanjiri Indonesia, terkait adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.
Permendag 22 Tahun 2018 itu dimanfaatkan para pengimpor dengan mengubah Harmonied System (HS) number dari produk baja karbon, menjadi alloy steel. Jadi, volume impor baja karbon memang menurun, tetapi kemudian disubstitusi dengan naiknya impor baja paduan.
Tujuannya, agar bea masuk menjadi rendah, pemeriksaan barang juga menjadi lebih longgar, yakni yang dari awalnya berada di Pusat Logistik Berikat (PLB), menjadi pemeriksaan post border inspection.
Dengan demikian, pengawasan impor baja yang sebelumnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), beralih ke Kementerian/Lembaga (K/L). Kecurangan importir serta lemahnya pemeriksaan inilah yang memicu baja impor banjiri tanah air.
Tak sembarangan, hal ini langsung dibenarkan oleh Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim.
“Karena Permendag itu tidak lagi menjadikan Bea Cukai sebagai palang pintu terakhir, karena dia enggak berwenang untuk periksa. Wong itu dokumen, siapa yang mau periksa,” ungkap Silmy, Selasa (11/12/2018), seperti dilansir dari Kumparan.
Menurut data KRAS, pada kuartal I-2018, impor baja ke Indonesia meningkat 59 persen, yakni menjadi 250.783 ton, dari sebelumnya pada kuartal I-2017, hanya 157.528 ton.
Sementara berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), impor non-migas yakni benda-benda dari besi dan baja naik 54,14 persen pada November 2018.
Melonjaknya impor baja ini tentu berperan besar terhadap naiknya defisit neraca perdagangan, sebesar USD 2,05 miliar. Defisit Neraca Perdagangan November menjadi yang terparah sepanjang tahun 2018, bahkan sejak Juli 2013 lalu.
Bahkan, banjirnya baja impor ini juga bisa mematikan industri baja nasional, karena produk baja nasional menjadi kalah bersaing.
Sebab, impor baja ke Indonesia masuk melalui proses curang, sehingga bisa memangkas biaya masuk dan memperoleh rebate. Padahal, margin di industri baja sangat tipis.
“Dia impor, yang kena pajak 20 persen. Dikasih statement itu baja alloy, padahal itu baja karbon. Terlepas yang impor itu penjual, produsen, atau trader. Dia jual lagi, tapi ujungnya itu baja karbon, bukan baja alloy,” jelas Silmy.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Giant Banyak Tutup, Karyawan Krakatau Steel di PHK, APBN Defisit, Indonesia di Ambang Krisis?
[/su_box]
Ia mengatakan, industri baja merupakan industri padat modal yang jika ditutup, maka butuh usaha panjang untuk bisa kembali menghidupkannya. Padahal, industri baja di negara manapun, selalu dijadikan penopang (mother industry), sehingga perannya sangat vital.
“Karena enggak bayar custom, akibatnya industri hulunya menurun dan tewas. Tewasnya bertahap. Tewas pertama, dia berani impor supaya cost lebih rendah. Mereka produksi, ada yang top lagi. Impor saja barang jadinya. Karena kalau kita bicara tentang mematikan industri. Menghidupkannya lagi bukan hitungan hari atau bulan, itu bisa tahunan,” tegasnya.
Silmy juga menyebut, serbuan baja impor tidak terpengaruh oleh efek perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini bisa dilihat dengan data impor negara tetangga pada kuartal I-2018, semuanya mengalami penurunan impor baja, seperti:
- Malaysia (turun 20 persen),
- Filipina (turun 46 persen),
- Singapura (turun 13 persen),
- Thailand (turun 30 persen), dan
- Vietnam (turun 64 persen).
“Ini (murni) dampak dari Permendag. Perang dagang belum kena kita,” tuturnya.
Mengaku tak putus asa, Silmy pun melobi dan menjalin komunikasi dengan seluruh pengambil kebijakan. Bahkan, ia menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung, untuk menceritakan kondisi baja nasional. Menurutnya, Jokowi menanggapi positif dengan memerintahkan Mendag, Enggartiasto Lukita untuk merevisi Permendag 22 Tahun 2018.
“Saya sudah datangi Bea Cukai, semua sudah kita datangi, termasuk presiden. Makanya, Jumat kita laporkan, terus Senin ada perubahan,” pungkas Silmy.
Awalnya, Permendag 22 Tahun 2018 diberlakukan untuk mengurangi waktu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time).
Namun, aturan tersebut justru menjadi celah untuk para pengimpor yang ingin mendapatkan bea masuk murah, dengan mengubah jenis baja impornya. Maka, tak heran jika akhirnya impor baja melonjak tajam.