Oleh: Dr. Handi R Idris*
Ditengah semaraknya keberhasilan atlet nasional mengharumkan nama bangsa pada ajang Asiang Games (AG) 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali terpuruk. Bahkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini telah menembus ambang batas psikologisnya, sebesar Rp14.800. Kondisi ini akan semakin terus berlanjut, jika Argentina dan Turki terus terperosok dalam krisis ekonomi.
Nilai tukar rupiah menyentuh level terendahnya sejak krisis moneter 20 tahun lalu pada perdagangan hari selasa kemarin, dolar makin mendekati Rp 15.000. Nilai tukar rupiah di pasar spot melemah 120 poin atau terdepresiasi 0,81% ke level Rp14.935 per dolar AS pada penutupan perdagangan pasar spot selasa 4 September 2018. Rupiah telah melemah pada perdagangan hari kelima berturut-turut, setelah ditutup turun 0,2% atau 30 poin ke level Rp14.710 pada perdagangan Jumat 31 Agustus 2018.
Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan pelemahan rupiah yang terlalu dalam. Pertama faktor eksternal,
Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) sedang tidak bersahabat dengan banyak negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Betapa tidak, hingga akhir tahun 2018 The FED berencana untuk menaikkan suku bunganya hingga empat kali.
Diperkirakan kenaikan berikutnya pada bulan September dan Desember 2018. Bahkan The Fed juga mengisyaratkan dapat menaikkan bunga acuan pada kecepatan yang lebih agresif pada tahun-tahun mendatang di 2019 dan 2020 untuk menjaga penguatan ekonomi AS lebih stabil.
The Fed memutuskan menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk pertama kalinya pada 23 maret 2018, sebesar 25 basis point ke level 1,5 dan 1,75 persen. Kenaikan ini menjadi yang pertama di tahun 2018. Akibatnya rupiah jatuh hingga mendekati Rp.14.000 per USD.
The Fed kembali menaikkan tingkat suku bunga untuk kedua kalinya sebesar 25 basis poin pada13 Juni 2018. Dampaknya lebih parah, nilai tukar rupiah menembus 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat (29/6).
Artinya, rupiah terdepresiasi sudah mencapai 6-7% sepanjang tahun ini (year to date/ytd) dan masuk dalam jajaran mata uang negara berkembang yang paling terpukul oleh dolar AS. Bahkan pelemahan rupiah kali ini masuk dalam kategori terburuk semenjak krisis ekonomi 1998.
Dari sisi internal pelemahan rupiah juga dipicu oleh defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan (CAD) yang kita alamai. Sampai saat ini kita belum bisa mengambil manfaat dari pelemahan rupiah, untuk mendorong kinerja ekspor nasional.
Defisit neraca perdagangan masih mengalami defisit. Pada bulan Juli 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai US$2,03 miliar sehingga secara kumulatif defisit neraca perdagangan sampai Juli 2018 sudah lebih dari US$3 miliar. Jika tidak ada kebijakan yang diambil Pemerintah, diperkirakan angka ini akan terus bertambah.
Saat ini, nilai ekspor Indonesia memang mengalami kenaikan. Nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 mencapai US$18,27%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 naik 19,33%.
Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, nilai ekspor Indonesia ini mengalami peningkatan 25,19% yang terdiri dari kenaikan ekspor nonmigas sebesar 31,18% dan penurunan ekspor migas sebesar 15,06%. Tetapi disisi lain, kenaikan nilai impor terus mengalami peningkatan, bahkan lebih tinggi dari ekspor. Data pada bulan Juli 2018 menunjukkan, Impor mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, nilai impor Indonesia naik 31,56%. Kenaikan nilai impor ini akan terlihat jauh lebih besar lagi jika dibandingkan dengan bulan sebelumya (mtm). Bila dibandingkan dengan Juni, nilai impor Indonesia naik 62,17% yang terdiri dari kenaikan impor migas 22% dan non migas 71%.
Kenaikan impor tersebut tidak hanya disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi juga akibat volume impor yang juga mengalami kenaikan sangat besar yaitu sekitar 51% dibanding satu bulan sebelumnya.
Dalam jangka pendek akan terbantu dengan kebijakan moneter dan intervensi pasar Bank Indonesia. Kebijakan2 tersebut diharapkan bisa menahan pelemahan rupiah agar tidak jatuh terlalu dalam. Bank Indonesia juga harus mulai mengatur keberadaan devisa hasil ekspor agar bisa ditempatkan di dalam negeri dan dikonversi dalam bentuk rupiah.
Kedepan tentu tidak hanya mengandalkan kebijakan BI semata, mengingat cadangan devisa (cadev) yaang terus menurun. Bank Indonesia mencatat, cadev sebesar US$119,8 miliar pada akhir Juni 2018, turun menjadi US$118,3 miliar pada Juli 2018.
Terjadi penurunan cadev sebesar US$1,5 miliar dalam satu bulan terakhir. Bahkan penurunan tersebut lebih rendah dibandingkan penurunan pada akhir Juni 2018 yang sebesar US$3,1 miliar dari posisi akhir Mei yang sebesar US$122,9 miliar.
Dalam jangka panjang, kita harus mengembalikan neraca perdagangan agar kembali positif. Kita harus akui neraca perdagangan kita terus berfluktuasi. Bahkan kondisi ini telah dialamai dalam beberapa tahun terakhir, semenjak tidak adanya kebijakan industri yang kuat.
Bahkan boleh dikatakan kita mengalami deindustrialisasi. Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain bagi Pemerintah, selain membuat strategi yang akan mengefektifkan menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan menghilangkan defisit neraca perdagangan melalui peningkatan ekspor.
Semenjak lemahnya kebijakan industri nasional, tidak berorientasi kepada ekspor, telah berdampak terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia yang bisa dikatakan lamban. Bahkan 16 paket kebijakan yang sudah dikeluarkan Pemerintah kurang efektif untuk mendorong ekspor.
Pemerintahan sepertinya lebih condong pada kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pembatasan impor. Dikhawatirkan kebijakan yang berorientasi pada pembatasan impor justru akan menimbulkan inefisiensi pasar yang berdampak pada daya saing produk dalam negeri yang rendah.
Kebijakan terakhir Pemerintah juga terlihat akan memperlakukan pembatasan impor. Jika kita memiliki industri dalam negeri yang kuat maka kebijakan ini mungkin akan membantu, tetapi jika tidak didukung oleh industri yang kuat maka dikhawatirkan justru akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Berbeda dengan China yang memiliki industri yang kuat dan murah sehingga siap menghadapi perang dagang (trade war).
Memang tidak mudah, tetapi dalam beberapa waktu kedepan, Pemerintah seharusnya lebih memilih kebijakan yang berorientasi kepada pengembangan ekspor.
Penguatan kebijakan industri, dengan melakukan pembangunan sektor industri dan perdagangan diarahkan pada pengembangan produk yang berorientasi pasar ekspor, sehingga diharapkan akan bisa mengurangi defisit perdagangan, bahkan juga akan memperkuat fundamental ekonomi nasional dimasa yang akan datang.
Kondisi ini jika tidak ditangani secara hati-hati bisa membuat kita tergelincir seperti pada tahun 1998. Saya menghimbau segenap komponen bangsa untuk terus membantu penguatan rupiah sehingga bisa meminimalisir dampak sistemik yang akan ditimbulkannya.
Saya juga menghimbau Pemerintah dan BI bekerja sungguh-sungguh untuk mengatasi pelemahan rupiah ini, agar kita bisa segera keluar dari ancaman krisis yang akan membuat kita makin sulit untuk maju dan berkembang.
Saya juga mengajak seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan pelemahan rupiah ini sebagai komoditas politik belaka sehingga suasana politik kita semakin tidak kondusif, tapi marilah berpikir positif menyalurkan semua energi positif kita untuk bisa keluar dari situasi sulit ini.
Wallahu’alam.
* Penulis adalah Sekretaris Bidang Ekuintek-LH, DPP PKS