Ngelmu.co – Bau kematian, di antara Muslim dan Islamophobia. Terbuat dari apa hidung yang hanya mencium bau kematian menjelang Idul Adha? Padahal kematian itu, selalu ada di dekat kehidupan manusia. Sejak sebelum Idul Qurban, Kashmir, sedang dibombardir. Sudah biasa jatuh korban nyawa di sana.
Oh, mungkin mereka hanya terenyuh bila kematian itu terjadi pada hewan?
Kalau begitu, apakah mereka mencium bau kematian ketika lewat gerobak tukang sayur? Ikan, ayam, atau daging sapi selalu tersedia setiap hari.
Atau pileknya cuma sembuh di bulan Dzulhijjah?
Saya tidak tahu, apakah penyayang hewan itu suka main ke kebun binatang atau tidak. Tapi yang jelas, di sana harimau tidak akan diberi makanan semur jengkol atau terong balado.
Selalu ada bau kematian, demi menghidupi hewan-hewan carnivora.
Apakah penyayang hewan yang menggugat ibadah qurban itu pilih kasih?
Makanan binatang peliharaan seperti kucing dan anjing adalah daging olahan. Apakah mereka tak mencium bau kematian ketika memberi pakan hewan kesayangan?
Main ke alam bebas, lebih sadis lagi.
Singa akan membunuh Heyna, vise versa. Kematian seekor hewan bukan cuma karena alasan ingin dimakan, tak jarang karena persaingan hukum rimba.
Bau kematian, ada di mana-mana dan kapan saja. Jangan sok jadi pahlawan, saat Idul Adha saja.
Dan kalau mereka mengategorikan bakteri itu sebagai hewan, apakah masih mau minum obat batuk?
Jangan jauh-jauh, kalau ada nyamuk menghisap darah mereka, apa gak ditepokin?
Saya pernah lihat sebuah kartun yang lucu. Seseorang melepas burung yang ada dalam sangkar, “Pergilah! Bebaslah!” ujarnya.
Baru beberapa meter burung itu terbang, seekor elang datang memangsanya. Akhirnya? Penyayang hewan itu blunder sendiri. Apa yang ia sangka sikap menyelamatkan, rupanya jalan kematian bagi binatang tersebut.
Artinya, apa yang manusia kira sebagai cara menyayangi hewan, belum tentu itu yang terbaik bagi hewan tersebut.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Pakar Jerman Terkejut dengan Tata Cara Penyembelihan Hewan Qurban Sesuai Syari’at Islam
[/su_box]
Mengapa Harus Melawan Kodrat?
Setiap perilaku dan pemikiran yang mencoba melawan kodrat yang berlaku dalam kehidupan, akan menjadi lucu.
Dari awal keberadaan manusia, hewan sudah menjadi makanan makhluk paling superior di muka bumi. Lalu, kalau itu disalahkan, apakah mereka tidak berpikir bahwa tumbuhan yang mereka makan pun makhluk hidup?
Pohon singkong, jahe, bahkan pohon tauge juga berhak merasakan kehidupan. Pohon kemangi punya hak tumbuh dengan daun-daunnya.
Apakah mentang-mentang manusia tidak bisa melihat ekspresi tanaman, lantas tak bisa dicium bau kematian pada makhluk itu?
Alhamdulillah, Islam berdiri pada argumen yang jelas soal kehidupan.
Pertama, manusia adalah khalifah (ups .. keceplosan) di muka bumi.
Kedua, langit dan bumi serta seisinya, Allah SWT, buat tunduk untuk manusia. Boleh dimanfaatkan. Termasuk hewan.
Tapi kemudian, ketiga, Islam ingatkan bahwa benda-benda (hidup atau mati) selain manusia, pun berdzikir kepada Allah. Binatang, tumbuhan, serta gunung itu hidup dan memuji-Nya.
Karena itu, keempat, Islam ajarkan akhlak untuk manusia. Ada larangan untuk menyakiti hewan.
Maka meskipun harus membunuh agar bisa makan, Islam ajarkan cara membunuh yang terbaik.
Rasa sakit yang dijumpai saat kematian, akan hewan-hewan itu alami juga walaupun tidak disembelih oleh manusia.
Ketika hewan itu tua atau sakit, tak akan bisa mengelak dari pedihnya sakaratul maut. Apalagi saat jadi mangsa binatang buas. Cakaran dan gigitan, pasti sangat menyiksa.
Termasuk menjadi hikmah bagi mereka yang berkurban, yakni merenungi sakaratul maut yang akan dihadapi.
Bau kematian selalu ada di sekitarnya, dan kelak orang-orang akan mencium itu dari dirinya.
Mungkin, penggugat ibadah qurban itu terlalu ekstrovert. Syariat ini hadir untuk memberi peringatan bagi manusia.
Bukannya dijadikan renungan untuk diri sendiri, dan malah memikirkan hewan yang tak akan ada balasan abadi setelah kematian atas perbuatan selama hidup.
Akhirnya, bau kematian memberi kecerdasan bagi Muslim yang mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, dan hanya menjadi tunggangan bodoh bagi para islamophobia.
Sekarang sudah jelas pembahasan antara Muslim dan Islamophobia?
Oleh: Zico Alviandri