Ngelmu.co – Apa benar hanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang jujur soal angka kematian warganya akibat Covid-19?
Setidaknya demikian yang wartawan senior, Ilham Bintang, tulis pada platform media Kumparan, Rabu (28/7) pagi.
Berikut tulisan yang bersangkutan, selengkapnya:
Mari sejenak kita mengheningkan cipta, bagi 86.835+ jiwa saudara kita, para korban virus Covid-19 yang wafat.
Itu angka total meninggal dunia selama pandemi, berdasar data resmi harian Satgas Covid-19, Selasa (27/7).
Jumlah yang wafat hari itu saja, 2.069 jiwa. Rekor kematian baru di Indonesia.
Sedangkan kasus positif baru, sebesar 45.293 [mengalami kenaikan, dibandingkan sehari sebelumnya].
Total Kasus positif selama pandemi di Tanah Air, sebanyak 3.239.936 orang, sedangkan yang sembuh, 2.596.820.
Sengaja saya menulis angka itu, agar kita semua sungguh-sungguh memberi perhatian.
Agar kita semua menaati protokol kesehatan dan petunjuk keselamatan dari pemerintah.
Jangan ada lagi pihak ‘mengecilkan’ kematian itu dengan membandingkan korban di negara lain, terutama di Amerika Serikat.
Sikap itu lebih mengimpresikan tipisnya empati terhadap korban dan keluarga yang ditinggal.
Kenapa tidak mengambil sikap positif bangsa Amerika, yang sering kita kutip sendiri–satu nyawa pun yang melayang, negara adalah pertaruhannya–sebagai pembanding?
Dalam konteks itu, kita sering kecil hati pada pernyataan sebagian pejabat yang malah menyalahkan rakyat.
Rakyat dianggap pemicu meroketnya kembali penularan virus di Tanah Air.
Ya, ampun.
Bagaimana bisa rakyat yang papa [sengsara], tak berdaya, tak punya kuasa, dimangsa virus, harus dipikulkan kesalahan itu di pundaknya.
Benar, yang tertangkap mata tampak di permukaan, di setiap peristiwa kerumunan, yang frontal berhadapan aparat di tempat-tempat penyekatan, yang berhadapan dengan tindakan keras petugas, karena bandel masih membuka warung, toko, lapak.
Padahal, itu dilarang di masa PPKM Darurat maupun PPKM Level 4.
Kenapa kita gagal paham pada, ‘mengapa itu terjadi’. Padahal, beragam kejadian cuma dilatarbelakangi satu hal.
Mereka keluar rumah, cari nafkah, karena di rumah, keluarga perlu makan.
Mereka kelaparan, mungkin juga sedang sakit, tapi tak ada obat.
Rakyat yang terpaksa berjualan, buka toko, karena pasti tidak tega melihat anak istrinya lemas kurang asupan nutrisi.
Kita mendukung langkah pemerintah membuat kebijakan lockdown atau apa pun namanya.
Intinya toh satu: membatasi kegiatannya.
Dalam bahasa UU, karantina wilayah, secara hukum, dasar pemerintah berlakukan itu kuat.
Pasal 14 Ayat (1) UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, memang mengamanatkan:
“Dalam keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, pemerintah pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di Pintu Masuk.”
Adapun kewajiban pemerintah, diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) UU tersebut.
“Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak yang berada di wilayah karantina, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.”
Sudah berpuluh kali, kita mengutarakan itu. Beri rakyat haknya, supaya mau tinggal di rumah, mau bekerja dari rumah.
Sejak tahun lalu, di awal-awal pandemi, ketika jumlah yang terpapar belum seberapa, sudah mengingatkan itu.
Ibarat bocor di atap rumah, masih keburu kita menambal, sebelum turun hujan lebat.
Tapi apa respons pemerintah? Bikin sakit hati. Lihat saja jejak digitalnya.
Boleh dibilang, menteri-menteri se-kabinet, menyepelekan virus Covid-19 itu.
Termasuk Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin, dan Presiden Jokowi sendiri.
Setelah kita terluka oleh sikap tersebut, sebagian pejabat–menteri-menteri ekonomi dan politik–itu pula yang menjadi komando penanganan Covid-19.