Ngelmu.co – Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat (AS), yakni R William Liddle, bilang:
“Bahaya yang dihadapi demokrasi Indonesia, kini begitu nyata, dan solusinya juga begitu terang.”
Mengapa demikian?
Pengamat politik itu menilai, tidak tersangkal lagi, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi), tengah menggalang kekuatan politik.
“Agar sidang MPR diselenggarakan, dan konstitusi di-amendemen, demi perpanjangan masa jabatannya.”
Baca Juga:
Mengapa kesimpulan William, mengenai hal ini, begitu pasti?
Menurutnya, perencanaan presiden mulai terungkap akhir Februari 2022.
Tepatnya ketika Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, bicara.
Begitu juga dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas).
Ketiganya mengusulkan penundaan Pemilu serta Pilpres 2024, agar kekuasaan Presiden Jokowi, dapat diperpanjang.
Menurut CNN Indonesia, ada tokoh pemerintah yang menghubungi pemimpin-pemimpin partai, dengan permintaan tersebut.
Siapa? Ia adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Bagaimana dengan Jokowi? Di saat wawancara bersama Kompas Tv pada 5 Maret 2022, Jokowi sendiri mengaku:
“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan dan perpanjangan [masa jabatan presiden].”
Maka menurut William, lewat pernyataan itu, sama saja Jokowi, setuju dengan usaha Menko Luhut, para menteri, dan pemimpin-pemimpin partai.
Pihak yang begitu ingin mengubah konstitusi, demi perpanjangan masa jabatannya.
“Setelah itu, hampir setiap hari, ada pernyataan dari Luhut, menteri lain, atau Jokowi sendiri, yang memperkuat kesimpulan itu.”
Simak pernyataan William, selengkapnya, berikut ini:
Bagaimana seharusnya kita menanggapi kenyataan baru yang amat mencolok mata ini?
Kalau boleh saya mengusulkan, sebaiknya, kita kembali kepada kearifan atau hikmah Presiden BJ Habibie (BJH).
Presiden demokratis pertama dalam era Reformasi.
Mengapa saya menyebutnya demokratis?
Beliau adalah presiden pertama dalam sejarah Indonesia merdeka, yang menyerahkan nasib politiknya kepada suara rakyat.
Setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR; hasil pemilu demokratis 1999.
Ia langsung menarik kembali pencalonannya untuk masa jabatan 1999-2004.
Penarikan kembali itu dilakukan dengan penuh kesadaran, atas posisi historisnya.
Pada 7 September 1998, baru beberapa bulan setelah disumpah selaku Presiden ke-3 RI, ia diwawancarai oleh Forum Keadilan (FK).
FK adalah majalah dua pekanan, yang peliputan politiknya, salah satu yang paling tepercaya waktu itu.
Judulnya, ‘Presiden Republik Indonesia BJ Habibie: Saya Tak Ingin Berakhir dengan Tragedi’.
Beberapa Petikan
Berikut adalah beberapa petikan dari wawancara kala itu:
FK: Apakah dalam kondisi perekonomian begini, kita mampu mengejar cita-cita masyarakat madani?
[Visi religious civil society Habibie, yang mengandung nilai ‘moral dan spiritual dari agama apa pun’, selain kesejahteraan dan demokrasi].
BJH: Saya percaya bangsa kita mampu… Sekarang tinggal membuat sistemnya, yaitu sistem perundang-undangan, peraturan, mekanisme, dan sistem pendidikan.
FK: Tetapi ‘kan untuk mencapai semua itu, harus ada stabilitas dulu?
BJH: Stabilitas terjadi dengan sendirinya, jika sudah ada transparansi, demokrasi, dan kesejahteraan.
Dalam hal ini, pendekatan saya adalah bottom-up [dari bawah ke atas], bukan top-down.
Kalau masyarakat madani sudah terjadi, akan lahir stabilitas yang mandiri, abadi, dan tidak bergantung pada per orang-an.
Orang-orang selalu mengatakan, Habibie adalah presiden yang sangat lemah. Begitu toh?
Kalau saya dibandingkan dengan presiden pertama dan kedua, yang sama-sama menganut pendekatan keamanan, top-down, ya, jelas, dong, saya tampak lemah.
Tetapi dalam top-down, yang terjadi adalah sistem komando. Semua berdasarkan perintah dari atas.
“Tok! Kalau enggak, saya tangkap, lo.”
Memang, dengan cara itu, seorang pemimpin kelihatan kuat, tetapi sebenarnya, orang yang bertindak begitu adalah lemah.
Ia terlihat kuat, tapi itu semu. Oleh sebab itu, pemerintah yang top-down, yang terlihat kuat itu, selalu berakhir dengan tragedi.
Awalnya ia kelihatan kuat, tapi begitu ia tidak mampu lagi menahan semuanya, maka serentak, ‘prak!’, ia jatuh.
Kita sudah dua kali mengalami tragedi.
Peralihan dari presiden pertama ke presiden kedua, terjadi tragedi.
Begitu juga dari presiden kedua ke presiden ketiga, tapi saya, tidak ingin era saya, berakhir dengan tragedi.
FK: Caranya?
BJH: Saya memulai era saya dengan era Kebangkitan Demokrasi. Saya ingin mengawalinya dengan era kristalisasi masyarakat madani.
Nah, katakanlah SU MPR pada Desember 1999. Saat itu, bagi saya hanya dua option, dua pilihan.
Pertama, saya tidak terpilih lagi. Berarti era saya berakhir.
Option kedua, saya diminta dengan hormat untuk meneruskan kepemimpinan satu periode lagi.
Berarti itu adalah masa jabatan saya yang terakhir. Setelah itu, saya tidak bisa dipilih lagi.
Sebab, saya akan memperjuangkan dan mengeluarkan ketentuan yang akan kita jadikan ketetapan MPR.
Bahwa, tiap presiden dan wakilnya, hanya boleh dua masa jabatan.
FK: Anda setuju ada pembatasan begitu?
BJH: Iya, arah kita ke situ… Bagi saya, itu adalah awal dari suatu tradisi peralihan kekuasaan yang tidak tragis. Mengerti, toh?
Tetapi kalau pada Desember 1999, rakyat menghendaki saya maju lagi, berarti itu adalah periode kedua, sekaligus terakhir bagi saya.
Dengan kepastian masa jabatan presiden, kalau era saya berakhir, ‘kan enggak ada ribut-ribut lagi.
Buat apa kita ribut-ribut ganti presiden?
Bahaya bagi Demokrasi
Akhirulkalam, kiranya sulit menambahkan apa pun kepada tindakan serta wejangan Presiden Habibie; yang hampir seperempat abad lalu.
Bahaya yang dihadapi demokrasi Indonesia, kini begitu nyata, dan solusinya juga begitu terang.
Kepastian dua masa jabatan presiden dan pengadaan pemilihan nasional setiap lima tahun, perlu dipertahankan!