Ngelmu.co – Berbagai kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI), terekam jelas dalam benak para pelaku sejarah.
Bagaimana gejolak pemberontakan pada 1948, di Madiun, Jawa Timur, sebenarnya telah terindikasi nyata, sejak awal.
Kesaksian KH Khoirun
Kala itu, pemerintah kabupaten, berupaya meredam pemberontakan dengan mengumpulkan tokoh masyarakat, kiai, hingga kader PKI di Pendopo Madiun.
Namun, upaya tersebut justru menjadi titik awal perang saudara, antara PKI dan masyarakat.
Bahkan, para tokoh masyarakat, kiai, dan pejabat yang terlibat agenda perdamaian tersebut, tak sampai menginjakkan kaki mereka di pendopo.
“Diculik dan diangkut menggunakan berbagai kendaraan oleh PKI.”
“Mereka dibawa ke berbagai tujuan secara berpencar, dan hingga kini, tidak pernah diketahui keberadaannya.”
Demikian penuturan KH Khoirun [yang berusia 93 tahun, saat ditemui di kediamannya, Desan Doho, RT17/03, Dolopo, Madiun, Jatim], Selasa (17/5/2016) siang.
Ia mengaku, ayah kandungnya juga merupakan salah satu korban pembunuhan massal oleh PKI, di tahun 1948.
Liciknya, sebelum mengeksekusi dengan kejam, PKI menjebak serta mengelabui tokoh masyarakat, kiai, hingga pejabat.
Tangisan masyarakat itu sudah ada tiga bulan, tiga bulan lebih, Madiun itu silem [sunyi], tidak ada [aktivitas] apa-apanya.
Karena kebanyakan, di mana-mana, ada bangkai [diduga dibunuh oleh Partai Komunis Indonesia]. Di mana-mana ada bangkai, entah bangkai siapa itu, saya tidak tahu [identitasnya].
Terus ada lagi, pondok [pesantren] yang dimusnahkan [oleh PKI], 16 orang dibantai semua.
Permulaannya PKI, sudah bergerak [memberontak], tapi masih baru permulaan. Terus ada gejolak-gejolak, diadakan perdamaian.
[Awalnya] Pertemuan tokoh-tokoh agama, disatukan [PKI] untuk melawan [pemerintah NKRI] ini.
Namun, sampai datang langsung, diajak [dibawa PKI], baru datang di [kantor] Kabupaten [Madiun].
Ada yang ditumpangkan di bus, truk, ke sana ke mari. Itu termasuk bapak saya. Dibawa ke Kresekan [Madiun] itu [untuk dibantai]. Banyak itu [sekarang menjadi Monumen Kresek].
Baca Juga:
PKI juga makin berani menebar teror, dengan memasang pamflet target pembunuhan, di tiap-tiap gardu pun pos keamanan.
Nama Kiai Khoirun, menjadi salah satu target pembunuhan.
Propaganda PKI demi menghancurkan umat Islam, terus berjalan. Mereka menciptakan kampanye antikiai.
Mereka juga menggambarkan ulama sebagai tikus yang harus dibasmi.
Ilustrasi tersebut tertulis secara nyata dalam pamflet yang terpasang di berbagai titik keramaian.
Mendapati kondisi bangsa yang terancam komunis, naluri Kiai Khoirun yang saat itu masih muda pun bergolak.
Terlebih setelah santri Pondok Pesantren Tegal Sari Ponorogo itu mengetahui PKI, membantai 16 santri lain.
Bukan hanya di Madiun, Kiai Khoirun juga melanglang buana ke berbagai wilayah di Jawa Timur.
Tujuannya satu, mencari dan ‘membalas’ anggota PKI.
Meski karena itu ia juga harus melalui pengalaman terburuk, yakni saat berperang di wilayah Banyuwangi.
Kiai Khoirun, mendapati 43 warga Nahdatul Ulama (NU), diracun, dibantai, bahkan dimutilasi secara bersamaan.
Upayanya mencari serta mengejar PKI pembunuh rekan-rekannya, harus dibayar mahal.
Dalam perjalanan, Kiai Khoirun dan kesembilan rekannya, terjerat jebakan milik anggota PKI.
Mereka tidak punya pilihan, selain melawan, dan terlibat aksi saling tumpas dengan anggota PKI.
Sayangnya, rombongan Kiai Khoirun, kalah jumlah, sehingga perlawanan mereka pun terhenti.
Tertawan, disiksa, dan dibakar dalam tungku [berbahan kulit gabah] yang terus-menerus menyala.
Setelah dibakar, tubuh mereka diseret ke tempat yang jauh. Sepanjang jalan, siksaan anggota PKI tak berhenti.
Kondisi rombongan Kiai Khoirun, sudah sangat lemah. Kulit mereka terkelupas.
Namun, PKI malah memasukkan ke-10 pejuang tersebut ke dalam lubang sedalam 12 meter [yang memang telah mereka siapkan].
Saat itu, Kiai Khoirun merasa tidak lagi memiliki harapan hidup.
Dengan kesadaran yang tersisa, ia melihat bagaimana PKI menembaki mereka dari atas.
PKI yang tak puas memamerkan kebengisan mereka, juga melemparkan batu-batu berukuran besar ke dalam lubang.
Berupaya Mencari Pertolongan
Kiai Khoirun, antara hidup dan mati, merasa seperti sedang berjalan di sebuah jalan besar.
Tiba-tiba, kilatan petir menyambar tubuhnya, hingga membuat kesadarannya pulih.
Kiai Khoirun tersadar, sekaligus tidak percaya dengan peristiwa yang telah menimpanya.
Dengan berbagai luka bakar di sekujur tubuh, Kiai Khoirun, tersandar lemah di pohon pisang.
Pohon yang tertanam di atas lubang, tempat ia dan sembilan rekannya dikubur hidup-hidup.
Dengan tubuh lemah tanpa busana, Kiai Khoirun masih harus berupaya merangkak. Sejengkal demi sejengkal. Mencari pertolongan.
Malam pun tiba. Kiai Khoirun memilih melewati jalur tepian sungai. Ia terus berusaha menyelamatkan diri.
Selama matahari terbit–hingga petang–ia memilih berdiam, demi sembunyi dari orang yang tak ia kenal.
Syukurnya, Kiai Khoirun berhasil mendapat pertolongan. Seseorang mengantarkannya ke rumah sakit setempat, hingga mendapat perawatan.
Kebiadaban PKI saat itu, tuturnya, seolah sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Meski berulang kali tertangkap gerombolan PKI, pejuang muda itu tak menyerah.
Di sisi lain, Kiai Khoirun juga menjadi saksi terbunuhnya Muso, di tahun 1948.
Beramai-ramai, warga membunuh pimpinan PKI itu di Desa Ngumpul, Balong, Ponorogo, Jawa Timur.
Mereka yang melakukan pengejaran dari wilayah Trenggalek, berhasil menangkap Muso, menghabisinya, dan membawa kepala pria itu ke Alun-alun Ponorogo.
Namun, bukan berarti upaya penyerangan PKI terhadap Kiai Khoirun, selesai. Ia masih harus terus ‘berlari’.
Itu mengapa, indikasi bangkitnya kembali PKI di Indonesia, membuat Kiai Khoirun, prihatin.
Masih dalam wawancara yang sama, ia berharap, TNI [sebagai mitra perlawanan menumpas PKI] mampu menjamin keamanan para kiai.
Pasalnya, dalam tiap gerakan pemberontakan, kiai dan santri selalu menjadi target nomor satu PKI.
Kesaksian KH Ma’ruf Nawawi
Bagi bangsa Indonesia, terutama masyarakat Madiun, tahun 1948, memang menjadi masa suram.
Wilayah di Jawa Timur ini menjadi basis gerakan pemberontak PKI.
KH Ma’ruf Nawawi [yang berusia 84 tahun, saat ditemui di kediamannya, di Sewulan, Dagangan, Kabupaten Madiun, Selasa (17/5/2016) malam], pun mengungkap kisah.
Sebelum 1948, ujarnya, banyak kader PKI yang menyusup ke berbagai pondok pesantren.
Dalam aktivitas penyamaran sebagai santri, mereka mempelajari, hingga mencuri berbagai informasi.
Pada saat pengurus pondok pesantren lengah, PKI pun mulai melancarkan strategi penyerangan.
PKI, memanfaatkan para santri yang dibekali ilmu kedigdayaan, untuk mengundang sang kiai.
Menularkan ilmunya kepada kelompok binaan PKI, dengan alasan, jumlah pemuda yang ingin belajar, terlalu banyak jika ditampung di pondok pesantren.
Biadabnya, ketika kiai bersedia mendatangi kelompok pemuda rekayasa PKI, keberadaannya justru tak lagi pernah diketahui.
Peristiwa berlanjut dengan pembakaran bedug masjid di daerah Pandansari. Menandai peringatan dini pemberontakan PKI di Madiun.
‘Mencekoki’ Anak-anak
Saking liciknya, PKI bahkan menanamkan doktrin, sejak generasi Indonesia masih berusia anak-anak.
“Anak TK diajarkan ajaran ateis, tidak percaya Tuhan,” kata Kiai Ma’ruf.
Para guru yang juga kader PKI itu memerintahkan anak-anak itu untuk meminta permen kepada Allah.
Ketika mereka tak diberi permen, PKI bertanya kepada anak-anak tersebut, “Allah tidak ada ‘kan?”
Mereka pun menanamkan pemahaman tentang ‘ketidakberadaan’ Tuhan, yang sekaligus menjadi ‘senjata’ penyebaran paham ateis.
Kiai Ma’ruf mengaku, pernah menuturkan keprihatinannya kepada Pemerintah RI kala itu.
Ia bahkan heran, mengapa pemerintah membiarkan paham komunis leluasa berkembang, di berbagai level pendidikan.
Padahal, dasar negara kita jelas, Pancasila. “Ketuhanan yang Maha Esa, tapi kok yang begitu dibiarkan?”
Apalagi pembunuhan oleh PKI, selalu kejam. Baik terhadap anggota polisi, hingga warga sipil.
Mereka dihabisi dengan sadis, di depan istri dan anak-anaknya.
Itu juga mengapa Kiai Ma’ruf, menaruh apresiasi tinggi kepada ABRI [kini TNI], lantaran menjadi satu-satunya aparat yang membela.
Hadir nyata bersama rakyat, menumpas pemberontak PKI.
Di awal 1948, Kiai Ma’ruf [yang masih memiliki hubungan darah dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)], masuk daftar nama santri [atau pemuda NU] yang menjadi target PKI. Syukurnya, ia berhasil lolos.
Kesaksian KH Muhayat
Lebih lanjut, KH Muhayat yang juga menjadi saksi sejarah pemberontakan PKI, buka suara.
Menurutnya, PKI mengawali kampanye merebut simpati masyarakat, dengan menghadirkan banyak tontonan.
Seperti pagelaran wayang kulit, pun ketoprak. Itu menjadi media andalan PKI, agar masyarakat senang, dan mudah diajak bergabung.
Kawasan Caruban, menjadi wilayah awal PKI, aktif mengincar kiai dan santri, sebagai target utama.
Suatu ketika, gerombolan mereka menjemput paksa seorang kiai setempat, sementara iring-iringannya, mendatangi rumah sang kiai.
Panjang gerombolan tersebut bahkan mencapai 1 kilometer.
“Kami merasa berutang budi kepada Pasukan Siliwangi, yang berhasil menumpas dan meredam perluasan pengaruh PKI di wilayah Madiun.”
Demikian penuturan Kiai Muhayat, di kediamannya, Dukuh Banjar, Kedungrejo, Pilangkenceng, Kabupaten Madiun.
Sedangkan saksi sejarah lainnya, yakni Khoimun (95), juga mengaku ingat betul.
Bagaimana gerombolan PKI, menyerang dan membunuh puluhan warga Desa Kresek, Madiun.
Biadab. Mereka membawa 22 orang tawanan ke rumah milik Sumo Radjimin, setelah mengusir paksa seluruh penghuni rumah.
Ribuan warga pun meninggalkan rumah mereka, dan menjauh dari lokasi yang telah dikuasai PKI.
Desa yang kemudian menjadi wilayah tak berpenghuni, karena PKI membakar tiap kendaraan milik warga yang mereka lihat.
“Ada sekitar 50 mobil yang dibakar, di sepanjang jalan yang mereka lalui menuju lokasi penyekapan tawanan.”
Demikian beber Khoimun, di kediamannya, Dusun Ngandong, Kresek, Wungu, Kabupaten Madiun.
Tak berselang lama, suara senjata terus terdengar. Sebanyak 22 warga tak berdosa pun tewas.
Di lokasi yang kini dikenang sebagai Monumen Kresek, di perbukitan Madiun bagian timur.
Pemberontakan PKI belum usai. Masih berlanjut di 1965. Satu rangkaian. Di mana agenda, strategi, dan pelakunya, sama. Rapi dan terencana.
Peristiwa yang kemudian menjadi persoalan sampai hari ini.
Pasalnya, banyak pihak yang awalnya hanya melakukan pengamatan, kemudian justru menjadi pembela PKI.
Mereka bahkan menuduh TNI dan ulama, melakukan pembantaian secara sepihak terhadap PKI.
Upaya Menyelamatkan Sejarah
Itu mengapa, Letnan Kolonel Infantri Rachman Fikri, Dandim 0803 Madiun, berupaya mengabdi, menyelamatkan sejarah.
Pihaknya mewawancara tokoh masyarakat hingga ulama, yang pernyataan juga telah Ngelmu bahas di atas.
Sederet nama yang tak lain merupakan pelaku sejarah langsung terjadinya pemberontakan PKI 1948 dan 1965 di Madiun.
Kami berharap, melalui kesaksian, melalui pernyataan para pelaku sejarah yang langsung melihat peristiwa tersebut, bisa digunakan sebagai bahan wawasan kebangsaan.
Khususnya bagi generasi muda kita. Sehingga mereka mengerti, mereka paham
Bahwa pemberontakan itu betul-betul terjadi di Madiun.
Dengan demikian, kami berharap, mereka akan tampil paling depan.
Sebagai generasi yang membentengi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan berbagai upaya pihak-pihak, berbagai upaya komunisme untuk bangkit kembali di Indonesia, dan memutarbalikkan fakta, bahwa mereka adalah korban, bukan pelaku pemberontakan, jangan sampai ini terjadi.
Kami menitipkan kepada generasi muda.
Bahwa sejarah yang sudah demikian banyak memakan korban, jangan sampai terulang. Di mana pun, di bumi Indonesia ini.