Berita  

Bicaral soal Tapera, Ekonom: Hampir Enggak Ada Positifnya

Tapera Enggak Ada Positifnya

Ngelmu.co – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin S Damanhuri, mengkritisi peliknya persoalan yang akan terjadi, jika program tabungan perumahan rakyat (Tapera), diberlakukan.

Ia menyarankan agar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengkaji ulang untuk memberlakukannya.

Terutama mengenai kewajiban bagi pekerja swasta dan mandiri.

Didin juga menyinggung banyaknya penolakan terhadap program Tapera dari berbagai pihak. Baik dari serikat pekerja, maupun perusahaan.

Menurutnya, program ini akan memberi dampak yang lebih banyak mudaratnya; daripada manfaatnya.

“[Program Tapera ini] hampir enggak ada nilai positifnya, karena perumahan sudah ada skemanya di BPJS untuk karyawan swasta yang ingin punya rumah.”

“Ngapain pula harus ada ini? Jadi double atau ganda,” kata Didin, Kamis (6/6/2024).

Menurutnya, program Tapera juga hanya akan menjadi beban.

Terlebih bagi para pekerja swasta menengah, atau buruh yang sudah dibebani banyak potongan atas pendapatan mereka.

Belum lagi di tengah daya beli masyarakat yang merosot, dengan harga kebutuhan pokok yang kian melambung.

Beban juga akan dirasakan bagi perusahaan, karena sudah cukup banyak dikenai pemotongan.

“Ini sangat kontraproduktif untuk tujuan pertumbuhan ekonomi Pak Jokowi, yang ingin di atas 5,3 persen.”

“Jadi ini memukul balik tujuan pemerintah sendiri. Pasti akan terpukul.”

“Karena pengusaha dan buruh, salah satu faktor yang menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi.”

“Apalagi kalau lebih jauh, ini akan mempertajam ketimpangan yang sudah sangat buruk,” jelas Didin.

Program Tapera, lebih banyak negatifnya

Lebih lanjut, Didin juga menyuarakan kekhawatiran masyarakat akan ketidakjelasan arah dari dana Tapera.

Mengingat sengkarut Tabungan Perumahan (Taperum)-PNS yang sebelumnya, gagal.

Apalagi, dalam program Tapera, tiba-tiba tidak hanya PNS, TNI, dan Polri, tetapi juga melibatkan pegawai swasta dan mandiri [freelance].

Hal itu justru menjadi semacam pemerasan terhadap pendapatan masyarakat.

Menurut Didin, pemerintah bukan tidak mengerti soal permasalahan tersebut.

Alih-alih ingin mengatasi masalah backlog, justru Didin, menduga ada tujuan di balik Tapera.

Ia menilai, ambisi Jokowi untuk melancarkan program-program megaproyek yang saat ini mengalami kesulitan keuangan; seperti proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

Berdasarkan perhitungannya, jika dijalankan, dana Tapera bisa mencapai hingga Rp70 triliun per tahun.

Dengan perkiraan mewajibkan sebanyak 3,8 juta karyawan atau buruh swasta, sebagai peserta.

Baca juga:

Maka Didin, menekankan, agar Jokowi, tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat.

Ia meminta supaya Jokowi juga memperhatikan nasib masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan.

Terlebih di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, serta biaya hidup yang makin mahal.

“Jadi, menurut saya, pemerintah Jokowi, lebih baik berpikir ulang. [Program Tapera ini] ebih banyak negatifnya lah.”

“Hampir semuanya negatif. Lakukan redesign,” tutup Didin.

Tidak menyelesaikan masalah backlog perumahan

Pengamat Properti Anton Sitorus juga mengkritisi kebijakan Tapera yang saat ini menimbulkan polemik.

Menurut hematnya, masalah perumahan bukan sekadar persoalan pembiayaan, tapi lebih luas daripada itu.

Sehingga program tersebut disinyalir, bukan solusi bagi masyarakat untuk memiliki rumah.

“Kalau ada yang bilang bahwa ini masalah backlog, ya, enggak lah.”

“Untuk mengatasi masalah backlog, masalah perumahan, perlu berbagai macam cara dari pemerintah juga swasta.”

“Dari aspek properti, aspek pembiayaan, aspek legalitas, juga rancangan kota,” kata Anton, Kamis (6/6/2024).

Angka backlog [kesenjangan ketersediaan] sendiri, hingga akhir 2023, mencapai 9,9 juta; berdasarkan data Kementerian PUPR.

Hal itu terjadi karena tidak seimbangnya suplai dan demand, yang mana permintaan rumah melebihi ketersediaan.

Tujuan Tapera sendiri diklaim untuk mengatasi backlog perumahan.

“Program-program mengatasi backlog itu banyak. Ini [Tapera] ‘kan cuma aspek financing.”

“Belum kita bicara perencanaan kotanya, belum bicara ketersediaan lahannya,” tutur Anton.

Menurutnya, spirit gotong royong yang digadang-gadang tengah dibangun oleh Badan Pengelola (BP) Tapera melalui program Tapera ini, menjadi tidak jelas.

Terutama, karena program itu turut mewajibkan pekerja swasta dan pekerja mandiri [freelance].

Alih-alih memenuhi kebutuhan papan, hal itu justru dianggap memberatkan masyarakat.

“Ngomong soal gotong royong, ya, terserah. Kalau diwajibkan bagi ASN, TNI, Polri, ya, silakan.”

“Ya, mbok, jangan libatkan swasta sama pekerja mandirinya,” tegas Anton.

Tidak semua orang mau punya rumah

Anton juga mempertanyakan soal kewajiban bagi karyawan swasta dan freelance untuk menjadi peserta Tapera.

Menurutnya, pemerintah semestinya tidak mewajibkan kalangan tersebut untuk berpartisipasi dalam program yang berpolemik ini.

“Pekerja swasta sama pekerja mandiri, enggak boleh diwajibkan. Kalau pegawai negeri, TNI, Polri, BUMN, BUMD, terserahlah.”

“Karena yang memberi pekerjaan kepada mereka ‘kan negara. Kalau negara bikin aturan, ya, silakan saja.”

“Tapi kalau pekerja swasta dan pekerja mandiri ‘kan yang menggaji bukan negara.”

“Jadi, logikanya di mana, mereka harus diwajibkan?” kata Anton.

Ia juga menilai, jika program Tapera, hanya diberlakukan untuk para ASN, TNI/ Polri, polemiknya tidak akan seluas saat ini.

Menurut Anton, tidak semua masyarakat ingin punya rumah.

Ada yang memilih untuk tinggal dengan cara sewa atau mengontrak, ada juga yang memilih tinggal bersama orang tua, dan piliihan lainnya.

Sehingga kebutuhan akan rumah, tidak bisa disamakan dengan kebutuhan akan kesehatan, sebagaimana diterapkan di BPJS.

“Enggak bisa disamakan dengan kesehatan, kalau kesehatan, orang sakit, mau orang kaya maupun orang miskin, ya, memang butuh disembuhkan, dan butuh biaya buat berobat.”

“Begitu juga dengan BPJS Ketenagakerjaan, orang kerja, sewaktu-waktu ‘kan berhenti, sewaktu-waktu pensiun, sewaktu-waktu bisa kena PHK.”

“Mereka butuh yang namanya jaminan untuk hidup. Kalau rumah ‘kan bukan kebutuhan seperti itu. Jadi, enggak bisa disamakan.”

Anton juga menambahkan, tidak ada alasan yang jelas, kenapa pekerja swasta dan pekerja mandiri, diwajibkan.

Mengingat, sebelumnya, pada Bapertarum-PNS ataupun FLPP, hanya PNS, Polri, dan TNI yang wajib.

Alias tidak melibatkan karyawan dan perusahaan swasta, serta pekerja mandiri.