Ngelmu.co – Blame the others atau menyalahkan pihak lain adalah cara paling mudah lari dari masalah. Cara paling umum sebagai mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), sebuah trik primitif yang masih eksis (Lamers, 2012).
Dalam dunia manajemen, blame the others phenomenon, sering jadi bahasan menarik.
Menarik, karena itu masalah yang paling sering terjadi. Biasanya bawahan yang akan jadi korban.
Dalam dunia politik, blame the others adalah primadona, politisi mencari simpati publik.
Sebab dalam politik, ada pameo untuk meluaskan pengaruh atau popularitas politisi, cara paling ampuh adalah salahkan pihak lain (Weaver, 2008).
Politisi akan meraih keuntungan banyak dengan strategi ini, yaitu menciptakan simpati dengan common enemy bagi konstituennya.
Di Indonesia, entah mengapa, beberapa tahun terakhir ini, blame the others plus (saya tambahkan; plus-nya dengan marah-marah atau maki-maki diliput media), tampaknya jadi tren bagi politisi.
Baik yang incumbent maupun yang sedang incar posisi.
Anehnya, statregi seperti ini menarik simpati sebagian pemilihnya, yang bahkan menjadi fans atau pemujanya (whorsip).
Padahal, selama ini kita paham, orang Indonesia lebih menyukai pemimpin atau politisi kalem.
Seingat saya, sejak zaman Soeharto sampai Jokowi, kekaleman menjadi daya tarik sendiri.
Jarang atau tak ada marah-marah depan umum, paling banter, ungkapan seperti ‘gitu aja kok repot’, ‘saya prihatin’, atau yang terkini ‘saya kaget’.
Bahkan, saat 2014, salah satu tim sukses capres, sangat menjual karakter kalem jagoannya, untuk jadi antitesa lawannya.
Lalu, mengapa sekarang tren jadi berubah?
Blame the others plus, kini banyak menjadi strategi meraih perhatian media dan simpatisan.
Mungkin salah satunya karena era media online dan media sosial, makin mendominasi.
Baca Juga: Jawaban Warganet soal Pernyataan Dasco, “Negara Tak Mungkin Terus Biayai Rakyat”
Ada sebuah simbiosis mutualisme tak tertulis, antara politisi yang butuh simpati, dengan media online yang haus akan berita kontroversi, yang konon lebih banyak di-klik dibandingkan berita ‘biasa’.
Maka jadilah istilah ‘media darling’. Ingat, jumlah klik akan menaikkan rating, yang pada akhirnya akan menarik iklan komersial.
Politisi kalem yang sebenarnya lebih taktis, kini bisa jadi kalah liputan, dibandingkan dengan yang hobi marah-marah, menyalahkan orang lain (blame the others plus).
Melihat fenomena ini, seperti ada yang kontradiktif dengan budaya-kearifan luhur khas Indonesia, yang terkenal menyukai keramahan.
Menjunjung kesantunan dan menghindari konflik di depan umum, secara ekstrim.
Akan jauh lagi, jika kita benchmark dengan konsep akhlak Nabi.
Tapi inilah kontestasi politik kini. Kita punya pilihan, dan pilihan itu ada dalam objektivitas atau subjektivitas kita.
Mau yang model blame the others plus, yang marah-marah di media-medsos?
Atau model politisi standar, yang santun, tetapi cerdas dan taktis?
Oleh: Psikolog, Hilmy Wahdi