Brrmmm… Brrmmm…
Motor sport berwarna hitam meraung, meliuk-liuk di sela mobil-mobil mewah di atas jalanan yang padat merayap. Pengendaranya seperti sedang tergesa. Berjaket hitam, helm hitam, dan sepatu pantofel hitam, ia mengarah ke sebuah pasar.
Di jok belakang motor, terikat tiga tatakan telur beserta isinya. Membawa benda yang rawan pecah, si pengendara tak mengurangi kecepatannya untuk berhati-hati. Apa yang ia kejar?
Tepat di depan sebuah bangunan pasar inpres, motor itu berhenti. Si pengemudi menebar pandangan kesana kemari. Setelah ditemukan objek yang ia cari, bergegas telur-telur itu ia bawa tanpa menanggalkan helm full face di kepalanya.
“Bu.. Bu… Maaf, ini ibu Ros bukan?” sapanya kepada seorang wanita paruh baya.
Yang dipanggil menoleh. “Benar. Ini siapa?”
“Saya membaca keluhan ibu soal kenaikan drastis harga telur di media sosial. Ini saya bawakan beberapa telur buat ibu untuk bahan membuat kue pesanan.”
Wanita itu kaget. Benar, di tengah belanja tadi ia sempat menulis status di facebook. “Wuaduh.. Harga telur hari ini naiknya tinggi bener. Uangku gak cukup buat bikin kue pesenan bu Marni. Gimana ini?” Lokasi pasar Inpres ikut ditag dalam status tersebut.
“Oh. Terima kasih. Saya senang sekali. Tapi bapak siapa?” tanya wanita itu.
“Tidak penting siapa saya bu. Yang penting ibu bisa bekerja lagi.”
“Gak ah… Kalau gak jelas dari siapa, aku gak mau.”
Akhirnya, terpaksa lah pria dalam balutan serba hitam itu membuka sedikit kaca helmnya.
“Hah?” Wanita itu terbelalak tak percaya. Mulutnya menganga. “Seperti… Bapak Umar? Apa benar ini Pak Umar?”
“Benar bu. Ini mohon terima telurnya. Saya masih banyak tugas. Sudah, jangan heboh..! Saya tidak mau orang lain tahu kalau saya ada di sini.”
Telur diserahkan. Pria itu kembali ke motornya. Meninggalkan bu Ros yang masih berdiri terpaku.
*****
Brrmm… Brrmm….
Motor dipacu menyelinap di antara mobil-mobil yang terjebak kemacetan. Pengemudianya berfikir, rupanya tak mudah mengatasi macet dan banjir di ibu kota meski kini ia telah menjadi presiden.
Ia bernama Umar. Tadi di dalam mobil kepresidenan, di tengah iring-iringan, ia sempatkan mencuri dengar apa keluhan rakyatnya melalui media sosial. Secara acak, sampai lah jeritan ibu Ros tadi di gawainya. Maka ia pun memerintahkan agar iring-iringan menepi. Entah bagaimana caranya, sebuah motor dengan mudah ia dapat untuk ia gunakan menemui wanita yang dalam tanggung jawabnya.
Ia terbiasa bulusukan begitu. Dalam balutan serba hitam. Tanpa diketahui orang. Bukan untuk pencitraan. Tapi untuk menunaikan tanggung jawab.
Tak ada kamera merekam atau mengabadikan kiprah heroiknya itu. Tak ada sutradara yang mengatur blusukannya agar lebih penuh drama. Tak ada pula stuntmant yang beratraksi jumpalitan dengan sepeda motor. Hanya ada seorang penulis keren yang mengarang cerpen buatnya.
Brrmm… Brrmmm…
Di atas motor itu Umar melihat baliho para politisi berkampanye. Hatinya berdesir pilu. Kalau saja para politisi itu tahu beratnya amanah dan pertanggung jawaban di akhirat nanti, tentu mereka tak mau sebegitunya memasarkan diri.
Terbayang oleh Umar kejadian beberapa hari lalu. Orang di lingkaran dekatnya mendatangkan konsultan politik. Lalu Umar pun diminta bermain basket, berlatih tinju, ngerap, vlog dan sebagainya untuk mencitrakan diri sebagai pemimpin milienial.
“TIDAK!” hardik Umar. “Rakyatku sedang susah karena harga listrik dan bahan bakar yang mahal. Bagaimana bisa saya melakukan pencitraan penuh kepalsuan begitu?”
Umar tidak mengerti buat apa konsultan politik itu menghasut untuk tampil tidak sebagai dirinya sendiri. Yang lebih gila lagi, ketika berkunjung ke sebuah daerah yang tertimpa bencana, Umar dibisiki untuk berpose tertentu agar terlihat humanis. Sontak Umar marah kepada pembisik itu lalu mengusir para fotografer dan kameramen. “Sana! Kalian ambil gambar kerusakan yang disebabkan oleh gempa. Siarkan kepada masyarakat kita agar mereka mau membantu. Tak perlu lagi ambil foto saya ketika saya sedang bekerja.” ujar Umar.
Sosok pemimpin milenial, tegas, tulus, dan tak pedulikan citra. Orientasinya adalah kerja, kerja, kerja, bukan citra, citra, citra. Umar tak pedulikan pro kontra orang. Tak peduli apakah akan terpilih kembali di pemilihan presiden mendatang. Tak suka menebar janji.
Dia adalah Umar. Milenial baginya, adalah kemampuan mengakses teknologi informasi terkini untuk bekerja menyelesaikan masalah rakyat, bukan untuk narsis di depan rakyatnya.
Zico Alviandri