Oleh: Arief Munandar (Pengamat Sosial-Politik, Sosiolog UI)
Orang Indonesia tulen pasti sangat tersinggung ketika seorang budayawan melabeli Presiden kita sebagai “Presiden Boneka.” Benar-benar tak beretika. Bahkan kurang ajar! Hendak dikesankan bahwa Pak Jokowi tidak independen, tak punya kehendak bebas dan pikiran merdeka, dalam menahkodai negara besar ini. Seolah ada tangan-tangan para dalang, master mind di balik layar, yang menggerakkan lidah, bibir, tangan, kaki, dan bahkan otak beliau.
Mereka yang dituduh menjadi pengatur lakon itu beragam. Ada Ketum sebuah Parpol besar. Ada pensiunan Jenderal yang dikerap disindir sebagai “Menko Segala Urusan.” Ada bos-bos pengembang raksasa. Tak ketinggalan adidaya baru, Negeri Tirai Bambu, yang belakangan doyan mengguyur kita dengan hutang.
Pak Jokowi dikenal dengan jargon “kerja, kerja, kerja.” Bukankah itu menunjukkan tekad kuat beliau untuk bekerja keras, memeras keringat, membanting tulang untuk rakyat? Buktinya jelas kok. Setidaknya kita disuguhi tampilan kemeja putih sederhana, sepatu kets, dan tradisi blusukan yang getol dilakukan Pak Jokowi.
Jadi, label “Presiden Boneka” adalah tuduhan yang kelewat keji. Ibu Mega memang beberapa kali menegaskan hakikat Pak Jokowi sebagai “Petugas Partai.” Namun bukan salah Pak Jokowi yang mungkin tidak paham adagium “loyalty to my party ends when loyalty to my country begins.” Boleh jadi, nasionalisme yang begitu kental membuat beliau agak resisten terhadap Bahasa Inggris. Mungkin itu pula sebabnya beliau tampak terbata-bata saat berpidato dalam Bahasa Inggris, walaupun sekedar membacakan teks yang sudah disiapkan oleh para pembantunya.
Yang tak kalah menyakitkan hati warga negara sejati adalah hujatan “dungu” dan kenyinyiran tanpa henti seorang dosen filsafat yang ditengarai sebagai profesor gadungan. Bayangkan, Pak Jokowi dituduh punya daya ingat terlalu pendek, bahkan tentang sejarah hidupnya sendiri, hanya gara-gara beliau alpa menyebutkan jasa Prabowo yang membawanya dari Solo ke Jakarta, dan Hashim yang menggelontorkan dananya. Padahal bisa jadi hal itu adalah cerminan itikad baik Pak Jokowi untuk menjaga keikhlasan orang-orang yang telah membantunya memenangkan kursi Gubernur DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu.
Kemudian, tidak pada tempatnya pula jika Pak Jokowi disebut ‘dungu” hanya karena beliau hampir tidak pernah lepas dari lembar-lembar teks yang dibacanya ketika berbicara di hadapan publik. Hal tersebut pun beliau lakukan dalam sesi debat capres. Apa yang salah dengan itu? Malah hal tersebut bisa dilihat sebagai apresiasi Pak Jokowi terhadap para pembantunya yang sudah berpeluh, bekerja keras, bersusah payah, menyiapkan teks-teks pidato yang tidak singkat itu.
Sikap tenggang rasa terhadap para pembantunya juga ditunjukkan Pak Jokowi dalam beberapa kesempatan lain. Beliau misalnya, tenang saja ketika dikoreksi Menko Polhukam dengan ucapan “Presiden tidak boleh grasa-grusu,” dalam kasus niat Presiden membebaskan Abu Bakar Ba’asyir. Beliau juga tidak bereaksi apa-apa ketika pembantunya yang lain, Menteri Pertanian, mengoreksi janji Presiden yang akan mengupayakan para penyuluh pertanian diangkat menjadi PNS, dengan mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa santun dan rendah hatinya Pak Jokowi.
Sebutan “dungu” juga dilontarkan karena Pak Jokowi kerap memosisikan pembangunan jalan tol yang masif sebagai salah satu prestasinya. Satu dari sekian banyak kritik itu, mengapa efek sampingnya, seperti merosotnya pendapatan sejumlah warung makanan dan usaha rakyat lainnya di sepanjang jalur Pantura tidak diperhitungkan? Atau, mengapa pembangunan infrastruktur tersebut seolah tidak didahului dengan analisis, perencanaan, dan koordinasi yang matang? Dampaknya, pembiayaannya kisruh, beberapa konstruksinya bermasalah, dan beberapa yang lain setelah selesai sepi pengguna.
Suara-suara sumbang semacam itu menunjukkan betapa pengkritiknya tidak mengenal Pak Jokowi, sehingga tidak mampu berempati kepada beliau. Sebelum terjun ke dunia politik, Pak Jokowi berbisnis furnitur. Proses bisnisnya relatif sederhana: bahan baku diolah menjadi mebel, lalu dijual. Oleh karena itu, tidak bisa disalahkan jika Pak Jokowi tidak terbiasa melakukan analisis yang tajam, berpikir makro, dan menyusun sintesis yang kuat, untuk mengimajinasikan saling ketergantungan di antara sejumlah faktor yang di permukaan terlihat acak. Bisa dipahami jika kemudian beliau cukup puas dengan hasil uji coba waktu tempuh Jakarta-Solo hanya enam jam melalui tol yang dibanggakannya.
Label ”dungu” dikaitkan pula dengan tindakan Pak Jokowi memberikan hadiah sepeda kepada anak SD yang bisa menjawab pertanyaannya tentang nama-nama ikan, Pak Jokowi terekam kamera sedang melemparkan sejumlah barang melalui jendela mobil, lalu diambil dengan sukacita oleh rakyat di pinggir jalan, atau Pak Jokowi memborong 100 ribu botol sabun cuci produksi UMKM yang kemudian diperdebatkan dari mana dananya. Orang yang mempersoalkan ini sungguh absurd cara berpikirnya. Bukankah semua tindakan Pak Jokowi yang dicibir itu menunjukkan sikap welas asih kepada rakyat yang telah memilihnya lima tahun lalu?
Cobaan untuk Presiden ketujuh kita tidak berhenti sampai di situ. Ada lagi orang iseng yang tega mendiskreditkan beliau dengan label “Presiden Kagetan,” semata-mata karena sebelumnya tersiar kabar bahwa Pak Jokowi kaget harga tiket pesawat melambung tinggi, suplai avtur dimonopoli Pertamina, ada guru bergaji Rp 300 ribu, dua menterinya ternyata akuntan, dan kemacetan Jadebotabek menimbulkan kerugian 65 triliun.
Selain itu, beliau juga diberitakan kaget karena kopi di Magetan hanya Rp 3 ribu, biaya sertifikasi satpam mencapai Rp 10 juta, Agnez Mo tidak mendapat dukungan Pemerintah, mendengar rekaman menteri merendahkan dirinya, warga Cikarang belum memperoleh sertifikat tanah, sopir dipalak preman dan aparat, melihat infrastruktur sekolah di daerah, dan serenceng kekagetan lainnya. Bukankah hal-hal di atas justru menunjukkan bahwa Pak Jokowi adalah pribadi yang jujur dan apa adanya, sehingga kondisinya yang banyak tidak tahu pun terlihat oleh publik?
Yang paling keji dari semua kenyinyiran itu adalah tuduhan bahwa Pak Jokowi tidak pro umat Islam, bahkan anti Islam. Padahal beliau diberitakan rajin salat dan berpuasa sunah. Bahkan dalam beberapa kesempatan tertangkap kamera menjadi imam salat berjamaah. Pak Jokowi juga rajin mengunjungi pesantren dan ulama . Terakhir beliau menyambangi Kyai Maimun Zubair di Pesantren Sarang, dan mengaminkan doa yang tertukar.
Di atas semua itu, Pak Jokowi memilih KH. Ma’ruf Amin, Ro’is ‘Aam Nahdatul Ulama dan Ketua Majelis Ulama Indonesia, sebagai cawapres yang mendampinginya dalam kontestasi periode kedua. Ditepisnya beragam sinisme, termasuk sangkaan bahwa hal itu semata-mata untuk mengembalikan dukungan umat Islam yang belakangan tidak mesra dengan dirinya.
Semua kenyinyiran, celaan dan hujatan tersebut dihadapi Pak Jokowi dengan wajah polos dan senyum lugunya yang kita kenal sejak dulu. Memang beberapa kali beliau sempat emosi, sehingga keluar sebutan “politisi sontoloyo,” atau ujaran “kaos tidak bisa mengganti Presiden.” Tapi itu reaksi manusiawi dari seseorang yang dipaksa menanggung beban jauh lebih berat ketimbang kapasitas dirinya.
Siapa yang salah? Jawabannya kita. Setidaknya sebagian dari kita: lima puluhan persen rakyat pemilih yang lima tahun lalu menimpakan amanah jabatan Presiden ke pundak Pak Jokowi. Waktu itu tampaknya kita tersihir oleh kesederhanaan tampilan beliau yang ndeso dan terkesan genuin. Kita buru-buru menyimpulkan bahwa beliau orang baik yang pantas memimpin negeri tujuh belas ribu pulau ini. Kita lupa, negeri ini, berikut seluruh tantangan yang menghadangnya, terlalu rumit bagi orang baik. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mengalirkan visi dari kepalanya, dan memastikannya terwujud di medan yang terjal berbatu.
Depok, 14 Januari 2019