Ngelmu.co – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mencabut dukungannya untuk Bupati Alor Amon Djobo dan pasangannya, Wakil Bupati Imran Duru.
Keputusan ini merupakan buntut dari kemarahan Amon, terhadap dua anak buah Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.
Cabut Dukungan
Pencabutan rekomendasi dukungan tersebut tertuang dalam surat bernomor 2922/IN/DPP/VI/2021.
Di mana Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan Partai Komarudin Watubun dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, menekennya pada Rabu (2/6).
“DPP PDIP mencabut rekomendasi dan dukungan kepada Bupati dan Wakil Bupati Alor, pasangan Amon Djobo dan Imran Duru.”
“Mempertimbangkan bahwa, Bupati bukan kader PDIP, sehingga tidak dapat dilakukan pemecatan.”
Demikian petikan salah satu poin dalam surat itu sebagaimana Ngelmu kutip dari CNN dan Detik, Kamis (3/6).
Baca Juga: Respons PDIP Usai Ribka Tjiptaning Tolak Vaksin COVID-19
DPP PDIP, pada poin selanjutnya juga menyatakan, mencabut surat bernomor 3628/IN/DPP/XI/2017 tertanggal 30 November 2017.
Terkait Rekomendasi Calon Bupati dan Wakil Bupati Alor pada Pilkada Serentak Tahun 2017 lalu.
Dengan demikian, pihaknya menekankan, surat tersebut tidak lagi berlaku.
Lebih lanjut, DPP PDIP, menginstruksikan DPC PDIP Alor untuk berkoordinasi dengan seluruh pimpinan serta anggota fraksi partai di DPRD setempat.
Sudah tentu, berkaitan dengan pencabutan rekomendasi dan dukungan yang sebelumnya PDIP beri kepada Amon dan Imran.
Bagi kader yang tak mengindahkan instruksi tersebut, DPP PDIP akan memberi sanksi organisasi.
Begitu juga bagi mereka yang melakukan aktivitas di luar kebijakan yang telah partai ambil.
Belum Terima Surat
Mengonfirmasi di tempat terpisah, Bupati Amon, mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi dari DPP PDIP.
“Saya belum tahu, saya belum dapat pemberitahuan resmi tentang pencabutan surat dukungan kepada kami,” tuturnya, Rabu (2/6) malam, mengutip CNN.
Kalaupun surat pencabutan rekomendasi itu benar adanya, Amon, mengaku sangat menyesalkan hal tersebut.
Terlebih jika alasannya berkaitan dengan video yang viral belakangan ini.
Meski Amon sadar, pencabutan rekomendasi serta dukungan, memang sepenuhnya hak PDIP.
“Itu sah-sah saja kalau PDIP mencabut dukungan,” ujarnya.
Amon juga menilai, pencabutan dukungan ini tidak memengaruhi jabatannya sebagai bupati.
Sebab, meski PDIP, memiliki empat kursi di DPRD Alor, masih ada 14 kursi tersisa yang mendukung posisinya sebagai kepala daerah.
Namun, Amon tetap menyesalkan keputusan ini, karena kebersamaannya dengan PDIP sudah terbangun sejak lama, harus terhenti hanya karena video viral.
Ia juga menyayangkan, PDIP, terpengaruh dengan potongan video yang beredar.
Potret itu, baginya, tidak utuh. Sebab, hanya mengambil momen ketika amarahnya memuncak, tanpa memperhatikan subtansi persoalan.
Tetapi Amon tetap berterima kasih kepada PDIP, karena telah mendukungnya di Pilkada 2017 lalu.
Ia juga masih mencoba menjelaskan, bahwa dalam video, dirinya sama sekali tak pernah menyudutkan atau menyebut PDIP.
Kemarahannya, kata Amon, adalah karena kesalahan dalam tata kelola penyaluran bantuan kepada korban bencana Seroja oleh Kemensos.
Menurutnya, pada saat itu, persoalan langsung selesai, dan sudah saling meminta maaf.
Kejadian itu juga berlangsung pada pertengahan April 2021, tepatnya pasca bencana Seroja.
Itu mengapa, Amon, mempertanyakan apa motivasi dari pihak yang menyebarluaskan video tersebut.
Apalagi yang beredar luas hanya bagian saat ia memarahi kedua staf Kemensos.
Kritik Kinerja Kemensos
Sebelumnya, Amon, mengkritik kinerja Kemensos, serta memarahi, bahkan mengusir dua anak buah Mensos Risma, di rumah jabatan Bupati Alor.
Ia juga mengaku, bahwa dalam video berdurasi 3 menit 9 detik itu, dirinya memang memarahi dua staf Kemensos yang duduk berdampingan.
“Benar, itu saya yang memarahi,” jelas Amon, Selasa (1/6) malam.
Dalam video yang beredar, Amon, marah dan mengusir kedua staf Kemensos tersebut dari Alor.
Ia juga mengeluarkan kata-kata yang kontroversial terhadap Mensos Risma, di hadapan kedua staf tersebut.
“Jangan pakai politik yang seperti itu, dia [Risma] tidak tahu proses bantuan pola penanganan, teknis penanganan bantuan ini sampai di bawah,” kata Amon.
“Mulutnya lebih cepat dari pikiran, pejabat apa model begitu, menteri model apa model begitu,” sambungnya.
Ia juga menanyakan, pangkat dari kedua anak buah Risma, yang langsung dijawab oleh salah seorang staf.
“Kamu di kementerian, golongan berapa?” tanya Amon.
Kekesalan itu memuncak, kata Amon, karena penyaluran bantuan PKH [Program Keluarga Harapan] untuk warga miskin di Alor, serta bantuan untuk korban bencana, tidak melalui Pemerintah Daerah.
“Memangnya PKH itu DPR yang urus?” tegasnya.
“Besok kamu pulang sudah. Besok saya bikin surat ke Presiden, dia [Risma] pikir dia hebat,” lanjut Amon, dengan nada kencang.
Amon marah, karena merasa Pemda, dilangkahi oleh Kemensos.
“Nantinya presiden dan pemerintah pusat, dikira kami, dari pemerintah daerah, tidak bekerja,” jelasnya.
“Padahal, kami sudah bekerja maksimal,” sambung Amon.
“Jangan hanya kepentingan-kepentingan politik, kita bekerja bukan untuk kepentingan politik, karena ini bencana kemanusiaan, bukan bencana politik,” pungkasnya kala itu.
Peristiwa terjadi pada pertengahan April 2021, tetapi baru beredar luas belakangan ini di media, salah satunya grup WhatsApp.
Respons Mensos Risma
Mensos Risma pun merespons peristiwa ini. Ia menjelaskan, tentang bantuan yang dipersoalkan oleh Amon.
“Saya jelaskan, ya. Jadi, sebetulnya itu bantuan bukan PKH, tapi bantuan untuk bencana,” tuturnya, di GIM [Gedung Indonesia Menggugat], Kota Bandung, Rabu (2/6).
Risma ingin segera mengirimkan bantuan yang sifatnya bencana atau non-PKH tersebut ke lokasi. Namun, kondisi saat itu tak memungkinkan.
“Jadi, kalau bantuan dari bencana, ya, gimana kita saat itu, saya sendiri, saya ngirim barang saat itu dari Jakarta, jauh,” jelas kader PDIP ini.
“Kita pengin cepat kirim dari Surabaya, karena saya, kalau dari Surabaya, punya angkutan itu gratis,” imbuhnya.
“Tapi kita tetap tidak bisa masuk ke pulau itu,” jelas mantan Wali Kota Surabaya tersebut.
Risma juga mengatakan, bahwa pihaknya telah berupaya keras menghubungi berbagai pihak di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Namun, terkendala jaringan seluler yang terputus pasca bencana.
Sampai akhirnya, pihaknya berhasil terhubung dengan Ketua DPRD Alor Enny Anggrek yang juga kader PDIP.
“Saya hubungi, bagaimana kondisi di sana, karena hampir seluruh NTT, kena,” ujar Risma.
“Saya hubungi kepala dinas, staf saya yang hubungi, enggak ada yang bisa, karena memang saat itu jaringan terputus,” sambungnya.
Lalu, Risma pun bertanya, dapat menghubungi siapa ia saat itu.
“Kemudian adalah Ketua DPRD menyampaikan, ‘Bu, kami butuh bantuan, tapi tidak bisa [masuk]’,” tuturnya.
‘Kami Tak Punya Kepentingan Apa pun’
Risma mengaku, percakapan via aplikasi pesan [WhatsApp] dengan Enny, masih ia simpan.
Ia juga menekankan, tidak adanya kepentingan apa pun dalam hal penyaluran bantuan ke Alor.
“Saya masih ada WA-nya, saya bisa tunjukan, bahwa kami tidak punya kepentingan apa pun,” beber Risma.
Lantas, ia pun mendapat informasi, bahwa Alor menjadi salah satu daerah dengan kondisi terparah [setelah Adonara dan Lembata, selain Sumba Timur].
“Saya masih punya bukti WA, bahwa saya tidak ada punya niat apa pun,” tegas Risma lagi.
“Terus, begitu barang tidak bisa masuk, beliau [Ketua DPRD] menawarkan, ‘Bu, itu ada paket dari Dolog yang ibu bisa ganti, karena kita tidak bisa merapat bantuan, karena cuacanya buruk, sehingga Syahbandar, tidak bisa melaut, kapal-kapal semua berhenti’. Kemudian, ‘Oke, Bu. Tidak apa-apa, dari Dolog, nanti kami bayar,” ungkap Risma.
Setelahnya, bantuan bencana pun disebarkan ke Alor. Namun, Mensos yang menggantikan posisi Juliari Batubara tersebut menegaskan, itu bukan PKH.
“Karena kami tidak bisa, karena banyak sekali [yang membutuhkan] saat itu, kami tidak bisa kontak siapa pun di situ,” kata Risma.
“Seperti itu, akhirnya dibagi, tapi tidak ada [kepentingan apa pun],” lanjutnya.
“Tapi sekali lagi, itu bukan PKH. Kami mulai bulan Januari, tidak ada bantuan sosial dalam bentuk barang, itu adalah bantuan bencana,” tutup Risma.