Ngelmu.co – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Busyro Muqoddas, mengatakan jika dibanding Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Joko Widodo (Jokowi), jauh lebih represif.
Sebagaimana disampaikan saat menjelaskan soal Rancangan Undang-Undang Ciptaker; di seminar daring, ‘RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Ditentang, Dilanjutkan, dan Dipaksakan’.
“RUU ini lahir di era Jokowi yang seorang sipil, bukan militer,” kata Busyro, dalam acara yang digelar oleh Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), seperti dikutip Ngelmu, dari Gatra, Senin (10/8).
“Kalau saya bandingkan dengan SBY, dia jenderal cerdas, tapi masih punya tepa selira (tenggang rasa). Dia tidak represif, seganas, seperti yang sekarang ini,” imbuhnya.
Lebih lanjut Busyro, mempertanyakan perbedaan antara Jokowi dengan SBY.
“Mengapa Jokowi yang sipil seperti itu, bisa punya kekuatan powerfull,” ujarnya.
“Siapa di belakang dan sekitarnya, garis besarnya elite oligarki dan elite bisnis, yang namanya sering beredar,” sambung Busyro.
Sebelumnya, ia menjelaskan bila saat ini segitiga negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta, timpang.
“Kekuatan masyarakat sipil itu sekarang kecil dan jauh pengaruhnya terhadap negara,” jelas Busyro.
“Justru yang dekat dengan negara adalah sektor swasta, taipan-taipan itu,” lanjutnya.
Perselingkuhan terbuka antara negara dan swasta ini, menurut Busyro, berpengaruh pada politik legislasi.
Sehingga muncul sejumlah Undang-Undang anti-demokrasi, seperti:
- UU KPK,
- UU ITE, serta
- UU Mineral dan Batubara (Minerba).
“KPK dibikin stroke. UU Minerba, pengesahannya tertutup dan cepat, abaikan masyarakat sipil,” kritiknya.
“UU ITE pasal 27-28 itu untuk menggebuk aktivis. RUU KUHP ada 5-6 pasal yang sangat represif, ngeri sekali,” beber Busyro.
Maka ia mempertanyakan, politik legislasi anti-demokrasi yang lahir di masa kepemimpinan sipil Presiden Jokowi.
Sejumlah UU tersebut, menjadi wujud pelanggaran prinsip hukum, termasuk UUD 1945.
“Artinya, pemerintah sekarang ini sedang asyik dengan pembangkangan konstitusi,” kata Busyro.
Politik legislasi anti-demokrasi, juga dinilai membuat segitiga timpang semakin membusuk.
“Negara dimasuki sektor swasta. Begitu besar pengaruh sektor swasta terhadap kebijakan pemerintah, dan semakin kecil peran masyarakat sipil,” sambungnya.
Produk-produk hukum itu, lanjut Busyro, menunjukkan negara semakin tak berdaya menghadapi gerakan sektor swasta.
“Mereka mempengaruhi pejabat-pejabat sehingga menggunakan, menjualbelikan, menyalahgunakan pengaruh sebagai pejabat, termasuk dalam penyusunan RUU,” tuturnya.
Busyro pun mengajak, agar mahasiswa dan aktivis kampus bergerak setelah langkah PP Muhammadiyah, menolak pembahasan RUU Ciptaker; jika di-desain untuk mengabaikan masyarakat sipil dan menggelar karpet merah untuk investor asing.
“Saya optimis, kampus di Jawa, bisa memelopori deklarasi bersama. Ini akan punya pengaruh psiko-politik ke pemerintah,” tegasnya.
Baca Juga: Polemik POP Kemendikbud, Din Syamsuddin: Salah Jokowi, Bukan Nadiem
David Efendi, sebagai pengajar ilmu pemerintahan UMY, juga menyebut RUU Ciptaker memiliki kekurangan yang sangat parah; secara moral ekonomi-politik.
“Moral ekologinya juga tidak ada. Padahal, pembangunan itu juga harus memperhitungkan kelestarian lingkungan hidup, tempat manusia bergantung,” kritiknya.
Apalagi menurutnya, pandemi COVID-19 bisa menjadi momentum.
“COVID-19, seharusnya jadi pukulan telak bagi RUU ini, karena kerusakan ekologi dari belahan bumi manapun, dampaknya ke semua,” jelas David.
Ia pun menyatakan, RUU Ciptaker, sebagai RUU paling oligarkis di muka bumi.
“Ini RUU cipta oligarki. Pegiat UMKM dan buruh, tidak banyak diuntungkan,” kata David.
“Tidak ada politik harapan yang bisa ditumbuhkan dari RUU ini,” pungkasnya.