Ngelmu.co – KH Idham Chalid (Pimpinan PBNU) pernah satu kapal dengan Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah ‘HAMKA’ (tokoh Muhammadiyah), dalam perjalanan menuju Tanah Suci Mekkah, untuk melaksanakan ibadah haji. Tidak ada kisah istimewa dari kedua tokoh berbeda paham tersebut, hingga waktu salat subuh menjelang.
Di saat hendak melakukan salat subuh berjemaah, KH Idham Chalid dipersilakan maju untuk mengimami.
Secara tiba-tiba, pada rakaat kedua, KH Idham Chalid meninggalkan praktek qunut subuh, padahal qunut subuh bagi kalangan NU, seperti suatu kewajiban.
Semua makmun mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar, walau ada yang mengganjal di hati.
Sehingga seusai salat, Buya Hamka bertanya, “Mengapa Pak Kiai Idham Chalid tidak membaca qunut?”
“Saya tidak membaca doa qunut, karena yang menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut,” jawab KH Idham Chalid.
Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang giliran mengimami salat subuh berjamaah.
Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka mengangkat kedua tangannya, beliau membaca doa qunut subuh yang panjang dan fasih.
Padahal bagi kalangan Muhammadiyah, qunut subuh hampir tidak pernah diamalkan.
Seusai salat, giliran KH Idham Chalid yang bertanya, “Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa qunut subuh saat mengimami salat?”
“Karena saya mengimami Pak Kiai Idham Chalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat salat subuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut,” jawabnya merendah.
Baca Juga: Makna Toleransi yang Sesungguhnya dari Kacamata KH Syukron Ma’mun
Akhirnya, kedua ulama tersebut saling berpelukan tanda keakraban. Jemaah pun menjadi berkaca-kaca, menyaksikan kejadian yang mengharukan.
Air mata tak dapat mereka tahan. Hal ini juga mengingatkan kita, persaudaraan antara pendiri organisasi terbesar umat Islam Indonesia ini, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.
Maka dari itu, mari kita tumbuhkan semangat toleransi sesama umat Islam, dan bisa dimulai dari qunut.
Perbedaan memang suatu hal yang tak bisa dipungikiri. Perbedaan merupakan hal mutlak yang akan kita alami dalam kehidupan.
Perbedaan dalam persoalan furuiyah (tidak prinsip), sebagaimana soal qunut, harus disikapi dengan toleransi, untuk menumbuhkan tali persaudaraan antar sesama umat Islam.