Ngelmu.co – Mantan Pengurus PC GP Ansor Jombang, Jawa Timur, Drs H Abdul Kholiq, membela Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pasalnya, pada Jumat (21/5) lalu, di media sosial, beredar hasil tangkapan layar dari sebuah grup WhatsApp dengan nama depan Nahdliyin.
“HAMAS Berideologi Ikhwanul Muslimin seperti PKS. JANGAN DUKUNG,” demikian potret yang beredar.
Pernyataan yang kemudian mendapat acungan jempol berlogo NU Care LAZISNU, dari sesama anggota grup.
Namun, bagi Cak Kholiq, cara-cara seperti ini tak lagi laku.
“Ini kampanye kuno. Membakar emosi dengan nalar cupet,” tuturnya, Jumat (21/5) lalu, mengutip duta.co.
Cak Kholiq menekankan, melarang mendukung HAMAS karena alasam IM [Ikhwanul Muslimin], sama dengan menyuruh umat mendukung Israel.
“Tidak pernah terpikir oleh mereka,” kritiknya.
“Bagi mereka, pokoknya tidak sama pilihan politiknya, berarti IM, wahabi,” sambung Cak Kholiq.
Warga Nahdliyin yang anti PKS, lanjutnya, tidak punya alasan selain wahabi dan IM.
Padahal, menurutnya, hujah seperti ini kian terpatahkan dengan banyaknya kader NU di PKS.
“Kita tidak bisa pungkiri, bahwa, semakin banyak santri Mbah Hasyim, Mbah Wahab, serta kader-kader NU lain yang menempati posisi strategis di PKS,” ujar Cak Kholiq.
“Mereka itu lebih tahu PKS, dari para penyebar isu,” imbuhnya.
Maka di mata Cak Kholiq, jika ingin mengimbangi kebesaran PKS, cukup beri bukti ada atau tidak partai yang lebih Islami.
“[Ada atau tidak yang] Lebih peduli kepada masyarakat,” jelasnya.
Tudingan Tak Logis
Meski ‘sanad’ perjuangan sejumlah kader PKS ada yang bersambung ke IM, kata Cak Kholiq, tetapi menstigma PKS sebagai tangan sambung IM, tidak logis.
Terlebih jika melihatnya dari sisi perjuangan partai Islam tersebut dalam mengemban amanat rakyat.
“Ini fakta. Lihat-lah, kaum buruh lebih percaya kepada PKS,” kata Cak Kholiq.
“Pandangan atau pertanyaan mereka, simpel, ‘Apakah partai ini memiliki daya juang untuk kaum alit [kecil],” imbuhnya.
Pada titik ini, bagi Cak Kholiq, PKS, lagi-lagi menempati posisi penting di mata buruh.
“Isu IM, wahabi, radikal-radikul… semua sudah tidak laku,” tegasnya.
Cak Kholiq yang juga mantan politikus PDIP Jombang itu menilai, bandul justru akan berbalik di basis Nahdliyin.
Ia menyatakan demikian, jika perpolitikan terus berjalan demikian.
“Pertama, warga NU akan tumplek, blek, ‘menduduki’ PKS. Mereka melihat satu-satunya partai Islam yang konsisten dengan nasib umat, ya, PKS,” kata Cak Kholiq.
Dengan ‘menduduki’ PKS, sambungnya, mereka dapat mengamankan dari isu IM dan wahabi.
“Kedua, bisa jadi kiai-kiai kampung, turun memberikan ‘garansi’ politik, bahwa PKS, bukan IM. PKS, bukan wahabi,” tutur Cak Kholiq.
Para kiai itu yang nantinya akan memberi jaminan, jika PKS, setia kepada Pancasila.
“PKS tidak akan mengerek sistem khilafah,” jelas Cak Kholiq.
“Kalau ini yang terjadi, maka isu IM, wahabi, radikal-radikul, akan menjadi sampah yang memalukan,” lanjutnya.
“Sekarang faktanya, [semakin] ditekan, PKS malah membesar,” pungkas Cak Kholiq.
Cuitan Akun Generasi Muda NU
Terlepas dari persoalan di atas, akun Twitter @Generasi_MudaNU, Selasa (1/6) kemarin, mengetwit.
Pihaknya berkomentar soal TWK [tes wawasan kebangsaan] terhadap para pegawai KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] yang ramai dibicarakan.
“Hemat kami, TWK KPK penting, meski banyak catatan, mengingat anggota partai yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, semakin banyak masuk ke institusi pemerintahan, dan kami tetap berkomitmen, di mana PKS berlabuh, kami dukung lawannya, karena kalau sampai kelompok Ikhwanul Muslimin berkuasa, kami khawatir, Indonesia akan hancur terpecah belah, sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah.”
Kicauan yang tak lama kemudian langsung mendapat tanggapan dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Nadirsyah Hosen (Gus Nadir).
Ia menilai, cuitan @Generasi_MudaNU, tidak tawasut dan tawazun, sebagaimana ajaran para kiai NU.
“Korupsi itu musuh bersama. Setiap upaya melemahkan pemberantasan korupsi, harus ditentang,” tegas Gus Nadir.
“Jangan menggeneralisir di mana PKS bersikap, NU harus berbeda. Harus adil, meski terhadap pihak yang tidak kita sukai,” jelasnya.
Mendapati pernyataan ini, politikus PKS, Tifatul Sembiring pun menyetujuinya.
“Setuju Prof, stigma PKS adalah gerakan keagamaan, dibumbui politisi-politisi yang punya kepentingan, diracuni kabar-kabar hoaks, membuat beberapa orang tidak ‘i’tidal’ dalam menilai. Gerakan keagamaan terbesar, ya, NU, terus Muhammadiyah. Lah, PKS ‘kan parpol, visinya ‘Adil, Sejahtera, dan Bermartabat’,” ujarnya tersenyum.
Beliau ini bicara, setelah keluar dari PKS dan pindah ke partai lain. Tolong jangan baca judul aja
— Tifatul Sembiring (@tifsembiring) June 2, 2021
Akun @Generasi_MudaNU pun kembali merespons Gus Nadir, “Kami tidak sedang dalam membela upaya pelemahan KPK.”
“Dan kami tidak sedang membela koruptor, justru kami mendukung hukuman mati bagi para koruptor,” sambung keterangan tersebut.
“Kami hanya sedang menyampaikan pandangan berbeda antara pengertian TWK sebagai pelemahan KPK atau memperkuat KPK,” imbuhnya lagi.
Bro @Generasi_MudaNU, kalau PKS dukung Palestina, mosok sampeyan terus dukung Israel? Semoga ndak ya?
Eman-eman kalau harus jadi bagian dari 2% warga ini. 🙏😊 pic.twitter.com/7YUgHqovaj
— Ismail Fahmi (@ismailfahmi) June 1, 2021
PBNU Enggan Dikaitkan
Telanjur menjadi sorotan, mau tak mau, singgungan @Generasi_MudaNU soal TWK KPK, Ikhwanul Muslimin, dan PKS, sampai ke telinga PBNU.
Sayangnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menolak dikaitkan dengan cuitan tersebut.
“Ya, enggak mungkin resmi dari PBNU yang gituan. Enggak ada,” tegas Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi, Rabu (2/6), mengutip Detik.
Masduki juga memastikan, Generasi Muda NU tersebut bukan organisasi resmi di bawah naungan PBNU.
Baca Juga: Nilai BKN Cipta Bahaya Lewat TWK Calon ASN KPK, PKS Tuntut 3 Hal
Pada kesempatan yang sama, Masduki pun mengungkapkan, banyaknya warga Nahdliyin yang tidak lulus TWK.
“Karena begini, kader-kader, justru banyak mengkritisi apa yang terjadi di KPK itu,” jelasnya.
Pasalnya, banyak dari tidak lulus itu justru merupakan kader-kader terbaik NU.
“Jadi, pasti enggak ada Twitter resmi dari PBNU atau organ-organ yang ada di bawah PBNU, enggak akan ada begituan,” tutur Masduki.
Sampai saat ini, sambungnya, PBNU sendiri belum menyampaikan sikap resminya.
Namun, Masduki menyatakan, bahwa pada prinsipnya, PBNU selalu mendukung tegaknya keadilan.
“Enggak ada sikap PBNU, karena belum ada rapatnya,” jelasnya.
“Intinya, kalau PBNU, pro pada prinsip-prinsip tegaknya keadilan-lah, ya. Hukum dan tegaknya demokrasi,” sambung Masduki.
“Prinsip-prinsip itu yang mesti ditegakkan. Itu intinya,” pungkasnya.