Ngelmu.co – Diskriminasi dan penindasan terhadap kaum muslimin di India sekarang sebenarnya karena bibit kebencian terhadap Islam yang memang sudah mengakar dan terus menerus disemaikan di India.
Buya Hamka dalam bukunya Ghirah, Cemburu Karena Allah (GIP, 2016) banyak bercerita bahwa Mahatma Gandhi yang sering dielu-elukan sebagai bapak humanisme dan pluralisme dunia dari India adalah sosok yang paling benci kepada Islam dan punya ghirah terhadap agamanya-Hindu yang luar biasa totalitasnya. Dia lah sebenarnya yang amat tak suka Islam berkembang di India meski cara mencegahnya terlihat “halus”.
Cerita pertama tentang Vijaya Lakshmi. Saat itu di jaman perang kemerdekaan di bawah pimpinan kongres belum terjadi perpecahan pemimpin Hindu dan Muslim berdirilah para pemimpin di sekeliling Gandhi. Di antara anggota majelis ada perempuan cantik putri Hindu bangsawan yakni adik Yawaharal Nehru, Vijaya Lakshmi Pandit.
Di samping itu ada pula seorang pemuda Islam bernama Dr. Said Husain. Semboyan selama ini adalah Persatuan Hindu-Muslim membela ibu pertiwi. Vijaya dan Husain saling mencintai. Berbeda agama tidak menjadi dinding bagi asmara mereka.
Keduanya sama-sama berpendidikan tinggi. Harapannya perkawinan mereka akan jadi simbol persatuan Hindu Islam. Sayangnya Gandhi yang dijuluki “Nabi”nya Persatuan India dan Motial Nehru bangsawan hartawan yang luas faham pula menentang hubungan mereka.
“Tidak, tidak, tidak….! Darah Aria yang tinggi, darah Hindu keturunan Pandit, tidak akan diserahkan kepada seorang Islam. Tidak!”
Ayahnya Motial membujuk, janganlah dilangsungkan perkawinan itu. Dan abangnya Yawaharal Nehru pun, yang terkenal bijak, meminta jangan dilangsungkan, karena masyarakat Hindu tidak akan menerimanya. Tetapi tidak berhasil, Vijaya kekeh.
Akhirnya Gandhi pun turun tangan. Dia pergi kepada Vijaya. Dia sujud bertiarap di bawah kaki puteri jelita itu. Gandhi berkata bahwa dia tidak akan mengangkat kepalanya, sebelum Vijaya berjanji bahwa perkawinan itu tidak akan dilangsungkan. Akhirnya Vijaya patah.
Seorang wanita yang berbudi halus, tidaklah dapat bertahan lagi, menyerah di depan seorang pribadi agung India yang sudi meniarap di bawah kakinya. Vijaya terpaksa tunduk. Lalu menerima saat Gandhi memilihkan buat dia seorang pemuda Hindu buat jadi suaminya.
Untuk mencegah pengaruh kenangannya kepada Said Husain, pemuda ini diutus ke Amerika Serikat buat belajar. Di sanalah pemuda itu hidup sampai 20 tahun.
Beberapa lama kemudian meninggallah suami Vijaya. Sedang Said Husain masih ada di Amerika, dan belum menikah. Apa hendak dikata, masa muda telah berlalu 20 tahun. Uban pun telah mulai menjuntai di kepala mereka.
Datang juga dia ke Amerika, buat berjumpa kekasihnya. Tetapi apa hendak dikata akhirnya mereka lebih memilih bersahabat. Setelah India merdeka, Dr. Said Husain diangkat menjadi Duta Besar India yang pertama buat Mesir. Setelah itu dia pun meninggal.
Bayangkan demi agamanya, Gandhi sudi sujud di kaki seorang perempuan. Begitu hebatnya cemburu Gandhi kalau martabat agamanya tersinggung. Meskipun kelihatannya, ia dikenal begitu lemah lembut dan berprikemanusiaan.
Di cerita kedua, pada tahun 1936 terdengar kabar Motial Gandhi sulungnya masuk Islam di Amerika Selatan. Ribut besar! Gandhi rela puasa sampai mati karena sedihnya. Segala upaya ia lakukan tapi tidak dengan kekerasan. Akhirnya anaknya murtad kembali!
Cerita ketiga. Pada tahun 1938 seorang gadis Islam bernama Raihanah Thaib jatuh cinta pada seorang pemuda hartawan Hindu. Kemenakan dari seorang milyuner Hindu, Chankarlal. Mereka akhirnya berhasil menikah.
Maka orang yang lebih dulu mengirim berita untuk mengucapkan selamat atas perkawinan itu, di malam pertama tidak dan tak bukan ialah Mahatma Gandhi. Bayangkan, dia keberatan jika kaumnya masuk Islam, tetapi jika ada seorang Muslim yang berhasil dibawa kepada Hindu dia sangat sukacita.
Lalu pada cerita keempat tentang advokat besar beragama Hindu bernama Kannyalal Yaba yang masuk Islam di bawah pimpinan Penyair Iqbal. Gandhi sangat berduka cita lalu ia datang sendiri ke Lahore dengan penuh lemah lembut membujuk Yaba agar kembali memeluk agama nenek moyang, namun Yaba menanggapinya hanya dengan senyum. Ia tetap muslim dan mengganti nama Khalid Lathif Yaba.
Cerita kelima tentang berita kaum hina dina (sekarang dikenal dengan nama Kasta Dalit) Dalit kasta terendah di India yang bahkan tak dimasukkan dalam empat tingkatan sistem varna (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra). Kasta ini dipimpin Dr. Ambedkar seorang ekonom dan pembaharu. Mereka beramai-ramai masuk Islam.
Gandhi kelabakan. Ia buru-buru bikin kepanitiaan untuk mencegahnya padahal kasta ini di India tidak dianggap, bahkan tidak diijinkan masuk kuil karena dipandang hina. Apa yang Gandhi lakukan? Puasa sampai mati. Dia tak makan roti dan nasi tapi hanya minum susu kambing dan buah-buahan.
Kata Buya dalam bukunya, Gandhi adalah lambang dari perasaan Hindu yang tak menyukai Islam terutama saat Islam bangkit. Ia tak setuju jika Islam memperoleh kebebasan. Ia tak setuju negara Pakistan berdiri.
Gandhi membenci Islam dengan cara lembut. Ada kalangan Hindu yang lebih-lebih bencinya yakni golongan Hindu Mahasbha. Mereka ingin jika kekuasaan ada di tangan hendak mengikis habis umat Islam dari bumi India. Gandhi tak setuju, dia tetap ingin membenci Islam dengan caranya sendiri. Akhirnya dia mati jadi korban oleh kalangan mereka sendiri- Hindu Mahasbha bukan oleh umat Islam.
Baca Juga: Soal Hindu-Muslim, Dubes India: Jangan Termakan Hoaks
Kini setelah Gandhi wafat (1948), teror dan pengejaran terhadap umat Islam di India masih berlangsung hingga sekarang. Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin Narendra Modi yang sekarang jadi perdana menteri, menjadi momok yang menakutkan bagi Muslim India setelah kemenangannya dalam pemilu.
Buya Hamka benar, penindasan terhadap muslim akan terus berlangsung di India karena bibit kebencian itu sudah mendarah daging.
Bogor, 29 Februari 2020
Cemburulah untuk agamamu, jika dilepas gantinya hanya satu macam yakni kain kafan tiga lapis! (Buya Hamka)
Disarikan dari buku Ghirah, Cemburu Karena Allah karya Buya Hamka. Gema Insani Press. Jakarta. 2016