Dari Tiong Hua untuk Tiong Hua, itulah judul subject email yang tertera pada sebuar arsip lama yang direkam oleh website library.ohio.edu. Kami tidak tahu kenapa arsip lama email dari Indonesia ini terekam di website yang merupakan sebuah perpustakaan universitas OHIO. Arsip ini diawali dengan tercara di kirimkan dari [email protected] pada tanggal Wed Feb 17 1999 – 13:49:00 EST. Tidak jelas juga website apa radix.net ini. Tercatat juga bahwa rekaman ini merupakan Forwarded message: From [email protected] pada tanggal Feb 17 1999.
Artikel berupa email yang berjudul “Dari Tiong Hua untuk Tiong Hua” ini memang ditulis pada tahun 99 yang merupakan tahun tahun menyeramkan bagi orang Tiong hua. Penulisanya pun berbeda dengan sekarang yang menggunakan Tionghoa. Sebelumnya kita membahas soal Tionghoa. Pembahasan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi siasat orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan Tionghoa sebenarnya berakar dari budaya leluhur, tetapi sekarang sudah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat kericuhan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama Indonesia. Walaupun dalam pergaulan di antara sesama orang Tionghoa masih digunakan. Nama Indonesia digunakan untuk keperluan formal. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali. Istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut orang Tionghoa-Indonesia antara lain: tenglang, totok, peranakan, WNI keturunan, babah, nyonya, dll.
Dari Tiong hua untuk Tiong hua
Isi dari email tersebut adalah sebagai berikut, tanpa di ubah sama sekali:
Saya ingin mencoba untuk membagikan pemecahan masalah yang paling pelik dirasakan kita sebagai etnis Tiong Hua di Indonesia. Lama memikirkan hal ini dan berbagai pemecahan muncul dalam kepala, tapi saya rasa ini yang paling baik walau kata teman-teman saya pemecahan ini hanya impian belaka. Saya juga mengajak netter lain yang selama ini berdebat atau bahkan saling menghujat dengan Pribumi untuk menghentikan hal itu, sebab saya lihat tidak memecahkan masalah.
Pertama saya akan menyodorkan fakta masalah dari kacamata saya yang minus 3, lalu akan saya bagikan pemecahannya dari otak saya yang pas-pasan. Masalah :
Pertama, Etnis Tiong Hua di Indonesia sudah ratusan tahun berdomisili, beranak cucu, tapi tampaknya keberadaannya diterima jauh dari baik. Dari generasi ke generasi terjadi konflik antar Pribumi-etnis Tiong Hua, sampai saya pribadi tidak yakin bahkan tak berani berharap akan adanya pembauran yang harmonis ratusan tahun kedepan. Kasihan anak-anak kita jika terpaksa menelan pil pahit kerusuhan.
Kedua, Daya tawar (bargaining position) etnis Tiong Hua di Indonesia sangat lemah. Hak sebagai manusia sekalipun dipotong disana-sini. Hal ini dikarenakan Etnis Tiong Hua faktanya memang memerlukan negeri ini lebih dari negeri ini memerlukan mereka (saya bicara tentang nyawa). Banyak yang mengatakan bahwa ekonomi negara ini ditopang oleh kehadiran etnis Tiong Hua, tapi pada kenyataannya apakah pemerintah dan Pribumi sadar akan hal ini ? Bagaimana mungkin seorang yang empunya rumah mau merubuhkan tiang rumahnya ? Jadi saya menyimpulkan bahwa mereka berpikir bahwa Jadi sebagai Etnis Tiong Hua kita tentu sudah belajar banyak untuk tidak mengharapkan uluran tangan Pribumi apalagi pemerintah apalagi ABRI untuk apapun, bahkan untuk sekedar basa-basi simpati.
Ketiga, Pepatah lama mengatakan “ikan yang disimpan lebih dari dua hari akan busuk, begitu juga tamu”. Ya, Kita adalah tamu disini. Kita mengatakan selalu : “siapa bilang Indonesia milik Pribumi ?”, walau pahit, kita harus terima KENYATAAN nasionalisme sebagian mereka yang buta ini. Kita adalah tamu dan tamu akan ditundukkan oleh tuan rumah, dan kalau tuan rumah mulai menganggap tamunya “busuk” atau tuan rumah sudah mulai mencukur jenggotnya dengan golok, rasanya itulah saatnya untuk mohon diri.
Keempat, Rasa iri, dengki dan kebencian. Itulah penyebab kerusuhan, bukan “kecemburuan sosial” apalagi alasan kita tidak bisa bergaul dengan mereka, itu hanya alasan dengan kata-kata yang sangat diperhalus. Sifat-sifat ini sukar hilang, karenanya saya takut akan terjadinya kerusuhan periodik tentu dengan Tiong Hua lagi korbannya.
Kelima, Tak akan ada bantuan dari negara manapun untuk kita. Bantuan moral dari mereka sebenarnya hanya sekedar basa-basi politik. RRC ? Taiwan ? Hong-Kong ? saya belum melihat “tangan” nyata dari “saudara” satu ras tsb. Keenam, Kelemahan utama dari etnis Tiong Hua di Indonesia adalah karena kita tidak punya daerah tertentu yang benar-benar “kepunyaan” kita dan membuat kita seolah “tanpa gigi”. Lihat Aceh, lihat Tim-Tim, perjuangan mereka setidaknya memiliki gigi karena punya daerah “sedarah” setanah-air senasib sependeritaan.
Ketujuh, Tidak benar jika ada yang mengatakan Tiong Hua Indonesia adalah minoritas. Dengan jumlah yang mendekati 10 juta jiwa, kita termasuk 5 besar suku di Indonesia. Domisili kita yang terpisah-pisah menjadikan kita lemah dan mudah disakiti. Kedelapan, Dengan melihat DOM di Aceh, Tim-Tim, Irian, kita melihat kekejaman pemerintah terhadap sesama pribumi, jadi jika kita Tiong Hua berharap untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan ABRI, misalnya, saya rasa itu naif. Hak asasi tampaknya harus diperjuangkan disini, hak asasi bukanlah sesuatu yang gratis.
Mungkin anda akan berfikir bahwa saya terlalu menggeneralisasi segala sesuatu, saya rasa itu benar. Dan untuk anda yang Pribumi yang juga membaca ini, jika kemudian anda berpikir Tiong Hua tidak tahu berterima kasih, cobalah anda menempatkan diri pada posisi kami. Apakah anda berterima kasih jika anda saya beri uang 10 trilyun sehingga anda menjadi kaya tapi saudara-saudara anda kami perkosa ramai-ramai ? Apakah Pribumi belum puas sampai semua Tiong Hua Indonesia dibantai atau diusir keluar tata surya ?, kerusuhan belum berakhir sebagai buktinya.
Dari delapan fakta diatas saya menyempitkan masalah dan menawarkan solusi :
Pertama : Kita harus pindah dalam arti keluar dari komunitas Pribumi Indonesia. Caranya ada 3:
Pertama, Cari daerah yang baik di belahan nusantara ini untuk beramai-ramai transmigrasi ke sana, bentuk KOMUNITAS BARU yang homogen (kalau bisa) dan tangguh. “Daerah kekuasaan” seperti ini akan membuat Pribumi dan pemerintah dan ABRI berpikir 1000 kali untuk menyakiti Tiong Hua Indonesia dimanapun, mereka takut akan menimbulkan gerakan separatis. Buang segala bentuk individualisme dan mulai bekerja keras untuk komunitas baru, saling mendukung dan membela. Disana bahkan (ekstrimnya) kita bisa memasang plat didepan properti “ini milik Tiong Hua”. Karena komunitas baru itu berjumlah kurang lebih 10 juta jiwa (populasi Tiong Hua di Indonesia), maka luas daerahnya minimal akan seluas Jakarta.
Tanah itu harus dibeli secara total dan bersambung-sambungan dari pemerintah Indonesia. Jika setiap satu keluarga Tiong Hua mampu membeli minimal 1 ha, saya yakin lebih luas dari Jakarta (bayangkan jutaan ha). Kita bersama akan membentuk “Singapura” baru dan hasilnya adalah tumbuhnya “gigi” dan bargaining position kita akan luar biasa besar. Kesulitan awal yang dihadapi akan sesulit kakek moyang kita (yang dulu keliru memilih Indonesia), tapi saya yakin kita MAMPU ASAL MAU. Pertanyaannya apa anda mau ? jawablah dengan jujur karena biasanya orang yang tidak mau akan menemukan BERJUTA alasan mengapa ide ini mustahil terwujud.
Kedua, Cari daerah tak bertuan yang saya yakin masih ada di bumi ini. Lalu selanjutnya seperti nomor-i. Ini menghemat biaya pembelian, kesulitannya 2 kali lipat dari-i tapi rewardnya luar biasa : sebuah negara baru akan berdiri.
Ketiga, Tentu saja pindah keluar negeri. Pindah keluar negeri tidak mudah dan tidak semua orang dapat melakukannya. Negeri luar memang sedikit banyak rasial juga, tapi setidaknya Hak-hak asasi manusia dihormati disana. Ini memang pemecahan untuk sebagian orang Tiong Hua, tapi bagaimana dengan yang lain ? Masalah utama adalah ketiadaannya biaya dan keengganan meninggalkan usaha yang sudah dirintis puluhan tahun.
Jika yang pertama tidak bisa maka kita harus jadi pesakitan disini, siap menelan pil pahit sepahit-pahit yang bisa dibuat manusia (begitu pahit sehingga ekspresi muka saat menelannya bertahan puluhan tahun). Jika bukan kita yang menelan tentu anak atau saudara atau teman kita yang dipaksa menelannya.
Yang Pertama adalah pilihan saya, sebab pemecahannya tuntas, relatif instant (tak perlu menunggu ratusan tahun lagi untuk mengharapkan harmoni dengan Pribumi, yang bagi saya bagai merindukan bulan). Sekali lagi saya sangat mengharapkan agar kita Tiong Hua Indonesia SEMUANYA berusaha mencari jalan keluar dan berbagi informasi. Jangan terlena dengan kondisi yang “membaik” akhir-akhir ini. Ingat anak-anak, saudara, teman anda semua nantinya. (saya bahkan berniat tak akan punya anak jika (a) tidak dapat terealisasi, sebab kadang saya sendiri menyesal karena dilahirkan disini, tapi nikah ya harus toh).
Sadarilah bahwa sebenarnya kita Tiong Hua punya daya dan harus berusaha SENDIRI. Semutpun akan melawan jika teman-temannya diinjak, apakah kita lebih lemah dari semut ?
Saya juga mengharapkan anda memberikan pendapat, saran, info, atau bahkan hujatan dll pada saya pribadi = [email protected], dan jangan lupa mencantumkan address anda untuk ditanggapi. Jika banyak, kita akan buat forum yang lebih baik. Mari kita mulai berusaha untuk masa depan yang baik untuk Tiong Hua Indonesia (bukan masa depan yang lebih baik karena jika demikian sekarangpun sudah baik) sebab do’a tidak manjur tanpa usaha. Inilah waktunya, inilah saatnya, dimana era reformasi masih hangat. Terima kasih atas perhatiannya, salam dari saya, Liu.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Luhut: Masuknya Ribuan Buruh Tiongkok Bukan Hal Aneh
Wagub Jawa Barat, Deddy Mizwar, Ultimatum Proyek Meikarta Harus Dihentikan
[/su_box]
Untuk Tiong hua Indonesia
akun email [email protected] sudah lama tidak aktif, dan tidak ada akun social media apapun yang terkait dengannya. Entah siapa liu ini, apakah dia masih hidup atau sudah mati. Apakah semua pikirannya sudah berbuah dan menjadi nyata, kita juga tidak tahu. Tapi hal ini bisa jadi bahan perenungan kita atas buah pikiran dari entitas Indonesia yang masih banyak menaruh curiga dan rencana dibelakang raya.
Coba kita tengok lagi yang ada dalam email tersebut. Milik siapakah Negeri ini? NKRI punya siapa? benarkan nasionalisme buta melekat pada banyak warga negara Indonesia? lihat solusi yang ditawarkan, keluar dari komunitas pribumi? lupa saat kolonial? lalu kita harus sadar, sudah adakah plang bertuliskan “Ini milik Tionghoa”? Sudahkah ada daerah yang luasnya setara JAKARTA yang akan menjadi sebuah negara baru? Meikarta atau pulau Reklamasi? apakah harmoni antara Tionghoa dan entitas warga negara Indonesianya adalah suatu yang mustahil?
Sungguh sedih bila pikiran seperti ini masih ada. Sedih bila pribumi masih disamakan dengan ‘tiko’. Seharunya sebagai warga negara Indonesia, kita saling merajut harmoni. Bukan cuma di depan mulut saja, tetapi menusuk dibelakang. Semoga pikiran pikiran ini sudah tidak ada lagi, sudah menguap dipanaskan waktu. lalu untuk siapa Indonesia itu? [lmf]