Ngelmu.co – Mahasiswa Universitas Pelita Bangsa (UPB), menjadi bagian dari pedemo yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Rabu (7/10) kemarin.
Akibat bentrokan yang terjadi, enam mahasiswa dilarikan ke dua rumah sakit berbeda, karena tingkat kritis yang butuh penanganan berbeda.
Dilansir CNN dan Republika, tiga mahasiswa dilarikan ke RS Harapan Keluarga, dan tiga lainnya ke RS Karya Medika.
“Anak kita memang ada beberapa yang terluka. Salah satunya yang cukup parah, Nasrul,” tutur Humas UPB, Nining Yuningsih.
“Ada keretakan di bagian kepala. Jadi dari RS Harapan Keluarga, dibawa ke RS Sentra Medika, dan (sedang) menunggu sadar,” sambungnya, Rabu (7/10) malam.
3 dari 6 yang Terluka, Kritis
Selain Nasrul, kata Nining, mahasiswa lain yang kondisinya cukup serius adalah Roy.
“Yang masih sedikit parah kondisinya Nasrul dan Roy,” ujarnya.
“Sama, ada keretakan, tapi Roy tidak sampai operasi. Kalau Nasrul, ada patah di bagian kepala, sekaligus retak,” jelas Nining.
Ia, belum bisa mengetahui pasti apa penyebab luka di bagian kepala dua mahasiswa jurusan manajemen tersebut.
“Dokter sampaikan, ada keretakan di bagian tulang kepala. Ini patah. Kemungkinan bisa saja dari tembakan gas air mata dan pukulan,” kata Nining.
Sementara untuk tiga mahasiswa lain yang terluka dalam aksi demo, sudah pulang dari rumah sakit.
“Yang tiga orang, maksa untuk pulang dalam kondisi yang tidak diperbolehkan sama dokter,” jelas Nining.
“Tapi mereka paksa pulang, kami tidak bisa melarang untuk itu,” imbuhnya.
Terkait aksi demo, Nining, menyebut pihak kampus tak pernah melarang atau meminta mahasiswanya untuk turun ke jalan.
Ia, menilai mahasiswa sudah cukup dewasa dalam menentukan aksi mana yang dianggap benar.
“(Pihak kampus) tidak pernah melarang atau menyuruh. Intinya kita dari pihak Pelita Bangsa, tidak melarang, apa yang baik menurut mereka,” kata Nining.
“Cuma yang kita sayangkan, dari teman-teman mahasiswa, tidak ada pemberitahuan ke pihak kita,” lanjutnya.
Pada kesempatan itu, Nining, juga membantah kabar di media sosial yang menyebut satu mahasiswa UPB meninggal.
Keenam mahasiswa yang sempat masuk ke rumah sakit, didominasi luka pendarahan pada bagian kepala hingga pelipis.
“Namun, kabar mahasiswa kami meninggal, dapat kami tegaskan, bahwa itu tidak benar,” ujar Nining.
Baca Juga: Guru Besar ITS, “Omnibus Law Jadikan Rakyat Indonesia Jongos di Negeri Sendiri”
Terpisah, Ketua DPC GMNI Kabupaten Bekasi, Yogi Trinanda, mengabarkan soal bentrokan yang terjadi dengan polisi saat demo.
Ia menyebut, setidaknya ada tiga rekan yang harus menjalani pengobatan di rumah sakit terdekat.
“Tiga [korban]. Dua luka di kepala, satu luka di rahang pipi,” ungkap Yogi, Rabu (7/10) malam.
Salah satu dari mahasiswa yang terluka merupakan rekannya sesama GMNI.
Sedangkan satu dari organisasi mahasiswa lain, dan satu lagi diketahui tak terlibat organisasi kemahasiswaan.
Yogi, menjelaskan bahwa ketiga mahasiswa itu, menjalani perawatan medis di rumah sakit, seperti mendapat jahitan.
Salah satunya, bahkan harus menjalankan perawatan inap.
Massa mahasiswa yang berasal dari UPB, tutur Yogi, Rabu (7/10) siang, melakukan aksi penolakan Omnibus Law Ciptaker.
Mereka bergerak dari kampus, menuju kawasan Jababeka, sekitar pukul 09.00 WIB.
Namun, langkah mereka sempat terhenti, karena diadang polisi.
Setelah bernegosiasi, sempat ada kesepakatan, massa hanya boleh bergerak hingga tengah kawasan Jababeka 1, tidak boleh mendekati jalan tol.
Namun, belum sampai ke titik kesepakatan, aparat keamanan kembali mengadang massa.
Alhasil, kata Yogi, keributan mulai terjadi pada Rabu (7/10) sore.
Malamnya, massa mahasiswa selesai melakukan aksi. Namun, ia memastikan, rekan-rekannya sesama mahasiswa, tak akan berhenti.
Baca Juga: Prihatin dengan Omnibus Law Ciptaker, 35 Investor Dunia Surati Jokowi
Menyikapi peristiwa kekerasan terhadap massa mahasiswa di Jababeka tersebut, Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna, ikut bicara.
Ia, menyerukan kepada pihak aparat keamanan, agar tidak represif mengamankan demonstrasi.
“Pengamanan memang perlu, tapi tidak perlu berlebihan dan tidak perlu represif,” ujarnya.
“Karena ini penolakan biasa. Masyarakat mengungkapkan pikirannya bagian dari demokrasi, dilindungi undang-undang dasar,” sambung Arjuna.
“Di Bekasi, kader kami jadi korban tindakan represif aparat keamanan,” lanjutnya menyayangkan.
“Jadi kami sangat menyesalkan, aparat yang seharusnya melindungi, bukan menggebuk, agar mahasiswa tidak berdemonstrasi,” tegas Arjuna.
DPP GMNI, menurutnya, akan menindaklanjuti kasus pemukulan ini dengan melaporkannya ke Komnas HAM.
“Kami akan melaporkan ke Komnas HAM, karena setiap mengamankan aksi demonstrasi, aparat memiliki protap. Tidak bisa sembarang pukul,” pungkas Arjuna.
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), secara terpisah, menyatakan akan menggelar demo menolak Omnibus Law Ciptaker, di Istana Merdeka, hari ini.
Pihaknya, memperkirakan 5.000 mahasiswa akan turun aksi.
“Diperkirakan akan lebih dari 5.000, berasal dari 300 kampus,” kata Koordinator Media Aliansi BEM SI, Andi Khiyarullah, Rabu (7/10) malam.