Ngelmu.co – Internasional Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), bekerja sama dengan majalah Tempo, mengungkap fakta soal alat rapid test COVID-19, Biozek. Digunakan di Indonesia, alat itu disebut memiliki tingkat akurasi yang buruk.
Diklaim dari Belanda, Ternyata Buatan Cina
Biozek, diklaim berasal dari Belanda. Namun, benarkah demikian? Kenyataannya tidak. Sebab, sertifikat validasi Biozek, yang diklaim Inzek International Trading BV, ternyata sama, dengan sertifikasi sebuah perusahaan di Cina, Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd.
Padahal, dalam rilis yang disebarkan ke media massa, serta di situs perusahaan, Inzek mengklaim, Biozek, merupakan produk Belanda.
Mirisnya lagi, bukan hanya asal produk yang dipalsukan, tetapi juga keabsahan alat tes, diungkap tak seperti yang dijanjikan.
Dua penelitian independen di Inggris dan Spanyol, menemukan jika klaim akurasi di atas 90 persen dari Biozek, tidak terbukti.
Bahaya Hasil Tes Negatif Palsu
Seorang ilmuwan yang terlibat dalam penelitian COVID-19, di pusat medis Universitas Radboud—kampus yang berfokus pada riset—di Belanda, Marien de Jonge, mengatakan ketidakakuratan alat uji cepat, sangat berbahaya.
Apalagi jika hasilnya negatif palsu, karena bisa membahayakan orang lain, “Negatif palsu adalah bencana,” ujarnya.
Contohnya terjadi pada seorang warga Makedonia Utara, Balkan, Rodzer Zekirovski, 27 Maret lalu.
Ia mendapat hasil negatif, setelah menjalani tes cepat dengan Biozek, di sebuah klinik swasta.
Sebelumnya, ia sempat mengalami gejala terjangkit Corona, yakni demam dan batuk kering.
Namun, ketika mengetahui suaminya tak terpapar Corona, sang istri, Gjultena, mengatakan keluarga langsung memeluk dan mencium Zekirovski.
Nahasnya, tiga hari kemudian, Zekirovski meninggal, dan belakangan diketahui hasil tes PCR menunjukkan, dia terpapar Corona.
Bongkar ‘Permainan’ Biozek
Maka melalui investigasi OCCRP bersama Tempo, terbongkar ‘permainan’ penjualan rapid test Biozek.
Semua bermula pada awal April lalu, Kimia Farma, membeli 300 ribu rapid test Biozek ini, untuk kemudian disebar ke seluruh Indonesia.
Setidaknya, hingga Rabu (6/5), Kimia Farma, telah mendistribusikan lebih dari 181 ribu rapid test Biozek, ke 58 rumah sakit dan 28 Dinas Kesehatan, di berbagai wilayah, seperti Aceh, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Papua
Direktur Produksi dan Supply Chain Kimia Farma, Andi Prazos, pun mengatakan jika perusahaannya hanya menyalurkan Biozek, ke rumah sakit dan Dinas Kesehatan.
“Tidak dijual ke perorangan,” tuturnya.
Namun, kenyataannya, Biozek, tidak hanya dijual oleh Kimia Farma, di sejumlah situs belanja online dan media sosial.
Pasalnya, sejumlah pihak juga memperjualbelikan Biozek, dengan harga tinggi. Salah satu akun Instagram misalnya, menjual satu box Biozek, berisi 30 unit, dengan harga Rp8,8 juta. Bahkan, ada akun lainnya yang menjual dengan harga Rp13 juta per box-nya.
Selain itu, Biozek, juga disebut-sebut, telah diimpor pengusaha asal Makassar, Erwin Aksa Mahmud.
Sebuah berita online menyebutkan, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia itu, mendatangkan puluhan ribu Biozek, yang di antaranya diberikan kepada pemerintah.
Namun, ketika dimintai keterangan, ia membantah, “Saya hanya dikasih contoh sama orang.”
Pemerintah daerah, juga menggunakan Biozek, untuk melakukan screening.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Hendra Tarmizi, mengatakan pihaknya mendapat bantuan rapid test, dengan merek VivaDiag, dari provinsi Banten, sementara merek Biozek, diberikan oleh pihak swasta.
Di sisi lain, Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Didi Riyadi, juga mengaku membeli Biozek, dari rekanan Kimia Farma, sebanyak 3.000 unit.
“Stoknya, saat ini di kami hanya tinggal 270,” ujarnya.
Dari seorang tamu, diketahui jika Istana, juga menggunakan Biozek. Ia mengaku pernah menjalani uji cepat dengan alat tersebut.
Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono, saat ditanya soal penggunaan Biozek, menjawab “Tamu di-rapid test.”
Seorang pejabat negara yang pernah ditemui Tempo, juga menggunakan Biozek. Ketika Tempo berkunjung ke rumahnya, diharuskan menjalani uji cepat dengan alat tersebut.
Tes PCR, Akurasi Tertinggi
Sedangkan, Peneliti Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan, Halik Malik, mengatakan, “Tes PCR, memiliki akurasi paling tinggi dalam mendeteksi virus.”
Perlu diketahui, di sejumlah fasilitas kesehatan, biaya pelayanan tes cepat Biozek, mencapai lebih dari Rp500 ribu.
Di salah satu rumah sakit swasta, di kota Bogor, Jawa Barat, bahkan mencapai Rp550 ribu, sedangkan di laboratorium klinik Kimia Farma yang dihubungi Tempo, biayanya Rp650 ribu.
Padahal, menurut penelusuran OCCRP, harga pasaran Biozek, sebenarnya hanya sekitar Rp80 ribu per unit.
Seorang pejabat di Kementerian BUMN pun mengatakan, harga beli Biozek, di bawah Rp45 ribu.
Baca Juga: Media Korsel Beberkan Kekejaman Kapal Cina Lempar Jasad ABK Indonesia ke Laut
Mengetahui soal ini, Chief Executive Officer Inzek International Trading BV, Zeki Hamid, mengaku tak senang alat produknya dijual dengan harga mahal, atau lebih dari 10 euro (sekitar Rp160 ribu).
Enggan Buka Rahasia Dapur
Sayangnya, ketika dikonfirmasi, Andi Prazos, enggan memberitahukan harga beli Biozek.
“Kalau dibuka, sama saja saya buka rahasia dapur,” jawabnya.
Terlepas dari itu, meski sejumlah penelitian mempermasalahkan akurasinya, Biozek, tetap masuk daftar yang direkomendasikan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Didatangkan pada 10 April lalu, Biozek, masuk dalam daftar rekomendasi Gugus ,Tugas yang dirilis, pada 28 April lalu, dengan nama COVID-19 IgG/IgM Rapid Test Cassette-Biozek Inzek International trading, sebagaimana informasi yang diunggah ke situs, pada Selasa (5/5).
Andi Prazos mengakui, produk itu baru didaftarkan, pada Ahad (3/5). Menurutnya, sebelum rekomendasi dari Gugus Tugas keluar, Kimia Farma, mengimpor Biozek melalui jalur special access scheme, yang izinnya dikeluarkan Kementerian Kesehatan.
Perlu diketahui, Izin impor yang diajukan Kimia Farma, pada Selasa (24/3) lalu, langsung terbit hanya dalam waktu dua hari
Setelah COVID-19 mewabah, pemerintah menerbitkan aturan yang mempermudah perizinan impor alat kesehatan.
Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 2020 tentang perubahan Keppres Nomor 7 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, menyebutkan barang yang belum teregister di Indonesia, bisa diimpor dengan cara mengajukan permohonan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana, melalui sistem nasional single window.
Menelusuri VivaDiag
Jelas, cara itu memberi kemudahan untuk masuknya sejumlah peralatan rapid test, contohnya VivaDiag, produksi perusahaan Cina, VivaChek Biotech Hangzhou Co Ltd, yang mendapat rekomendasi pengecualian izin impor dari BNPB, 31 Maret lalu.
Didatangkan oleh PT Kirana Jaya Lestari, VivaDiag, juga direkomendasikan mendapat pembebasan bea masuk dan pajak impor.
Namun, Kepala Biro Hukum Organisasi dan Kerja Sama BNPB, Zaherman Muabezi, yang menandatangani izin impor untuk VivaDiag, mengatakan jika PT Kirana, tidak mendapat keringanan.
“Tetap membayar biaya masuk serta pajak lain, kurang lebih Rp4 miliar.”
Fakta lain soal VivaDiag, pada 30 April lalu, hasil tes terhadap 443 warga Banjar Serokadan, Kabupaten Bangli, Bali, menunjukkan hasil positif.
Belakangan, setelah mereka menjalani swab test, hanya ada satu orang yang positif Corona, yakni Direktur PT Kirana Jaya Lestari, Aurelia Ira Lestari.
Perusahaan yang mengimpor VivaDiag itu sendiri. Baru kemudian pihaknya menyatakan, alat VivaDiag bernomor 3097, sudah ditarik dari seluruh fasilitas kesehatan.
Sebelumnya, Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, mengatakan, “Metode PCR diperlukan untuk penegakan diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat.”
Bagaimana tanggapan Ketua Tim Pakar Gugus Tugas, Wiku Adisasmito?
Terkait masuknya VivaDiag dalam daftar yang direkomendasikan Gugus Tugas, pada 25 Maret lalu, ia menyebut, semua rapid test yang masuk rekomendasi memiliki sertifikasi Conformite Europeenne, Food and Drug Administration (sertifikasi yang setara).
“Produk rapid test antibodi dari luar negeri, tidak bisa dimasukkan ke daftar rekomendasi, bila tidak memenuhi syarat itu,” demikian pengakuan Wiku.
Ketua Umum PIJAR 98, Sulaiman Haikal, juga ikut berkomentar.
Ia mengatakan, jika hampir semua alat rapid test COVID-19 yang diimpor oleh perusahaan farmasi milik BUMN Kimia Farma adalah buatan Cina, dengan kualitas buruk.
Hal itu Sulaiman sampaikan, sebagai respons terhadap temuan investigasi OCCRP mengenai pelabelan palsu rapid test, Biozek.
“Ketika akurasi hanya mengenai status positif COVID-19, tentu tidak terlalu riskan, yang membahayakan adalah hasil test false negative (negatif palsu),” tuturnya.
“Sangat berbahaya bagi peserta test dan keluarganya, karena mereka tidak lagi awas dengan COVID-19. Tercatat merek-merek Biozek dan VivaDiag, sebagaimana laporan OCCRP-Tempo,” pungkas Sulaiman.